oleh: Didik Raharyono.
Steidensticker & Soejono (1976) luput mencantumkan Gn. Ciremai sebagai habitat harimau jawa dalam bukunya The Javan Tiger and The Meru Betiri Reserve. Diantar Pak Deddy Kermit Petakala Grage (PG), penulis menjumpai specimen kepala harimau jawa dari Gn. Ciremai. Banyak informasi ilmiah dapat ‘dibaca’ atas temuan spesimen ini. Walaupun sudah dianggap punah, usaha mengendus eksistensi harimau jawa selalu mengantarkan bagi tersingkapnya ‘tabir pengetahuan baru’.
Syukur tiada terkira Atas Limpahan Rahmat dari Tuhan Alam Semesta.
Bagaimana tidak, semula kami Peduli Karnivor Jawa (PKJ) hanya mendiskusikan strategi riset, mekanisme pengumpulan dana pergerakan, menggagas pemikiran kreatif manajemen habitat kedepan bagi satwa dan masyarakat sekitar hutan berkarnivor besar di Petakala Grage (PG). Lalu Pak Deddy dan Pak Athok menyinggung kemungkinan masih adanya specimen ‘tubuh’ harimau jawa di tetangga desanya.Kronologis
Saya tertarik ingin berkunjung guna melihat opsetan loreng jawa, tetapi pada dua atau tiga hari kedepan. Pak Deddy menegaskan supaya tidak ditunda, maka saat itu juga kami meluncur ke rumah yang dimaksud. Benar adanya, sesampai lokasi kami diterima terbuka oleh tuan rumah, lalu kami memperkenalkan diri, menyampaikan maksud tujuan melakukan penelitian harimau jawa yang sudah dianggap punah. Setelah berdiskusi hampir 4 jam, Bapak yang sederhana itu menunjukkan koleksi beliau spesimen harimau jawa.
Beliau seorang tokoh masyarakat, kolektor barang-budaya warisan leluhur, memperkenankan saya memotret kepala harimau jawa. Walau kondisinya hampir dipenuhi jala laba-laba, benakku berkeyakinan pasti akan ada segudang informasi ilmiah yang akan terkuak. Jikalau harimau jawa di musium, tentulah membutuhkan prosedur administrasi rumit seperti pengalaman pribadiku tahun 2000 di MZB dulu –jauh-jauh dari Jember ingin ‘belajar’ opsetan harimau jawa di tolak mentah-mentah karena saya dari perorangan dan bukan atas nama organisasi. Selain itu kekuatan ilmiah harimau jawa koleksi masyarakat tentulah bernilai baru dan penting, sebab memberikan gambaran vareasi pola, diskripsi ukuran tubuh, asal lokasi dan sejarah yang belum pernah terungkap apalagi tercatat.
Bapak pemilik tersebut mengungkapkan: bahwa dulu, opsetan harimau jawa itu utuh –dari kepala hingga ekor, namun banyak kenalan beliau dari Jendral hingga Kyai meminta sesobek demi sesobek untuk “cindera mata” akibatnya sekarang tinggal bagian kepala. Beliau mendapatkan hadiah specimen tersebut dari petinggi TNI kala baheula. Kemudian dijelaskan panjang kepala hingga pantat 200 cm, belum termasuk panjang ekor. Bahkan dulu sering dijadikan alas untuk istirahat beliau. Berdasar keterangan petinggi TNI yang dijelaskan kembali Beliau kepada penulis, harimau loreng ini berasal dari lereng Gn. Ciremai Jawa Barat. Ditembak sekitar tahun 1961 -bekas pelor sekitar 5 lubang di pipi, dekat hidung dan jidat depan, masih terlihat jelas. Ditambahkan lagi: harimau jawa ini jantan tua dan telah membunuh 5 orang -maka dieksekusi.
Luput dari Steidenstiker
Informasi ilmiah terpenting dari uraian temuan spesimen kepala di atas adalah tentang Gn. Ciremai sebagai habitat harimau jawa. Dalam bukunya (1976) Steidenstiker & Soejono menyampaikan sebaran distribusi habitat harimau jawa tahun 1940 dan 1970, walaupun untuk Gunungkidul dilabeli 1930 (?) dengan tanda tanya dibelakangnya, tapi Gn. Ciremai luput dari pencatatan beliau. Berarti kawasan Gn. Ciremai dianggap bukan habitat harimau jawa, meskipun terjadi pembunuhan tahun 1961 -mungkin informasinya tidak terdengar Pak Steidenstiker. Padahal telah berdampak terhadap “penisbian” informasi dari penduduk sekitar kawasan tentang terjumpainya harimau loreng yang oleh masyarakat sekitar disebut maung siliwangi, lodaya atau macan tutul turih tempe.
Jangankan Gn. Ciremai, bahkan di Gn. Arjuno, Gn. Argopuro dan masih banyak lokasi lain yang juga luput dari pencatatan Steidenstiker (1976) sebagai habitat harimau jawa. Penulis berani mencantumkan nama-nama lokasi habitat “baru” harimau jawa (di buku Berkawan Harimau Bersama Alam, 2002) berdasarkan keterangan dari Pemburu lokal, Pecinta Alam, Pendarung, Perbakin dan Pensiunan TNI. Seperti misalnya saat silaturohmi ke pengurus Yayasan Salsabiil Faros di Cirebon (2009), penulis bertemu dengan seorang pensiunan TNI yang dulu pernah menembak seekor harimau jawa di lereng Gn. Arjuno. Beliau menembak seekor dari empat ekor harimau loreng yang diincarnya. Penembakan tersebut terjadi tahun 1967, hal itu diingat dengan cermat karena beliau ditugaskan di Koramil sekitar Gn. Arjuno 2 tahun setelah Gestok. Dan dari Wonogiri diinformasikan bahwa harimau jawa masih terlihat. Artinya: masih banyak lokasi-lokasi habitat “baru” harimau jawa yang luput dari catatan ilmuwan harimau dunia.
Oleh karena itu, sebagai penghuni Pulau Jawa, hendaknya kita peduli terhadap kawasan yang ada disekitar kita, utamanya hutan yang menjadi habitat satwa liar. Dengan kandungan maksud: jadilah peneliti ahli yang menguasai “halaman” rumah sendiri. Bolehlah kita berpikir global, namun aksi kita haruslah dimulai dari lokal. Sebab ancaman dan tekanan tinggi pada habitat-habitat alami di Jawa, tentulah akan mengancam kelestarian satwa-satwa endemik Jawa yang tersisa.
Diawetkan Dengan Garam
Semula saya agak ragu memegang spesimen kepala harimau jawa tersebut. Bukan apa-apa sebab berdasarkan keterangan pengopset satwa tradisional biasanya menggunakan Arsenik sebagai bahan utama pengawet opsetan, selain formalin dan alkohol. Untuk menegaskan informasi yang beredar seperti itu saya memberanikan bertanya: dulu opsetan ini diawetkan dengan apa Pak? Beliaunya tersenyum menjelaskan kalau pengopsetan kala itu hanya menggunakan ‘garam krosok’ dan dijemur terbalik di sinar matahari (kulit bagian dalam dipampang langsung, sedang bagian berambut tidak terpapar sinar matahari).
Informasi ilmiah tersebut penulis buktikan dengan kenyataan, dimana beberapa bagian rambut telah lepas. Bahkan bagian atas daun telinga kiri telah robek dimakan tikus. Artinya pengawetan opsetan ini memang menggunakan garam, tidak menggunakan racun arsenik. Sifat garam yang hipertonis dan hygroscopis jelas akan mempercepat terhisapnya kandungan air ditingkat seluler, maka garam dijadikan bahan pengawet tradisionil. Beda nyata jika menggunakan arsenik: opsetan tampak utuh, mulus dan tidak cacat rambutnya, sebab serangga pemakan rambut akan mati jika kontak dengan arsenik, seperti opsetan harimau sumatra yang pernah saya jumpai di Rumah dinas Bupati Temanggung tahun 2001, utuh dan bagus –pastilah menggunakan racun dalam pengawetannya.
Penulis lalu teringat keterangan Pak Karno Jember yang juga mengkoleksi opsetan harimau jawa ditembak tahun 1957. Setelah beliau menunjukkan foto harimau jawa dari Kendeng Lembu, saya bertanya masih adakah sisa opsetan hewan di foto itu. Beliaupun tersenyum lalu menjelaskan bahwa opsetannya tidak bagus (namun beliau tidak menjelaskan bahan penyamakannya), sejak tahun 1970-an rambutnya telah banyak yang rontok maka kemudian disimpan di gudang dan tahun 1980-an banyak dimakan ngengat. Oleh karena itu pada sekitar tahun 1990-an, opsetan harimau jawa itu dimusnahkan dengan di bakar dan dibuang di halaman belakang. Sedangkan saya berkunjung kerumah beliau sekitar tahun 1999.
Merasa aman dengan opsetan yang diawetkan dengan garam, maka penulis memegang, mengambil sedikit rambut untuk dianalisis menggunakan mikroskup cahaya guna menjadi ‘rambut pandu harimau jawa’ jikalau nanti ditemukan rambut dari hutan. Berkolaborasi dengan Pak Deddy, maka berbagai pose kepala opsetan harimau jawa itu kami abadikan, meliputi : kepala secara utuh, pola loreng tersisa di jidat, pipi samping kiri, dagu bawah, bekas surai dan landasan kumis. Hal itu saya lakukan untuk membantu pendiskripsian secara ilmiah perihal kenampakan fisik harimau jawa dari Gn. Ciremai. Saat memotret bagian landasan kumis, sempat terabadikan sisa kumis sepanjang 1 cm dua helai, cukup untuk memberikan wacana tentang model dan warna kumis harimau jawa.
Membongkar Sepenggal Kepala Berumur ½ Abad
Dulu potongan kepala itu sering dipakai anak-anak untuk bermain dengan teman-temannya, berkejaran, bergurau dan sebagainya. Penulis bergumam, wah sumber pengetahuan sangat penting ternyata menjadi hal ‘biasa’ bagi masyarakat. Mungkin karena masyarakat merasa bahwa sepenggal kepala loreng jawa itu sebagai barang lumrah, mudah dijumpai dan masih banyak di hutan, jadi sederhana saja cara memperlakukannya.
Tak mau terlambat, maka saya dengan cermat memperhatikan bekas-bekas sidik jidat harimau jawa itu. Tetapi tak menemukan bekas coretan-coretan garis hitam, karena sebagian besar rambutnya telah rontok mengelupas. Perhatian kemudian saya alihkan dibagian atasnya, syukur masih ada sisa rambut yang utuh dengan garis hitam. Tebalnya tak lebih dari selebar jari telunjuk lelaki dewasa. Pola coretan garis hitam itu cenderung longgar (jaraknya renggang), tidak seperti milik harimau sumatra yang tebal dan rapat ‘ndemblok’(Jw). Kondisi ini juga diperkuat foto harimau jawa 1957 sebagai pembanding, dimana tulang tengkoraknya masih terbalut kulit dan merekam bentuk utuh satwa saat masih hidup –karena diabadikan sesaat setelah mati ditembak.
Meski sepenggal kepala opsetan harimau jawa ini telah terlepas dari tulang tengkorak sebagai landasan kulit yang membentuk raut muka tiga dimensi, tetap dapat terlihat rekam-bentuk tentang ‘pesek’nya hidung yang sempit, dengan pangkal jidat sedikit di atas mata cenderung cembung –membentuk kesan moncong memanjang. Sisa coretan ornamen di pipi juga mencirikan sebagai milik harimau jawa yang jarang, tipis dan cenderung cerah. Berbeda dengan coretan ornamen pipi harimau sumatera kebanyakan tebal, rapat sehingga memberi kesan agak gelap.
GAMBAR 01. KARAKTER WAJAH HARIMAU JAWA & SUMATERA. Berdasar pola coretan pipi dan sidik jidat, dapat dibedakan antara karakter wajah harimau jawa dan sumatera. Pola coretan pipi harimau jawa cenderung tipis dan jarang sedangkan harimau sumatera tebal dan rapat. Sidik jidat harimau jawa renggang dan tipis, sedangkan harimau sumatera rapat cenderung membentuk blok hitam. Akibatnya wajah harimau jawa cenderung cerah dan harimau sumatera cenderung gelap.
Bahkan saya sempatkan untuk menghitung lubang bekas landasan kumis harimau jawa, jumlahnya baik yang besar maupun sedang sekitar 29 lubang untuk satu pipi kiri dan sekitar itu juga di pipi kanan, total 58 lubang. Hanya sekitar 10 landasan lubang berdiameter 3 mm di pipi kanan-kiri dan 14 lubang berdiameter 2 mm, lainnya 1 mm atau bahkan kurang. Landasan lubang kumis tersebut membentuk enam baris dengan komposisi jumlah baris dari bawah ke atas: 3; 6; 6; 5; 5; dan 4. Menggunakan pijakan kajian pembanding foto harimau jawa 1957 terlihat bahwa ujung kumis hingga surai di dagu, prediksi saya panjang rambut kumis harimau jawa mencapai 25 cm.
Rambut dibagian dagu berwarna kuning pucat (kemungkinan dulunya putih), sedangkan rambut yang menjadi warna dasar pipi yang masih sempat terlihat berwarna kuning tembaga terang. Blok rambut berwarna putih yang dikelilingi warna hitam dibelakang daun telinga masih terlihat jelas, walau hampir samar.
Setelah pengamatan secara mikroskopis di laboratorium Biologi SMA Mandiri Cirebon, terdiskripsikan bahwa medula rambut opsetan ini bertipe intermediet pola reguler, sedangkan sisik bertipe corona serrata pola irreguler wave. Hal ini semakin memperkuat data temuan kami tigabelas tahun yang lalu perihal rambut harimau jawa, dulu temuan dari TN Meru Betiri dan sekarang opsetan asli dari Gn. Cermai.
Medula rambut harimau jawa dari Gn Ciremai
GAMBAR 02. STRUKTUR MORFOLOGI RAMBUT HARIMAU JAWA GN. CIREMAI. Detail bagian medula rambut harimau jawa dari Gn. Ciremai ini menunjukkan tipe intermediet pola reguler. Ciri utama pada bagian medula ini membedakan dengan macan tutul yang bertipe discontinous pola cresentic. Keidentikan pola rambut harimau jawa dari Gn. Cermai dengan rambut temuan dari TN. Meru Betiri menunjukkan eksistensi harimau jawa. Morfologi medula rambut harimau jawa ini di foto menggunakan mikroskup cahaya dengan perbesaran 40 x 5. (foto: @didik R’10).
Seperti Apa Ekosistem Gn. Ciremai?
Gunung Ciremai merupakan gunung tertinggi di Jawa Barat (3.078 mdpl), dikelilingi hutan dengan koordinat 108020’ – 108040’ BT dan 6040’ – 6058’ LS. Tipe iklim kawasan Gn. Ciremai berklasifikasi tipe iklim B dan C (berdasar Schmidt dan Ferguson) dengan rata-rata curah hujan 2000 – 4000 mm/tahun. Temperatur bulanan berkisar antara 18o – 24o C. Sistem hidrologi didominasi sistem akuifer endapan vulkanik dari Gn. Ciremai. Berdasarkan geomorfologi dan litologi, karakteristik akuifer dikelompokan menjadi 3 bagian yaitu: kurang produktif pada lereng puncak; sangat produktif pada lereng badan gunung; dan produksi sedang – rendah, pada kaki gunung (RPK TNGC, 2009). Keberadaan air ini sangat penting bagi eksistensi karnivor besar, sebab harimau jawa suka berendam di air jika kondisi siang hari sangat panas, namun adanya kisaran suhu yang hangat dan dingin di kawasan Gn. Cermai sepertinya harimau jawa mampu beradaptasi khususnya di lereng badan gunung.
Gunung Ciremai
GAMBAR 03. PENAMPANG TIGA DIMENSI GN. CIREMAI. Kenampakan tiga dimensi Gn. Ciremai memberikan informasi bentang lahan dan topografinya. Hal ini dapat dijadikan sebagai acuan untuk mencari daerah ideal bagi kelangsungan hidup harimau jawa dengan memperhatikan kebutuhan syarat hidup khususnya ketersediaan sumber-sumber air alami dan prey. (Sumber Gambar: Rencana Pengelolaan Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai 2009).
Luas hutan di Gn. Cermai sekitar 15.500 ha dan merupakan hutan sekunder tua pasca letusan tahun 1832. Sebagian besar penutupan lahan berupa vegetasi hutan alam primer yang dikelompokan ke dalam tiga jenis yaitu: hutan hujan dataran rendah (200-1000 m dpl); pegunungan (1000-2400 m dpl); pegunungan sub alpin (> 2400 m dpl). Beberapa flora hasil inventarisasi oleh berbagai pihak di wilayah Kawasan Gn. Ciremai meliputi : 32 jenis vegetasi pohon pada ketinggian antara 1.200 – 2.400 m dpl; 119 koleksi tumbuhan terdiri dari 40 anggrek dan 79 non anggrek (RPK TNGC, 2009). Keberagaman vegetasi sangat tinggi tentunya menunjang sumber pakan satwa prey karnivor besar.
Kawasan Gn. Ciremai selain kaya keanekaragaman flora, juga memiliki tingkat keanekaragaman fauna yang tinggi, dan beberapa jenis termasuk kategori langka. Daftar spesies satwa liar di kawasan ini meliputi 12 mamalia; 3 reptilia; 77 burung dan beberapa jenis ampibi serta serangga yang belum diteliti. Kompleksitas jenis hewan terutama golongan prey sangat menunjang bagi kestabilan populasi dan demografi karnivor besar. Berkaitan dengan luas kawasan berhutan, maka keragaman jenis prey dan populasinya jelas akan sangat penting sebagai faktor penunjang Carrying Capacity kawasan Gn. Cermai terhadap fluktuasi dan kelestarian harimau jawa kedepannya (perlu dikuatkan dengan riset menggunakan kamera trap secara permanen minimal 6 bulan).
Penutup
Berbekal hasil pendataan koleksi satwa liar yang dilindungi pada tahun 1992 yang telah pernah dilakukan BKSDA di seluruh Jawa, seharusnya dapat dijadikan landasan untuk mencermati berbagai kawasan yang diduga sebagai habitat satwa liar, bahkan mungkin melakukan refisi terhadap buku-buku referensi yang telah beredar. Tetapi sepertinya saat ini telah terjadi kerancuan wilayah kerja antara Balai Taman Nasional, KSDA, dan Perhutani di Jawa akibatnya tak ada sering data, informasi dan pensinergian bidang kajian khususnya satwa liar dilindungi ataupun yang terancam punah, bahkan yang sudah diklaim punah –karena habitatnya yang berupa hutan telah disekat-sekat secara administrasi.
Ditilik dari hanya sebuah temuan sepenggal kepala opsetan harimau jawa berumur 49 tahun, masih berpeluang ditemukan ‘habitat baru’ satwa yang telah dianggap punah. Kami dari PKJ dan PG sebagai masyarakat biasa hanyalah didorong oleh rasa kepedulian yang tinggi terhadap keselamatan hutan Jawa dari tekanan dan ancaman destruktif. Dimana hutan alami tersisa di Jawa kami anggap sebagai gudang plasmanutfah sumber bagi daya kehidupan antar-lintas generasi, oleh karena itu harus ‘dibaca’, dikaji dan dijaga sekuat tenaga.
Cirebon, 9 Juni 2010.
Didik Raharyono, S.Si.
Wildlife Biologist
SEKRETARIAT PKJ.
Steidensticker & Soejono (1976) luput mencantumkan Gn. Ciremai sebagai habitat harimau jawa dalam bukunya The Javan Tiger and The Meru Betiri Reserve. Diantar Pak Deddy Kermit Petakala Grage (PG), penulis menjumpai specimen kepala harimau jawa dari Gn. Ciremai. Banyak informasi ilmiah dapat ‘dibaca’ atas temuan spesimen ini. Walaupun sudah dianggap punah, usaha mengendus eksistensi harimau jawa selalu mengantarkan bagi tersingkapnya ‘tabir pengetahuan baru’.
Syukur tiada terkira Atas Limpahan Rahmat dari Tuhan Alam Semesta.
Bagaimana tidak, semula kami Peduli Karnivor Jawa (PKJ) hanya mendiskusikan strategi riset, mekanisme pengumpulan dana pergerakan, menggagas pemikiran kreatif manajemen habitat kedepan bagi satwa dan masyarakat sekitar hutan berkarnivor besar di Petakala Grage (PG). Lalu Pak Deddy dan Pak Athok menyinggung kemungkinan masih adanya specimen ‘tubuh’ harimau jawa di tetangga desanya.Kronologis
Saya tertarik ingin berkunjung guna melihat opsetan loreng jawa, tetapi pada dua atau tiga hari kedepan. Pak Deddy menegaskan supaya tidak ditunda, maka saat itu juga kami meluncur ke rumah yang dimaksud. Benar adanya, sesampai lokasi kami diterima terbuka oleh tuan rumah, lalu kami memperkenalkan diri, menyampaikan maksud tujuan melakukan penelitian harimau jawa yang sudah dianggap punah. Setelah berdiskusi hampir 4 jam, Bapak yang sederhana itu menunjukkan koleksi beliau spesimen harimau jawa.
Beliau seorang tokoh masyarakat, kolektor barang-budaya warisan leluhur, memperkenankan saya memotret kepala harimau jawa. Walau kondisinya hampir dipenuhi jala laba-laba, benakku berkeyakinan pasti akan ada segudang informasi ilmiah yang akan terkuak. Jikalau harimau jawa di musium, tentulah membutuhkan prosedur administrasi rumit seperti pengalaman pribadiku tahun 2000 di MZB dulu –jauh-jauh dari Jember ingin ‘belajar’ opsetan harimau jawa di tolak mentah-mentah karena saya dari perorangan dan bukan atas nama organisasi. Selain itu kekuatan ilmiah harimau jawa koleksi masyarakat tentulah bernilai baru dan penting, sebab memberikan gambaran vareasi pola, diskripsi ukuran tubuh, asal lokasi dan sejarah yang belum pernah terungkap apalagi tercatat.
Bapak pemilik tersebut mengungkapkan: bahwa dulu, opsetan harimau jawa itu utuh –dari kepala hingga ekor, namun banyak kenalan beliau dari Jendral hingga Kyai meminta sesobek demi sesobek untuk “cindera mata” akibatnya sekarang tinggal bagian kepala. Beliau mendapatkan hadiah specimen tersebut dari petinggi TNI kala baheula. Kemudian dijelaskan panjang kepala hingga pantat 200 cm, belum termasuk panjang ekor. Bahkan dulu sering dijadikan alas untuk istirahat beliau. Berdasar keterangan petinggi TNI yang dijelaskan kembali Beliau kepada penulis, harimau loreng ini berasal dari lereng Gn. Ciremai Jawa Barat. Ditembak sekitar tahun 1961 -bekas pelor sekitar 5 lubang di pipi, dekat hidung dan jidat depan, masih terlihat jelas. Ditambahkan lagi: harimau jawa ini jantan tua dan telah membunuh 5 orang -maka dieksekusi.
Luput dari Steidenstiker
Informasi ilmiah terpenting dari uraian temuan spesimen kepala di atas adalah tentang Gn. Ciremai sebagai habitat harimau jawa. Dalam bukunya (1976) Steidenstiker & Soejono menyampaikan sebaran distribusi habitat harimau jawa tahun 1940 dan 1970, walaupun untuk Gunungkidul dilabeli 1930 (?) dengan tanda tanya dibelakangnya, tapi Gn. Ciremai luput dari pencatatan beliau. Berarti kawasan Gn. Ciremai dianggap bukan habitat harimau jawa, meskipun terjadi pembunuhan tahun 1961 -mungkin informasinya tidak terdengar Pak Steidenstiker. Padahal telah berdampak terhadap “penisbian” informasi dari penduduk sekitar kawasan tentang terjumpainya harimau loreng yang oleh masyarakat sekitar disebut maung siliwangi, lodaya atau macan tutul turih tempe.
Jangankan Gn. Ciremai, bahkan di Gn. Arjuno, Gn. Argopuro dan masih banyak lokasi lain yang juga luput dari pencatatan Steidenstiker (1976) sebagai habitat harimau jawa. Penulis berani mencantumkan nama-nama lokasi habitat “baru” harimau jawa (di buku Berkawan Harimau Bersama Alam, 2002) berdasarkan keterangan dari Pemburu lokal, Pecinta Alam, Pendarung, Perbakin dan Pensiunan TNI. Seperti misalnya saat silaturohmi ke pengurus Yayasan Salsabiil Faros di Cirebon (2009), penulis bertemu dengan seorang pensiunan TNI yang dulu pernah menembak seekor harimau jawa di lereng Gn. Arjuno. Beliau menembak seekor dari empat ekor harimau loreng yang diincarnya. Penembakan tersebut terjadi tahun 1967, hal itu diingat dengan cermat karena beliau ditugaskan di Koramil sekitar Gn. Arjuno 2 tahun setelah Gestok. Dan dari Wonogiri diinformasikan bahwa harimau jawa masih terlihat. Artinya: masih banyak lokasi-lokasi habitat “baru” harimau jawa yang luput dari catatan ilmuwan harimau dunia.
Oleh karena itu, sebagai penghuni Pulau Jawa, hendaknya kita peduli terhadap kawasan yang ada disekitar kita, utamanya hutan yang menjadi habitat satwa liar. Dengan kandungan maksud: jadilah peneliti ahli yang menguasai “halaman” rumah sendiri. Bolehlah kita berpikir global, namun aksi kita haruslah dimulai dari lokal. Sebab ancaman dan tekanan tinggi pada habitat-habitat alami di Jawa, tentulah akan mengancam kelestarian satwa-satwa endemik Jawa yang tersisa.
Diawetkan Dengan Garam
Semula saya agak ragu memegang spesimen kepala harimau jawa tersebut. Bukan apa-apa sebab berdasarkan keterangan pengopset satwa tradisional biasanya menggunakan Arsenik sebagai bahan utama pengawet opsetan, selain formalin dan alkohol. Untuk menegaskan informasi yang beredar seperti itu saya memberanikan bertanya: dulu opsetan ini diawetkan dengan apa Pak? Beliaunya tersenyum menjelaskan kalau pengopsetan kala itu hanya menggunakan ‘garam krosok’ dan dijemur terbalik di sinar matahari (kulit bagian dalam dipampang langsung, sedang bagian berambut tidak terpapar sinar matahari).
Informasi ilmiah tersebut penulis buktikan dengan kenyataan, dimana beberapa bagian rambut telah lepas. Bahkan bagian atas daun telinga kiri telah robek dimakan tikus. Artinya pengawetan opsetan ini memang menggunakan garam, tidak menggunakan racun arsenik. Sifat garam yang hipertonis dan hygroscopis jelas akan mempercepat terhisapnya kandungan air ditingkat seluler, maka garam dijadikan bahan pengawet tradisionil. Beda nyata jika menggunakan arsenik: opsetan tampak utuh, mulus dan tidak cacat rambutnya, sebab serangga pemakan rambut akan mati jika kontak dengan arsenik, seperti opsetan harimau sumatra yang pernah saya jumpai di Rumah dinas Bupati Temanggung tahun 2001, utuh dan bagus –pastilah menggunakan racun dalam pengawetannya.
Penulis lalu teringat keterangan Pak Karno Jember yang juga mengkoleksi opsetan harimau jawa ditembak tahun 1957. Setelah beliau menunjukkan foto harimau jawa dari Kendeng Lembu, saya bertanya masih adakah sisa opsetan hewan di foto itu. Beliaupun tersenyum lalu menjelaskan bahwa opsetannya tidak bagus (namun beliau tidak menjelaskan bahan penyamakannya), sejak tahun 1970-an rambutnya telah banyak yang rontok maka kemudian disimpan di gudang dan tahun 1980-an banyak dimakan ngengat. Oleh karena itu pada sekitar tahun 1990-an, opsetan harimau jawa itu dimusnahkan dengan di bakar dan dibuang di halaman belakang. Sedangkan saya berkunjung kerumah beliau sekitar tahun 1999.
Merasa aman dengan opsetan yang diawetkan dengan garam, maka penulis memegang, mengambil sedikit rambut untuk dianalisis menggunakan mikroskup cahaya guna menjadi ‘rambut pandu harimau jawa’ jikalau nanti ditemukan rambut dari hutan. Berkolaborasi dengan Pak Deddy, maka berbagai pose kepala opsetan harimau jawa itu kami abadikan, meliputi : kepala secara utuh, pola loreng tersisa di jidat, pipi samping kiri, dagu bawah, bekas surai dan landasan kumis. Hal itu saya lakukan untuk membantu pendiskripsian secara ilmiah perihal kenampakan fisik harimau jawa dari Gn. Ciremai. Saat memotret bagian landasan kumis, sempat terabadikan sisa kumis sepanjang 1 cm dua helai, cukup untuk memberikan wacana tentang model dan warna kumis harimau jawa.
Membongkar Sepenggal Kepala Berumur ½ Abad
Dulu potongan kepala itu sering dipakai anak-anak untuk bermain dengan teman-temannya, berkejaran, bergurau dan sebagainya. Penulis bergumam, wah sumber pengetahuan sangat penting ternyata menjadi hal ‘biasa’ bagi masyarakat. Mungkin karena masyarakat merasa bahwa sepenggal kepala loreng jawa itu sebagai barang lumrah, mudah dijumpai dan masih banyak di hutan, jadi sederhana saja cara memperlakukannya.
Tak mau terlambat, maka saya dengan cermat memperhatikan bekas-bekas sidik jidat harimau jawa itu. Tetapi tak menemukan bekas coretan-coretan garis hitam, karena sebagian besar rambutnya telah rontok mengelupas. Perhatian kemudian saya alihkan dibagian atasnya, syukur masih ada sisa rambut yang utuh dengan garis hitam. Tebalnya tak lebih dari selebar jari telunjuk lelaki dewasa. Pola coretan garis hitam itu cenderung longgar (jaraknya renggang), tidak seperti milik harimau sumatra yang tebal dan rapat ‘ndemblok’(Jw). Kondisi ini juga diperkuat foto harimau jawa 1957 sebagai pembanding, dimana tulang tengkoraknya masih terbalut kulit dan merekam bentuk utuh satwa saat masih hidup –karena diabadikan sesaat setelah mati ditembak.
Meski sepenggal kepala opsetan harimau jawa ini telah terlepas dari tulang tengkorak sebagai landasan kulit yang membentuk raut muka tiga dimensi, tetap dapat terlihat rekam-bentuk tentang ‘pesek’nya hidung yang sempit, dengan pangkal jidat sedikit di atas mata cenderung cembung –membentuk kesan moncong memanjang. Sisa coretan ornamen di pipi juga mencirikan sebagai milik harimau jawa yang jarang, tipis dan cenderung cerah. Berbeda dengan coretan ornamen pipi harimau sumatera kebanyakan tebal, rapat sehingga memberi kesan agak gelap.
GAMBAR 01. KARAKTER WAJAH HARIMAU JAWA & SUMATERA. Berdasar pola coretan pipi dan sidik jidat, dapat dibedakan antara karakter wajah harimau jawa dan sumatera. Pola coretan pipi harimau jawa cenderung tipis dan jarang sedangkan harimau sumatera tebal dan rapat. Sidik jidat harimau jawa renggang dan tipis, sedangkan harimau sumatera rapat cenderung membentuk blok hitam. Akibatnya wajah harimau jawa cenderung cerah dan harimau sumatera cenderung gelap.
Bahkan saya sempatkan untuk menghitung lubang bekas landasan kumis harimau jawa, jumlahnya baik yang besar maupun sedang sekitar 29 lubang untuk satu pipi kiri dan sekitar itu juga di pipi kanan, total 58 lubang. Hanya sekitar 10 landasan lubang berdiameter 3 mm di pipi kanan-kiri dan 14 lubang berdiameter 2 mm, lainnya 1 mm atau bahkan kurang. Landasan lubang kumis tersebut membentuk enam baris dengan komposisi jumlah baris dari bawah ke atas: 3; 6; 6; 5; 5; dan 4. Menggunakan pijakan kajian pembanding foto harimau jawa 1957 terlihat bahwa ujung kumis hingga surai di dagu, prediksi saya panjang rambut kumis harimau jawa mencapai 25 cm.
Rambut dibagian dagu berwarna kuning pucat (kemungkinan dulunya putih), sedangkan rambut yang menjadi warna dasar pipi yang masih sempat terlihat berwarna kuning tembaga terang. Blok rambut berwarna putih yang dikelilingi warna hitam dibelakang daun telinga masih terlihat jelas, walau hampir samar.
Setelah pengamatan secara mikroskopis di laboratorium Biologi SMA Mandiri Cirebon, terdiskripsikan bahwa medula rambut opsetan ini bertipe intermediet pola reguler, sedangkan sisik bertipe corona serrata pola irreguler wave. Hal ini semakin memperkuat data temuan kami tigabelas tahun yang lalu perihal rambut harimau jawa, dulu temuan dari TN Meru Betiri dan sekarang opsetan asli dari Gn. Cermai.
Medula rambut harimau jawa dari Gn Ciremai
GAMBAR 02. STRUKTUR MORFOLOGI RAMBUT HARIMAU JAWA GN. CIREMAI. Detail bagian medula rambut harimau jawa dari Gn. Ciremai ini menunjukkan tipe intermediet pola reguler. Ciri utama pada bagian medula ini membedakan dengan macan tutul yang bertipe discontinous pola cresentic. Keidentikan pola rambut harimau jawa dari Gn. Cermai dengan rambut temuan dari TN. Meru Betiri menunjukkan eksistensi harimau jawa. Morfologi medula rambut harimau jawa ini di foto menggunakan mikroskup cahaya dengan perbesaran 40 x 5. (foto: @didik R’10).
Seperti Apa Ekosistem Gn. Ciremai?
Gunung Ciremai merupakan gunung tertinggi di Jawa Barat (3.078 mdpl), dikelilingi hutan dengan koordinat 108020’ – 108040’ BT dan 6040’ – 6058’ LS. Tipe iklim kawasan Gn. Ciremai berklasifikasi tipe iklim B dan C (berdasar Schmidt dan Ferguson) dengan rata-rata curah hujan 2000 – 4000 mm/tahun. Temperatur bulanan berkisar antara 18o – 24o C. Sistem hidrologi didominasi sistem akuifer endapan vulkanik dari Gn. Ciremai. Berdasarkan geomorfologi dan litologi, karakteristik akuifer dikelompokan menjadi 3 bagian yaitu: kurang produktif pada lereng puncak; sangat produktif pada lereng badan gunung; dan produksi sedang – rendah, pada kaki gunung (RPK TNGC, 2009). Keberadaan air ini sangat penting bagi eksistensi karnivor besar, sebab harimau jawa suka berendam di air jika kondisi siang hari sangat panas, namun adanya kisaran suhu yang hangat dan dingin di kawasan Gn. Cermai sepertinya harimau jawa mampu beradaptasi khususnya di lereng badan gunung.
Gunung Ciremai
GAMBAR 03. PENAMPANG TIGA DIMENSI GN. CIREMAI. Kenampakan tiga dimensi Gn. Ciremai memberikan informasi bentang lahan dan topografinya. Hal ini dapat dijadikan sebagai acuan untuk mencari daerah ideal bagi kelangsungan hidup harimau jawa dengan memperhatikan kebutuhan syarat hidup khususnya ketersediaan sumber-sumber air alami dan prey. (Sumber Gambar: Rencana Pengelolaan Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai 2009).
Luas hutan di Gn. Cermai sekitar 15.500 ha dan merupakan hutan sekunder tua pasca letusan tahun 1832. Sebagian besar penutupan lahan berupa vegetasi hutan alam primer yang dikelompokan ke dalam tiga jenis yaitu: hutan hujan dataran rendah (200-1000 m dpl); pegunungan (1000-2400 m dpl); pegunungan sub alpin (> 2400 m dpl). Beberapa flora hasil inventarisasi oleh berbagai pihak di wilayah Kawasan Gn. Ciremai meliputi : 32 jenis vegetasi pohon pada ketinggian antara 1.200 – 2.400 m dpl; 119 koleksi tumbuhan terdiri dari 40 anggrek dan 79 non anggrek (RPK TNGC, 2009). Keberagaman vegetasi sangat tinggi tentunya menunjang sumber pakan satwa prey karnivor besar.
Kawasan Gn. Ciremai selain kaya keanekaragaman flora, juga memiliki tingkat keanekaragaman fauna yang tinggi, dan beberapa jenis termasuk kategori langka. Daftar spesies satwa liar di kawasan ini meliputi 12 mamalia; 3 reptilia; 77 burung dan beberapa jenis ampibi serta serangga yang belum diteliti. Kompleksitas jenis hewan terutama golongan prey sangat menunjang bagi kestabilan populasi dan demografi karnivor besar. Berkaitan dengan luas kawasan berhutan, maka keragaman jenis prey dan populasinya jelas akan sangat penting sebagai faktor penunjang Carrying Capacity kawasan Gn. Cermai terhadap fluktuasi dan kelestarian harimau jawa kedepannya (perlu dikuatkan dengan riset menggunakan kamera trap secara permanen minimal 6 bulan).
Penutup
Berbekal hasil pendataan koleksi satwa liar yang dilindungi pada tahun 1992 yang telah pernah dilakukan BKSDA di seluruh Jawa, seharusnya dapat dijadikan landasan untuk mencermati berbagai kawasan yang diduga sebagai habitat satwa liar, bahkan mungkin melakukan refisi terhadap buku-buku referensi yang telah beredar. Tetapi sepertinya saat ini telah terjadi kerancuan wilayah kerja antara Balai Taman Nasional, KSDA, dan Perhutani di Jawa akibatnya tak ada sering data, informasi dan pensinergian bidang kajian khususnya satwa liar dilindungi ataupun yang terancam punah, bahkan yang sudah diklaim punah –karena habitatnya yang berupa hutan telah disekat-sekat secara administrasi.
Ditilik dari hanya sebuah temuan sepenggal kepala opsetan harimau jawa berumur 49 tahun, masih berpeluang ditemukan ‘habitat baru’ satwa yang telah dianggap punah. Kami dari PKJ dan PG sebagai masyarakat biasa hanyalah didorong oleh rasa kepedulian yang tinggi terhadap keselamatan hutan Jawa dari tekanan dan ancaman destruktif. Dimana hutan alami tersisa di Jawa kami anggap sebagai gudang plasmanutfah sumber bagi daya kehidupan antar-lintas generasi, oleh karena itu harus ‘dibaca’, dikaji dan dijaga sekuat tenaga.
Cirebon, 9 Juni 2010.
Didik Raharyono, S.Si.
Wildlife Biologist
SEKRETARIAT PKJ.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
trims telah berbagi apapun, mungkin saya yang salah dan anda yang lebih mengerti, jangan sungkan untuk mengkritik saya...oke !