Kehadiran individu Harimau Jawa tersisa dapat dibuktikan dari bekas
aktivitas dan sisa bagian tubuhnya, meskipun secara Internasional
Harimau Jawa sudah mendapat predikat punah. Hal ini membuktikan
bahwa pengamatan Harimau Jawa sudah seharusnya dilakukan masyarakat
Jawa sendiri, tanpa harus tergantung kepada peneliti asing.
aktivitas dan sisa bagian tubuhnya, meskipun secara Internasional
Harimau Jawa sudah mendapat predikat punah. Hal ini membuktikan
bahwa pengamatan Harimau Jawa sudah seharusnya dilakukan masyarakat
Jawa sendiri, tanpa harus tergantung kepada peneliti asing.
Kepunahan Harimau Jawa muncul akibat laporan WWF 1994 yang tidak
mendapatkan sosok fotonya setelah memasang 10 kamera trap sistem
injak selama satu tahun di TN. Meru Betiri seluas 56.000 hektar.
Akibat pernyataan punah dari WWF dan dikuatkan PKA, maka setiap ada
pelaporan perjumpaan Harimau Jawa oleh masyarakat selalu dianggap
cerita mitos. Tulisan saudara Jajang Agus Sonjaya (Kompas 19 Juli)
alenia X kalimat terakhir "....Si Mbah yang dianggapnya sebagai
binatang jadi-jadian", merupakan bukti bahwa Harimau Jawa
berdasarkan penuturan masyarakat disimpulkan sebagai binatang mitos.
Tetapi terbantah ketika dijelaskan "... harimau itu bertubuh besar
dan berkulit loreng, langkahnya sangat tenang dan meninggalkan jejak
tapak kaki di tanah" (alenia XII kalimat terakhir). Kalimat ini
menguatkan perilaku Harimau Loreng, langkah tenang karena dia
predator tertinggi di ekosistem. Jika binatang jadi-jadian maka
tidak meninggalkan jejak di tanah.
Usaha menyakinkan keberadaan Harimau Jawa tanpa sosok foto
terbarunya, dirintis Mitra Meru Betiri (MMB) ketika presentasi di
Seminar Nasional Harimau Jawa 1998 yang diselenggarakan
Matalabiogama Fakultas Biologi UGM. Seminar tersebut dihadiri oleh
PKA, STP, LIPI, WWF, STI, Kebun Binatang Surabaya, KB. Ragunan, KB.
Bandung dan Dosen dari berbagai Perguruan Tinggi. Bukti keberadaan
Harimau Jawa di seminar itu didasarkan pada temuan jejak tapak kaki,
kotoran, cakaran dan foto rambut perbesaran 400 kali. Akhirnya
direkomendasikan untuk memantau semua daerah yang masih ada
pelaporan perjumpaan dengan Harimau Jawa.
Sejak itu kami berpetualang dan mengumpulkan bukti keberadaan
Harimau Jawa berdasarkan informasi perjumpaan atau pembunuhan satwa
punah ini. Informasi perjumpaan Harimau Jawa kami peroleh dari
Pemburu lokal, Pecinta Alam, Jagawana, Perbakin dan Mandor
Perhutani.
Februari 1999 kami bersama BKSDA Jatim II merambah kawasan Gunung
Merapi Ungup-ungup, Ijen, Rante, Panataran dan Raung. Penelusuran
dilakukan oleh 8 regu, masing-masing regu beranggotakan 4 – 5 orang
selama 15 hari didalam hutan. Hasil penelusuran tersebut ditemukan
bukti keberadaan Harimau Jawa di Gunung Raung, Panataran dan Ijen
berdasarkan temuan rambut yang terselip di luka cakaran dan kotoran.
April 1999 kami bersama peserta Pendidikan Lingkungan Kapai
membongkar kelebatan hutan Gunung Slamet sisi Barat dan Selatan
selama 15 hari. Hasil temuan berupa cakaran di pohon dengan rambut
yang terselip, juga kotoran dan jejak. Keberadaan Harimau Jawa di
Gunung Slamet diperkuat oleh penuturan masyarakat Pekuncen yang
telah membunuh harimau loreng tahun 1997. Rambut dari kulit harimau
loreng sisa pembunuhan tahun 1997 berhasil diidentifikasi
menggunakan mikroskup elektron sebagai rambut Harimau Jawa.
Februari sampai Maret 2000 kami mengulangi pemantauan di Gunung
Slamet selama satu bulan penuh. Meskipun perjumpaan langsung dengan
Harimau Jawa tidak terjadi, setidaknya cakaran dan rambutnya kami
temukan. Keyakinan tersebut dikuatkan penduduk pengambil kayu di
hutan bahwa harimau loreng sering mengikuti jalan setapak yang
dibuatnya. Saat berpapasan terlihat acuh, oleh penduduk Kalikidang
Harimau Loreng disebut Macan Budeg.
Agustus 2000 ketika kami melakukan investigasi pembangunan jalan
Triangulasi – Plengkung di TN. Alas Purwo. Pada perjalanan pulang
menuju Dam Buntung, kami bertemu Pak Bura'i dari Situbondo dan
Beliau bertanya apakah tadi berpapasan dengan Harimau Loreng di
hutan Jati. Sebab 5 menit yang lalu sebelum kami lewat, Pak Bura'i
sempat melihat harimau mengaum dari jarak 10 meter.
Desember 2000 kami mengejar informasi perjumpaan harimau loreng di
Gunungkidul bersama Jagawana dari BKSDA DI. Jogjakarta. Meskipun
bukti temuan menunjukkan bekas aktifitas Macan Tutul, namun beberapa
ketua Dusun menyakini bahwa masih sering dijumpai Harimau Loreng
saat musim kemarau atau ketika ada warga yang meninggal. Lama
penungguan makam baru berkisar dari 7 sampai 20 hari. Keberadaan
Harimau Loreng di Gunungkidul dikuatkan oleh temuan cakaran di batu
cadas penutup mulut song Bejono di Ponjong yang menjadi tempat
persembunyiannya.
Agustus 2001 kami mengejar informasi terbunuhnya harimau loreng di
lereng Utara Gunung Muria Jawa Tengah. Meskipun baru sebatas
informasi, setidaknya mandor perhutani menyakini masih melihat
tulang belulang loreng yang baru saja dibantai warga. Seorang kepala
Hansip perkebunan Jolong bahkan sangat yakin masih melihat harimau
loreng setiap panen kopi. Ketika bertugas diperbatasan kebun dengan
hutan, dia dihampiri Gembong yang ikut menghangatkan diri di
perapiannya. Data penguat terakhir adalah penuturan dari PA UMK saat
melakukan pengembaraan di Lereng Selatan Gunung Muria, berpapasan
Harimau Loreng bertubuh besar dan sempat disaksikan oleh satu regu
yang terdiri dari 6 orang.
Pecinta Alam Dinamik dari Solo melaporkan pernah berpapasan dengan
Macan Loreng di Lawu Selatan tahun 1998 dan disaksikan semua anggota
tim SRU sekitar 5 orang saat berlatih SAR. Pak Tarjo Polhut Lawu
Selatan juga pernah bertemu dengan Harimau Loreng ketika melakukan
patroli di Jobolarangan.
Kehadiran individu Harimau Jawa tersisa dapat dibuktikan dari bekas
aktivitas dan sisa bagian tubuhnya, meskipun secara Internasional
Harimau Jawa sudah mendapat predikat punah. Hal ini membuktikan
bahwa pengamatan Harimau Jawa sudah seharusnya dilakukan masyarakat
Jawa sendiri, tanpa harus tergantung kepada peneliti asing.
Serangkaian pengalaman mencari satwa punah ini telah kami susun
kedalam buku panduan mencermati keberadaan Harimau Jawa berjudul
Berkawan Harimau Bersana Alam diterbitkan tahun 2002 oleh Kappala
Indonesia didukung The Gibbon Faundation.
* * *
Penulis: Didik Raharyono.
Koord. Program Hutan Kappala Indonesia. Peneliti Biologi
Hidupanliar. Anggota Alumni Matalabiogama Fakultas Biologi UGM.
Meneliti Harimau Jawa Sejak 1997. Koordinator Tim Pembela & Pencari
Fakta Harimau Jawa sejak 1999.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
trims telah berbagi apapun, mungkin saya yang salah dan anda yang lebih mengerti, jangan sungkan untuk mengkritik saya...oke !