Shantih, shantih, shantih … semoga damai selalu menyertaimu, hai segenap roh macan Jawa.
Sudah berulang kali disinggung berbagai status Macan Jawa di dalam kebudayaan dan kesusastraan Jawa. Anehnya masih ada kawan yang percaya dengan mitos bahwa raja rimba itu erat berkerabat dengan berbagai keluarga inti pengendali kerajaan – kerajaan di Pulau Jawa.
Saya katakan tidak ada. Bila pun ada mitos begitu, saya bilang tukang ceritanya telah melakukan tindakan gegabah. Apa Pasal? Pejantan Macan Jawa adalah truly solitary animal. Begitu rampung masa pengasuhan yang berlangsung sekitar 2 – 3 tahun, Panthera Tigris Sondaica jantan pergi jauh meninggalkan ibu dan saudara – saudaranya. Macan Jawa jantan mengemban sifat untuk tak mau pusing dengan urusan keluarga, lebih – lebih kekerabatan. Sebab sejak menginjak kehidupan dewasa, si raja rimba ini melulu sibuk dengan tiga macam urusan : Kekuasaan, bercinta, dan makan. Umumnya pejantan Macan Jawa punya prinsip makin luas area kekuasaan, makin besar potensinya untuk mendapat pasangan bercinta, dan tentu saja hewan buruan ...
“Bukankah ada mitos The last of Prabu Siliwangi berinkarnasi menjadi seekor maung?”, kawan saya nyeletuk.
Saya jawab : “Kawan, inkarnasi beda jauh dengan konsep kekerabatan. Lagi pula laporan itu statusnya belum valid. Coba kalian teliti kembali kandungan Babad Cerbon, dan pastikan teks inkarnasi Prabu Siliwangi itu genuine, atau disusupkan oleh para penyalin naskah di kemudian hari.
… Berbeda dengan kucing, Macan Jawa suka dengan air dan tak pernah ragu untuk memburu mangsanya hingga masuk ke lubuk sungai paling dalam. Macan Jawa sering dapat mangsa dengan cara ini. Memang Macan Jawa agak tak sabar, menunggu mangsanya menikmati minuman segar dari kolam di bawah air terjun. Namun auman si raja rimba, seketika menakuti hingga memojokkan hewan buruan untuk tak bisa kemana – mana selain beringsut ke dalam kolam itu. Segera saja Macan Jawa melompat, menerkam, dan membenamkan mangsanya hingga masuk jauh kepada kedalaman air. Di dalam air itulah, Macan Jawa punya banyak waktu dan keleluasaan dalam memperlakukan mangsanya.
Sebagai pemburu sejati, Macan Jawa tak butuh kawan ataupun asisten. Si Raja rimba ini memburu siapapun yang ada dalam kawasan kekuasaannya. Panthera Tigris Sondaica tak ambil pusing dengan ukuran dan status mangsanya. Kelinci, celeng, kancil, kerbau, anak gajah dan anak badak, bebek atau burung lainnya, dan tentu saja rusa, adalah hewan yang paling sering mengisi perutnya. Sebagai anggota trah keluarga Feline, macan Jawa sungguh luar biasa untuk urusan makan. Sekali duduk hewan ini bisa makan sampai 18 kg daging plus rerumputan atau sayur – sayuran.
“Kawan, benar tadi kau bilang inkarnasi ? ”
“Yap, aku katakan itu, ada apa?”
“Nah, dengarkan …
Melihat fakta di atas, para sesepuh dan pinisepuh orang Jawa, setidaknya sejak abad ke – 18 M , diduga mulai menggolongkan Macan Jawa ke dalam golongan kewan brekasakan, yaiku sakabeh kewan sing sabane nang alas, akeh mangane lan senenge kenthu. Kewan – kewan sing kalebu golongan Brekasakan ora tau mikirke kahanan kaluwargane.
Namun ada dugaan lain yang menyebutkan bahwa jauh sebelum abad itu, para Raja dan elite kerajaan di P. Jawa, mulai tak suka, tidak berkenan atau bahkan tidak siap sedia menitis menjadi sato kewan, yang brekasakan, seperti macan Jawa itu. Mereka, para raja dan elite Istana memegang teguh prinsip “Saiki menungsa, besuk yen ora kelakon moksa, nitis meneh… ya dadi menungsa … sering ditambah kalimat pengharapan, sing luwih sampurna”, seperti termaktub dalam Serat Wirid Hidayat Jati versi Ranggawarsitan.
Terbitnya Serat Wirid Hidayat Jati, tentu saja membuat senang hati Raja dan elite Jawa, waktu itu. Betapa tidak, adalah semacam manual book paling komplit memuat petunjuk tata cara mencapai moksa, yaitu tingkat tertinggi dari konsep Manunggaling Kawula lan Gustine.
Lewat pembacaan seksama di bawah bimbingan satu guru spiritual, potensi seseorang untuk menghentikan siklus kehidupan dari jelma ke jelma bisa terwujud. Selain menemani dan menjelaskan hal – hal yang tidak dipahami para murid, guru spiritual secara khusus melayani pembukaan Betal Makmur, Betal Mukharam, dan Betal Mukhadas, yaitu tiga ruang, tempat dimana Gusti Kang Murbeng Dumadi biasa mangkal dalam diri manusia.
Menariknya kesadaran ini justru makin mengental sejak Pangeran Diponegoro, sang pemimpin perang Jawa itu ditangkap dan dibuang ke Manado . Sementara R. Ng. Ranggawarsita, konon salah satu aktor intelektual dari perang besar itu, juga ditangkap dan dibawa ke Batavia . Karya – karya Pujangga Jawa terakhir ini dipelajari dan diteliti kembali dalam rangka mendapatkan berbagai aspek yang mungkin bisa membahayakan stabilitas nasional. Demi kelancaran, Pemerintah Hindia Belanda meminta R. Friedrich, seorang leksikograf jempolan, untuk membuat kamus khusus Jawa (Ranggawarsitan) – Jawa (Umum).
Dulu, informan pak Woodward (baca: Islam Jawa, terbitan LKIS), pernah menjelaskan bahwa Serat Wirid Hidayat Jati adalah pelajaran wajib bagi calon dan birokrat kerajaan Ngayogjakarta Hadiningrat, jauh sebelum kerajaan ini bijak memilih melebur di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia . Sangat mungkin, masyarakat umum membuat simpulan bahwa topik “pencarian” birokrat kerajaan, para ambtenaar yang lazimnya adalah Priyayi Jawa ini, layak menjadi suri tauladan. Ini sebabnya ajaran Serat Wirid Hidayat Jati cepat bergulir dan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat. Ibu – ibu “Dharma wanita” Ngayogjakarta Hadiningrat waktu itu dan perempuan dengan ragam profesi pun menerima tanpa reserve lagi. Sebab Wirid Hidayat Jati Ranggawarsitan ini, sepertinya sudah sadar gender. Artinya tidak terbatas untuk para lelaki. Terbukti, di antaranya dengan menyediakan petunjuk khusus bagi pembukaan Betal Mukhadasnya kaum hawa, sebagai berikut :
Ing nalika ingkang Maha Suci karsa anata malige wonten salebeting betal mukadas, jumeneng ing baganipun Siti Khawa. Punika ingkang wonten salebeting baga, purana. Ingkang wonten ing ngantawisipun purana, reta: inggih punika mani, salebeting mani, madi, salebeting madi, wadi. Salebeting wadi manikem. Salebeting manikem, rahsa. Salebeting rahsa punika dating Atma, ingkang anglimputi ing kahanan jati.
Ibu – ibu dan segenap perempuan yang kritis - apresiatif tentu tersenyum gembira menyimak pilihan kata – kata sakral dari sang Ngabehi, yang indah dan tak seronok itu. Bisa ditebak, para ibu lantas aktif terlibat, melu nyengkuyung, nderek handarbeni, mendorong agar diri sendiri, dan lelakinya masuk di dalam pusaran spiritual Wirid Hidayat Jati. Konsekuensinya, wong Jawa lantas punya cita – cita tinggi, yaitu kepingin moksa, kepengin bisa menikmati hakikat Manunggaling Kawula Gusti. Wajarlah bila kemudian lahir dugaan, tak ada lagi mimpi atau keinginan bawah sadar wong sa Nusa Jawa, laki – perempuan untuk menitis dadi sato kewan brekasakan kaya macan Jawa.
Kiranya, bentukan infrakstruktur “mental - spiritual” bagi kepunahan macan Jawa, makin kuat mengental sejak pemerintah Hindia Belanda di tahun 1822, resmi merekrut pemburu macan (tiger hunter) professional, yaitu pemburu yang punya senapan dan peluru (mesiu). Sebagaimana pegawai pemerintah, para pemburu professional waktu itu, wajib memakai baju safari. Hampir setiap sabtu pagi para pemburu professional itu absen datang ke desa – desa di tepian hutan. Selepas istirahat minum kopi, dan sarapan, berangkatlah para pemburu itu ke dalam hutan. Sorenya, para pemburu pulang, kadang berjalan gagah dan dengan cerutu mengepul di tangan atau di mulut. Di belakangnya beramai – ramai orang desa memanggul macan Jawa, baik yang masih hidup, sekarat, hingga yang sudah tewas. Melihat pemandangan yang nggegirisi itu, banyak orang Jawa yang ndremimil ndonga: aja sampe’ rek, nitis dadi macan Jawa. Lantas mereka datang ke guru spiritual, yang dengan senang hati memberi arahan terbaik menuju moksa.
Salah satu Guru yang mumpuni di awal abad ke – 20, adalah Raden Kyai Haji Mukangmad Sholeh asal Muntilan. Menurut beliau, yang penting para murid bisa kelingan ajarane, terlebih saat menjelang dan sesudah kematian raga. Atas fasilitas seorang Mantri Candu, penerus ajaran Wirid Hidayat Jati Ranggawarsitan ini rutin memberi “kuliah” di wilayah kabupaten ing Kalasan. Salah satu yang menarik adalah kuliahnya perihal Sinamar ing Warna.
Para siswa ingkang kinurmatan, saksampune roh, utawi jiwa, utawi atma manungsa sing wis mati saged medal saking ngalam rokhiyah, punika lajeng lumebet ing ngalam siriyah.
Di alam ini saling bermunculan cahaya empat macam : Cemeng (hitam), Abrit (merah), Jenne (kuning), dan Pethak (putih), yang masing – masing muncul secara berurutan, sebagai wahana empat nafsu manusia.
Cahya ireng kadadeyaning napsu luamah, sumurup ing cahya ingkang abang.
Cahya abang kadadeyaning napsu amarah, sumurupa ing cahya kang kuning.
Cahya kuning kadadeyaning napsu supiyah, sumurupa maring cahya kang putih. Cahya putih kadadeyaning napsu mutmainah, sumurup maring cahya manca warna. Cahya kang amonca warna kadadeyaning pramana, sumurupa maring dat ing cahyaningsun, kang awening mancar mancorong gumilang tanpa wawayangan.
Selepas memberi uraian panjang lebar, Kyai Mukangmad Sholeh memberi empat pesan penting, yaitu :
Sampun ngantos korup wonten ing salebetipun cahya cemeng. Manawi nitis dhateng sato kewan miwah gegermet.
sampun ngantos korup wonten ing salebetipun cahya abrit manawi nitis dhateng brakasakan.
sampun ngantos korup wonten salebetipun cahya jene, manawi nitis dhateng peksi miwah iber-ngiberan.
sampun ngantos korup dhateng cahya pethak manawi nitis dhateng ulam lomiwah turon toya.
(Sumber : Naskah Wirid Hidayat Jati versi Karangwuni – Kulonprogo, penyusun Kyai Haji Mukangmad Sholeh 1916 - 18)
sumber tulisan dari :
http://ujiarso.multiply.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
trims telah berbagi apapun, mungkin saya yang salah dan anda yang lebih mengerti, jangan sungkan untuk mengkritik saya...oke !