Senin, 1 November 2010 | 06:45 WIB
Jakarta, Kompas - Aktivitas kegempaan Anak Gunung Krakatau di Selat Sunda meningkat dalam dua hari terakhir. Namun, statusnya masih tetap Waspada, seperti selama satu tahun ini. Imbauan agar warga tidak mendekat dalam radius dua kilometer dari gunung itu masih berlaku.
Menurut Kepala Pos Pemantauan Anak Gunung Krakatau Anton S Tripambudhi ketika dihubungi hari Minggu (31/10), jumlah gempa sepanjang hari Sabtu (30/10) hingga pukul 24.00 tercatat 780 kali. Sehari sebelumnya terjadi 763 kali gempa.
Sebagai perbandingan, pada Jumat (29/10) terjadi delapan kali gempa vulkanik A (berkedalaman 1-3 kilometer), 76 kali gempa vulkanik B (dangkal, berkedalaman kurang dari 1 kilometer), 282 kali letusan, 257 kali embusan, dan 140 kali tremor atau letusan berulang-ulang.
Sepanjang Sabtu terjadi 14 kali gempa vulkanik A, 102 kali gempa vulkanik B, 288 kali letusan, 230 kali embusan, dan 146 kali tremor. Aktivitas kegempaan Anak Gunung Krakatau sepanjang Minggu baru diketahui setelah direkapitulasi pukul 24.00.
”Lontaran material saat letusan sekitar 100 hingga 200 meter dari kawah, jadi baru sampai di lereng gunung, belum nyemplung ke laut. Saat terjadi embusan, yang terpantau adalah keluarnya kepulan asap,” kata Anton.
Ketinggian kepulan asap sepanjang Sabtu akhir pekan lalu berkisar 300 hingga 800 meter. Bubungan asap ini lebih rendah dibandingkan pada tanggal 28 Oktober yang berkisar 400 hingga 1.500 meter.
Penuturan Anton, gempa yang terjadi di Anak Gunung Krakatau tidak dirasakan oleh warga di pesisir Pulau Jawa atau Sumatera. Gempa hanya terdeteksi melalui alat yang dipasang di sana. ”Kalaupun bisa dirasakan, hanya oleh orang yang berada dalam posisi diam di Pulau Anak Gunung Krakatau,” katanya.
Melalui proses
Terkait status gunung yang masih Waspada dan belum ditingkatkan menjadi Siaga, Anton mengatakan perlu proses, tidak serta-merta. Ukuran untuk menaikkan status adalah terjadinya peningkatan aktivitas kegempaan secara terus-menerus, ditunjang kesamaan hasil pemantauan aktivitas kegempaan yang dilakukan tim di lapangan, serta menimbang dampak letusan bagi warga. ”Biasanya juga ada tim yang langsung datang dari pusat vulkanologi di Bandung. Hasilnya dilaporkan ke tim ahli di Bandung untuk selanjutnya diputuskan statusnya,” kata Anton.
Sebagai perbandingan, proses pengubahan status Anak Gunung Krakatau dari Siaga menjadi Waspada pada 31 Oktober 2009 membutuhkan waktu dua hingga tiga bulan dengan melihat terus aktivitas kegempaannya.
Relatif lebih lamanya pengubahan status Krakatau dibandingkan, misalnya, dengan Merapi belakangan ini, Anton mengatakan, setiap gunung api memiliki karakteristik sendiri. ”Dapur magmanya masing-masing berbeda sehingga penanganannya pun beda,” katanya.
Apalagi, Anak Gunung Krakatau berada di perairan Selat Sunda yang jauh dari permukiman penduduk (berjarak 42 kilometer dari pesisir barat Banten dan 43 kilometer dari pesisir Lampung). Dengan posisinya seperti itu, dampak letusan Anak Gunung Krakatau akan berbeda kalau misalnya gunung itu berada di daratan yang dekat dengan permukiman.
Menurut Anton, lontaran material terjauh saat Anak Gunung Krakatau meletus tiga tahun lalu adalah 1,5 kilometer. Kondisi ini lalu dipakai sebagai acuan untuk melarang warga mendekat dalam radius kurang dari dua kilometer ketika aktivitas Anak Gunung Krakatau meningkat. (CAS)
Sumber : Kompas
Sumber : Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
trims telah berbagi apapun, mungkin saya yang salah dan anda yang lebih mengerti, jangan sungkan untuk mengkritik saya...oke !