Siara Pers KIARA - KPNNI - JATAM - WALHI - PK2PM - KAU, 22 April 2009 Jakarta, 22 April 2009. Pada tanggal 22 April ini, sebagian besar warga dunia menghikmati perayaan Hari Bumi (Earth Day). Kehancuran lingkungan dan penjarahan sumber daya alam yang melampaui batasnya, telah berakibat pada makin meningkatnya ancaman krisis ekologis yang berujung pada makin tingginya kerentanan pada masyarakat, tak terkecuali bagi nelayan tradisional dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Fakta terkini kian menegaskan bahwa dampak perubahan iklim semakin nyata dan mengancam keberadaan nelayan tradisional sebagai masyarakat yang paling rentan menerima dampak bencana iklim.
“Krisis ekologis yang bermuara pada perubahan iklim hari ini, lebih disebabkan oleh derajat eksploitasi berlebih negara-negara Industri seperti Jepang, Amerika Serikat, Australia, dan sebagainya. dengan tanpa mengindahkan prinsip-prinsip keberlanjutan lingkungan hidup dan kelangsungan hidup umat manusia. Potret ini kembali terulang, jika pemerintah gagal berdiplomasi menyelamatkan laut dan nelayan tradisionalnya dalam konferensi kelautan dunia (World Ocean Conference) yang akan digelar di Manado, Sulawesi Utara, 11-15 Mei 2009,” buka M. Riza Damanik, Sekretaris Jenderal KIARA mengawali perbincangan di sela-sela peringatan Hari Bumi 2009 di depan Kedubes Jepang, Jakarta.
Agenda diplomasi yang harus ditempuh oleh pemerintah adalah: (1) mengungkap akar persoalan kelautan nasional dan global dengan berlandas pada asas keberlanjutan lingkungan dan perlindungan hak-hak nelayan tradisional; (2) mengajak tindakan kolektif masyarakat dunia untuk memberikan sanksi kolektif kepada aktor penyebab krisis laut dan iklim dengan mengedepankan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan di depan hukum; dan (3) membangun kesadaran kolektif guna memberikan perlindungan lebih terhadap hak-hak masyarakat nelayan tradisional.
“Ketiga agenda di atas amat penting bagi kedaulatan dan kemandirian ekonomi bangsa Indonesia. Saatnya Indonesia mempraktekkan pesan-pesan keadilan ekonomi sebagaimana diasaskan dalam Pasal 33 (3) UUD 1945. Dapat disesalkan, sekitar 30% - 50% total potensi perikanan tangkap nasional diperdagangkan di pasar global secara ilegal setiap tahunnya. Bahkan 90% produksi udang nasional bukan untuk pemenuhan konsumsi dalam negeri,” tambah Riza.
Akar persoalan kelautan dunia lainnya adalah praktek pertambangan di kawasan pesisir dan pembuangan limbah tambang di laut. “Kegiatan ekstraksi pertambangan (penambangan logam, batubara, dan migas) di darat juga mendorong terjadinya krisis ekologis di laut Indonesia. Tak hanya membawa hasil sedimentasi ke muara, industri pertambangan juga membuang limbah beracunnya langsung ke laut. Hal ini tak hanya mencemari laut dan mengancam keberlanjutan ekosistem laut, tetapi juga telah mematikan hak kelola nelayan tradisional,” ungkap Siti Maimunah, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM).
Ia mencontohkan, dari dua tambang emas Amerika Serikat (PT Newmont dan PT Freeport) saja, didapati buangan limbah tambang (tailing) sebanyak 340 ribu ton setiap harinya. Tak jauh berbeda, perusakan ekosistem laut juga berpangkal dari eksplorasi minyak dan gas (MIGAS) menggunakan dinamit yang diledakkan dalam laut Teluk Balikpapan juga telah berakibat pada kematian ikan secara massal dan rusaknya terumbu karang di perairan tersebut. Ironisnya, pengerukan bahan tambang itu sebagian besar untuk memasok kebutuhan asing. Ekspor batubara Indonesia, misalnya, ditujukan ke negara-negara Asia, seperti Jepang, Cina, Taiwan, India, Korea Selatan, Hongkong, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Negara tujuan ekspor lainnya adalah Eropa, seperti Belanda, Jerman, dan Inggris, serta negara-negara di Amerika Serikat. Importir terbesar batubara Indonesia adalah Jepang (22,8%) dan Taiwan (13,7%) .
Setali tiga uang, skema dana hibah dan atau hutang yang tak hanya merusak lingkungan, tetapi juga memiskinkan nelayan tradisional makin memperuncing persoalan kelautan dunia. “Sejak awal pembangunan pertambakan (aquaculture) di sepanjang pesisir Indonesia tidak lepas dari pembiayaan utang ADB dan Bank Dunia. Jika dirata-rata, kontribusi utang luar negeri dari sektor ini mencapai Rp39,5 miliar per tahun, sejak 1983 hingga 2013 mendatang. Hasilnya pun hanya menambah penderitaan dan memiskinkan petambak tradisional,” jelas Dani Setiawan, Koordinator Koalisi Anti Utang (KAU).
Berhimpunnya akar krisis kelautan dunia di atas, bermuara pada diingkarinya hak-hak nelayan tradisional oleh pemerintah. Sebut saja UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP-PPK). “Dalam UU ini, pemerintah dengan sengaja menomorduakan peran-serta masyarakat dalam mengelola sumber daya laut dan pesisir. Padahal, mereka menggantungkan hidupnya kepada keberlanjutan ekosistem laut dan sumber daya alam yang dikandungnya selama turun-temurun melalui kearifan tradisional yang mereka hayati,” tutur Teguh Surya, Kepala Departemen Advokasi dan Jaringan WALHI.
Dalam lanskap ekonomi-politik, ancaman terhadap kedaulatan nasional patut dicermati. “Kepentingan Amerika Serikat, Rusia, dan Australia amat kentara untuk ‘menguasai’ wilayah Indonesia. Ketidakmampuan pemerintah mengawasi seluruh wilayah perairan Indonesia justru ditanggapi secara salah-kaprah. Dalam rencana perjanjian RI-Australia untuk memberantas illegal fishing di perbatasan kedua negara, misalnya, nelayan tradisional dikambinghitamkan sebagai pelanggar wilayah ZEE Australia,” tutup Muhammad Karim, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim.
Olehnya, dengan menghikmati pesan di balik seremoni Hari Bumi 2009, sudah sepatutnya Pemerintah Indonesia mengedepankan agenda diplomasinya dengan mempercepat ikhtiar penyelesaian kasus-kasus kejahatan perikanan dan kelautan, sebagaimana telah disebut di atas, yang mengancam kelangsungan hidup nelayan tradisional dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, serta menghancurkan kelestarian lingkungan hidup.**
Kontak:
M. Riza Damanik (Sekjen KIARA): 0818773515
Siti Maemunah (JATAM): 0811920462
Muhammad Karim (COMMIT): 08121888291
M. Teguh Surya (WALHI): 081371894452
Dani Setiawan (KAU): 08129671744
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
trims telah berbagi apapun, mungkin saya yang salah dan anda yang lebih mengerti, jangan sungkan untuk mengkritik saya...oke !