Artikel ini mengemukakan ringkasan hasil kajian tingkat kesiapsiagaan masyarakat di tiga lokasi. Kajian ini menggunakan paket instrumen lengkap, yaitu kuesioner, pedoman wawancara dan panduan FGD dan workshop. Untuk mendapatkan pemahaman yang lengkap, maka pada bagian awal akan diulas profil singkat masing-masing lokasi.
Pedesaan di Kabupaten Aceh Besar
Di Kabupaten Aceh Besar, kajian dilakukan di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Leupung, khususnya di Desa Dayah Mamplam dan Pulot, dan Kecamatan Pulo Aceh di Desa Gugop dan Ulee Paya yang terletak di Pulau Breuh. Survei dilakukan pada responden sebanyak 205 rumah tangga dan 60 komunitas sekolah.
Profil Lokasi
Secara fisiografis Desa Dayah Mamplam dan Pulot di Kecamatan Leupung, serta Desa Gugop dan Ulee Paya di Kecamatan Pulau Aceh terletak di kawasan pantai barat Aceh yang berhadapan langsung dengan Samudera Indonesia. Desa-desa ini secara umum batuannya dibentuk oleh endapan aluvial yang terdiri dari material pasir, lempung dan lanau yang bersifat lunak dan belum mengalami pengerasan. Sedang perbukitan yang membatasi dataran pantai umumnya dibentuk oleh batuan yang lebih keras, yaitu batugamping/batu kapur, batuan beku berupa lava dan breksi gunung api serta batu pasir. Kawasan ini termasuk yang paling parah akibat terkena bencana gempa dan tsunami pada tanggal 26 Desember 2004. Hal ini dikarenakan jaraknya paling dekat dengan sumber/pusat gempa yang disusul dengan gelombang tsunami.
Secara geologis daerah kajian sangat rawan terhadap bencana gempa dan tsunami, antara lain dipengaruhi oleh:
- Adanya gempa-gempa disebabkan pergerakan yang saling bertemu antara lempeng samudera Hindia dan lempeng Asia yang terdapat di bagian barat (Samudra Hindia).
- Adanya gempa-gempa yang disebabkan oleh pergerakan patahan aktif Sumatera segmen Aceh yang melalui sekitar Banda Aceh.
Topografi Desa Dayah Mamplam, Pulot, Gugop dan Ulee Paya relatif datar dengan sudut lereng 0 – 5o . Di bagian timur dataran pantai di Desa Dayah Mamplam dan Desa Matai dibatasi oleh perbukitan yang curam dan terjal yang dibentuk oleh batugamping/batukapur. Kondisi perbukitan batu kapur tesebut sangat curam dan membentuk tonjolan-tonjolan dengan sudut lereng berkisar antara 60 – 80o, sehingga menjadi salah satu penghalang bagi masyarakat untuk menyelamatkan diri. Kondisi berbeda dijumpai di Desa Pulot, topografi perbukitannya relatif lebih landai dengan sudut lereng 25 – 45o dan disusun oleh batu pasir yang lebih lunak, sehingga memudahkan penduduk dalam mencapai perbukitan.
Akibat erosi dan gerusan gelombang tsunami, terjadi pengurangan kawasan daratan sekitar 100 – 300 m, karena masuknya air laut ke arah daratan. Bekas jalan raya dan beberapa sisa pohon kelapa yang sebelumnya didaratan (tepi pantai), kini tertutup air laut. Genangan air membentuk rawa pada dataran pantai ini. Tingkat kerawanan daerah ini meningkat akibat abrasi pantai dan angin yang sangat kencang, karena kawasan pantai kini terbuka, bebas dari pohon penghalang.
Banyaknya korban jiwa akibat bencana tsunami 26 Desember 2004, menyebabkan perubahan demografi di kedua lokasi kajian. Jumlah penduduk di Kecamatan Leupung menurun tajam, yaitu sekitar 70 persen selama 2003-2006. Rasio jenis kelamin meningkat dari 96 menjadi 131, yang menandakan perempuan jauh lebih banyak menjadi korban daripada laki-laki. Kepadatan penduduk di lokasi ini juga menurun tajam dari 104 menjadi hanya 34 jiwa per km2. Desa Dayah Mamplam paling banyak kehilangan penduduk, kini tinggal 557 jiwa atau 12 persen. Sebaliknya, sebagian besar penduduk Desa Plot (83 persen) selamat dari bencana tsunami. Selama 2003-2006, jumlah penduduk Kecamatan Pulo Aceh juga menurun sekitar 28 persen, rasio jenis kelamin meningkat dari 101 menjadi 120, ditandai dengan berkurangnya jumlah penduduk perempuan (32 persen) dan laki-laki sekitar 60 persen. Sedangkan Ulee Paya merupakan desa dengan korban jiwa terkecil (kurang dari 10 jiwa).
Desa Gugop mengalami korban jiwa dan kerugian harta yang cukup besar, akibat tidak dapat mengamati gejala terjadi tsunami usai gempa besar terjadi, seperti air laut surut. Masyarakat tidak mengetahui datangnya gelombang tsunami, meskipun tanah perbukitan relatif dekat dengan permukiman. Sebaliknya untuk Desa Ulee Paya, posisinya yang terhalang oleh bukit Desa Seurapong, menyebabkan gelombang tsunami agak tertahan melanda desa, sehingga sebagian besar penduduknya sempat menyelamatkan diri ke perbukitan, ditambah lagi peringatan dari masyarakat desa tetangga yang masih selamat dan berlari ke arah Desa Ulee Paya tersebut.
Keadaan pendidikan di lokasi kajian umumnya relatif rendah dimana lebih dari separuh penduduk berpendidikan SD dan khusus Desa Gugop, penduduk dengan pendidikan SMA jumlahnya relatif rendah. Kondisi pendidikan di Leupung relatif lebih baik dibandingkan Pulo Aceh, meskipun sampai sekarang, lokasi sekolah masih sama-sama menempati barak pengungsian. Dua lokasi kajian di Pulo Aceh hanya memiliki 1 unit SD dan SMP darurat, sementara di Leupung selain SD dan SMP, juga memiliki 1 unit SMA darurat. Rendahnya tingkat pendidikan terutama di Pulo Aceh, selain karena faktor ekonomi juga disebabkan oleh terbatasnya fasilitas dan aksesibilitas untuk dapat melanjutkan studi ke tingkat yang lebih tinggi. Keterbatasan sarana dan prasarana publik di daerah yang relatif terisolir ini, mempengaruhi aktivitas tenaga pendidik ke daerah ini, yang semakin tidak kondusif setelah bencana. Ketimpangan terjadi pada rasio guru dan siswa, yaitu di Leupung rasio mencapai 1 : 3, dan di Pulo Aceh 1 : 14. Demikian pula lokasi kedua desa kajian di Kecamatan Leupung mempunyai jarak dan aksesibilitas yang lebih baik ke Banda Aceh. Tahap rehabilitasi dan rekonstruksi fasilitas publik lainnya di Leupung relatif lebih cepat dibandingkan dengan Pulo Aceh.
Lokasi kajian di Pulo Aceh dan Leupung pada umumnya dekat dengan laut dan memiliki lahan di perbukitan yang cukup luas, sehingga memungkinkan penduduk mempunyai dua mata pencaharian sebagai nelayan dan petani. Sebelum tsunami terdapat beragam jenis tanaman pertanian di daerah tersebut, antara lain: padi, kopi, cengkeh, kina dan kelapa. Setelah tsunami, lahan untuk tanaman pangan belum dapat dimanfaatkan secara optimal, karena banyak tertimbun lumpur tsunami. Tanaman lain yang sangat terpengaruh oleh bencana tsunami adalah kelapa, karena banyak yang musnah, sehingga angin semakin kencang dari laut. Tanaman keras lain (pinang, kopi dan cengkeh) tidak terpengaruh oleh tsunami karena lokasi penanamannya di daerah perbukitan yang relatif tinggi. Hambatan utama perekonomian di Pulo Aceh adalah pemasaran hasil pertanian, sehingga potensi pertanian di daerah ini belum dikelola secara optimal.
Penduduk di kedua lokasi di Kecamatan Leupung mempunyai mata pencaharian utama sebagai nelayan dengan hasil laut yang menonjol adalah ikan teri. Pemasaran hasil lebih lancar karena diangkut langsung dari dermaga Leupung ke Banda Aceh. Sebagai nelayan, pekerjaan penduduk sangat terpengaruh oleh bencana tsunami, karena prasarana dermaga hancur dan semua sarana peralatan tangkap (bagan) musnah. Merosotnya hasil di sektor pertanian, juga berimbas pada merosotnya volume perdagangan, terutama ikan segar dan kering.
Akibat erosi dan gerusan gelombang tsunami, terjadi pengurangan kawasan daratan sekitar 100 – 300 m, karena masuknya air laut ke arah daratan. Bekas jalan raya dan beberapa sisa pohon kelapa yang sebelumnya didaratan (tepi pantai), kini tertutup air laut. Genangan air membentuk rawa pada dataran pantai ini. Tingkat kerawanan daerah ini meningkat akibat abrasi pantai dan angin yang sangat kencang, karena kawasan pantai kini terbuka, bebas dari pohon penghalang.
Banyaknya korban jiwa akibat bencana tsunami 26 Desember 2004, menyebabkan perubahan demografi di kedua lokasi kajian. Jumlah penduduk di Kecamatan Leupung menurun tajam, yaitu sekitar 70 persen selama 2003-2006. Rasio jenis kelamin meningkat dari 96 menjadi 131, yang menandakan perempuan jauh lebih banyak menjadi korban daripada laki-laki. Kepadatan penduduk di lokasi ini juga menurun tajam dari 104 menjadi hanya 34 jiwa per km2. Desa Dayah Mamplam paling banyak kehilangan penduduk, kini tinggal 557 jiwa atau 12 persen. Sebaliknya, sebagian besar penduduk Desa Plot (83 persen) selamat dari bencana tsunami. Selama 2003-2006, jumlah penduduk Kecamatan Pulo Aceh juga menurun sekitar 28 persen, rasio jenis kelamin meningkat dari 101 menjadi 120, ditandai dengan berkurangnya jumlah penduduk perempuan (32 persen) dan laki-laki sekitar 60 persen. Sedangkan Ulee Paya merupakan desa dengan korban jiwa terkecil (kurang dari 10 jiwa).
Desa Gugop mengalami korban jiwa dan kerugian harta yang cukup besar, akibat tidak dapat mengamati gejala terjadi tsunami usai gempa besar terjadi, seperti air laut surut. Masyarakat tidak mengetahui datangnya gelombang tsunami, meskipun tanah perbukitan relatif dekat dengan permukiman. Sebaliknya untuk Desa Ulee Paya, posisinya yang terhalang oleh bukit Desa Seurapong, menyebabkan gelombang tsunami agak tertahan melanda desa, sehingga sebagian besar penduduknya sempat menyelamatkan diri ke perbukitan, ditambah lagi peringatan dari masyarakat desa tetangga yang masih selamat dan berlari ke arah Desa Ulee Paya tersebut.
Keadaan pendidikan di lokasi kajian umumnya relatif rendah dimana lebih dari separuh penduduk berpendidikan SD dan khusus Desa Gugop, penduduk dengan pendidikan SMA jumlahnya relatif rendah. Kondisi pendidikan di Leupung relatif lebih baik dibandingkan Pulo Aceh, meskipun sampai sekarang, lokasi sekolah masih sama-sama menempati barak pengungsian. Dua lokasi kajian di Pulo Aceh hanya memiliki 1 unit SD dan SMP darurat, sementara di Leupung selain SD dan SMP, juga memiliki 1 unit SMA darurat. Rendahnya tingkat pendidikan terutama di Pulo Aceh, selain karena faktor ekonomi juga disebabkan oleh terbatasnya fasilitas dan aksesibilitas untuk dapat melanjutkan studi ke tingkat yang lebih tinggi. Keterbatasan sarana dan prasarana publik di daerah yang relatif terisolir ini, mempengaruhi aktivitas tenaga pendidik ke daerah ini, yang semakin tidak kondusif setelah bencana. Ketimpangan terjadi pada rasio guru dan siswa, yaitu di Leupung rasio mencapai 1 : 3, dan di Pulo Aceh 1 : 14. Demikian pula lokasi kedua desa kajian di Kecamatan Leupung mempunyai jarak dan aksesibilitas yang lebih baik ke Banda Aceh. Tahap rehabilitasi dan rekonstruksi fasilitas publik lainnya di Leupung relatif lebih cepat dibandingkan dengan Pulo Aceh.
Lokasi kajian di Pulo Aceh dan Leupung pada umumnya dekat dengan laut dan memiliki lahan di perbukitan yang cukup luas, sehingga memungkinkan penduduk mempunyai dua mata pencaharian sebagai nelayan dan petani. Sebelum tsunami terdapat beragam jenis tanaman pertanian di daerah tersebut, antara lain: padi, kopi, cengkeh, kina dan kelapa. Setelah tsunami, lahan untuk tanaman pangan belum dapat dimanfaatkan secara optimal, karena banyak tertimbun lumpur tsunami. Tanaman lain yang sangat terpengaruh oleh bencana tsunami adalah kelapa, karena banyak yang musnah, sehingga angin semakin kencang dari laut. Tanaman keras lain (pinang, kopi dan cengkeh) tidak terpengaruh oleh tsunami karena lokasi penanamannya di daerah perbukitan yang relatif tinggi. Hambatan utama perekonomian di Pulo Aceh adalah pemasaran hasil pertanian, sehingga potensi pertanian di daerah ini belum dikelola secara optimal.
Penduduk di kedua lokasi di Kecamatan Leupung mempunyai mata pencaharian utama sebagai nelayan dengan hasil laut yang menonjol adalah ikan teri. Pemasaran hasil lebih lancar karena diangkut langsung dari dermaga Leupung ke Banda Aceh. Sebagai nelayan, pekerjaan penduduk sangat terpengaruh oleh bencana tsunami, karena prasarana dermaga hancur dan semua sarana peralatan tangkap (bagan) musnah. Merosotnya hasil di sektor pertanian, juga berimbas pada merosotnya volume perdagangan, terutama ikan segar dan kering.
Tingkat Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana
ges/grafik-kesiapan-aceh.gifHasil survei untuk ketiga komunitas yaitu rumah tangga, sekolah dan pemerintah menjadi dasar perhitungan indeks kesiapsiagaan setiap kelompok komunitas. Indeks pada setiap komunitas merupakan gabungan indeks dari kelima parameter kesiapsiagaan yaitu : 1) pengetahuan dan sikap (KA); 2) kebijakan (PS); 3) rencana tanggap darurat (EP); 4) sistem peringatan bencana (WS); dan 5) mobilisasi sumberdaya (RMC). Dari hasil perhitungan indeks kumulatif dengan memperhatikan bobot nilai masing-masing komunitas, tingkat kesiapsiagaan masyarakat pedesaan Aceh hanya mencapai nilai indeks 52, yang berarti secara keseluruhan daerah tersebut dalam keadaan kurang siap mengantisipasi bencana (lihat grafik 1.).
Dilihat dari indeks masing-masing komunitas, tingkat kesiapsiagaan tertinggi terdapat pada rumah tangga (RT) dengan nilai indeks 57 atau hampir siap, diikuti dengan nilai indeks komunitas sekolah (50) dan pemerintah kecamatan (48). Kedua komunitas tersebut termasuk dalam keadaan kurang siap mengantisipasi bencana.
Pengaruh paling besar dalam perhitungan tingkat kesiapsiagaan masyarakat perdesaan Aceh adalah tingkat pengetahuan dan sikap masyarakat (KA) yang dinilai cukup baik untuk individu/rumah tangga dan sekolah, sehingga nilai indeks pengetahuan rumah tangga sebesar 72 dan sekolah sebesar 68 yang dapat dikategorikan siap (lihat tabel 1). Hal ini berarti masyarakat cukup memahami bencana dan mengetahui tindakan yang harus dilakukan, apabila terjadi bencana gempa atau tsunami. Kesiapan masyarakat terutama dipengaruhi oleh pengalaman pribadi menghadapi bencana gempa dan tsunami, ditambah dengan pengetahuan yang berasal dari pelajaran sekolah atau sumber lainnya yang banyak diperoleh masyarakat setelah terjadi bencana nasional tersebut.
Namun demikian melihat relatif rendahnya angka indeks parameter lainnya menunjukkan bahwa pengetahuan yang dimiliki masyarakat belum diikuti dengan kesiapsiagaan dalam kebijakan, rencana untuk keadaan darurat, sistim peringatan dini bencana, maupun mobilisasi sumber daya yang cukup, sehingga kurang mendukung kesiapsiagaan masyarakat pedesaan Aceh pada umumnya. Hal ini terutama disebabkan prioritas masyarakat Aceh pada saat ini adalah melakukan pemulihan kondisi agar cepat menjadi normal kembali, terutama berkaitan dengan kebutuhan dasar masyarakat, seperti: perumahan, pendidikan dan kesehatan.
Tabel 1.
Nilai Indeks Kesiapsiagaan Stakeholders Utama
Pedesaan Kabupaten Aceh Besar dalam Mengantisipasi Bencana
Indeks Parameter
| Rumah Tangga | Komunitas Sekolah | Pemerintah Kecamatan |
Pengetahuan | 72 | 68 | - |
Kebijakan | - | 10 | 50 |
Rencana Tanggap Darurat | 53 | 39 | 50 |
Sistim Peringatan Bencana | 45 | 44 | 50 |
Kemampuan Memobilisasi Sumber Daya | 25 | 33 | 0 |
Indeks Gabungan
| 57 | 50 | 48 |
Sumber: Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana, LIPI – UNESCO/ISDR, 2006
Sangat rendahnya kesiapsiagaan sekolah untuk kebijakan (nilai indeks 10), menunjukkan hampir tidak ada kebijakan dan arahan dari instansi terkait untuk melakukan kesiapsiagaan di sekolah. Padahal pengalaman di satu lokasi kajian (Desa Ulee Paya) menunjukan bahwa peran guru dalam menyelamatkan anak didik cukup besar ketika terjadi bencana. Sedangkan rendahnya indeks mobilisasi sumber daya pada kedua komunitas (di bawah 40) menunjukan bahwa masyarakat belum siap memobilisasi sumber daya untuk kesiapsiagaan mengantisipasi bencana. Hal ini dipengaruhi oleh kehidupan masyarakat yang masih serba darurat dan masih tinggal di barak pengungsian, sehingga masih tergantung pada pihak lain.
Rendahnya indeks kesiapsiagaan pemerintah kecamatan (48) mengantisipasi bencana juga menunjukan kurang siapnya pemerintah daerah dalam mengantisipasi bencana. Hal ini dipengaruhi oleh minimnya jumlah aparat yang mengisi angket, serta tidak terungkapnya pengetahuan dan mobilisasi sumber daya dalam jawaban responden. Namun beberapa faktor seperti SDM aparat yang relatif baru dan jumlahnya sangat terbatas serta rendahnya peran pemerintah kecamatan dalam aktivitas pemulihan daerahnya, turut mempengaruhi hasil kesiapsiagaan pemerintah kecamatan.
Keterbatasan fasilitas hidup yang dimiliki masyarakat, menyebabkan sangat sedikit masyarakat yang memperhatikan rencana tanggap darurat, seperti kebutuhan untuk menyiapkan kelengkapan kesehatan, makan dan kebutuhan penting lainnya. Kemampuan mereka hanya terbatas untuk merencanakan hal-hal yang secara alami tersedia, atau tidak memerlukan biaya dan tenaga yang besar dalam menyediakannya seperti tempat pengungsian dan nomor telpon penting. Namun perencanaan tanggap darurat tersebut memerlukan kelengkapan sarana dan prasarana, yang tidak mungkin direalisasikan, tanpa bantuan pihak lain.
Indeks sistem peringatan dini menunjukan bahwa masyarakat masih kurang siap, baik dalam penyediaan sistem peringatan, maupun respons jika mendengar tanda peringatan tersebut. Sampai sekarang, sistem peringatan terhadap bencana tsunami belum tersedia di lokasi kajian, meskipun keterlambatan mengetahui adanya bencana, telah banyak menyebabkan korban jiwa di daerahnya. Selama ini masyarakat tidak menyadari bahwa daerahnya rawan bencana, sampai bencana tsunami memusnahkan semuanya. Karena keawaman masyarakat dalam hal bencana, maka satu-satunya peringatan yang dimiliki oleh sebagian komunitas adalah gerak reflek (alami) untuk melarikan diri ke tempat yang dianggap aman. Pengalaman bencana semakin menyadarkan masyarakat tentang perlunya sistem peringatan bencana yang dapat dijadikan panduan dalam mengurangi resiko bencana.
Dalam membangun pengetahuan dan sikap masyarakat, beberapa NGO memiliki potensi peran yang cukup besar untuk memfasilitasi kebutuhan pendidikan di tingkat desa dan sekolah di Aceh. International Federation Red Cross dan Red Crescent (IFRC), yang berkantor di Banda Aceh, memiliki ICBRR (Integrated Community Based Risk Reduction) dengan sasaran 64 desa di wilayah Aceh dan Nias. Meskipun, organisasi AIPRD-AusAID memiliki program yang mendukung peningkatan kapasitas kecamatan dan perencanaan desa berbasis masyarakat, namun belum terlihat adanya perhatian khusus terhadap upaya mengurangi resiko bencana maupun dukungan terhadap kesiapsiagaan masyarakat untuk mengantisipasi bencana. French Red Cross dan IFRC juga memiliki program khusus untuk sistem peringatan dini namun masih dititikberatkan pada pembangunan kapasitas staf PMI Aceh Besar serta kabupaten lainnya. Sampai sekarang belum ada bentuk program khusus NGO bagi masyarakat dalam membangun sistem peringatan bencana tingkat desa. Namun demikian, British Red Cross Society (BRCS) dalam aktivitasnya membangun perumahan penduduk di Desa Pulo Aceh, telah mengikutsertakan masyarakat dalam perencanaan peta perumahan, termasuk rencana membuatkan jalur evakuasi, serta pondok di titik tujuan evakuasi, yang dapat menyimpan cadangan kebutuhan penduduk dalam keadaan darurat. Demikian pula pemberian materi dan pemahaman kepada masyarakat desa sudah mulai dilakukan, meskipun belum optimal.
Berdasarkan pemahaman IFRC dan BRC tersebut, dapat disimpulkan bahwa kedua organisasi non pemerintah ini siap dalam mendukung pengetahuan masyarakat desa di Leupung dan Pulo Aceh. Kedua lembaga ini juga hampir siap dalam mendukung rencana tanggap darurat Desa Pulo Aceh. Sudah ada proses perencanaan desa dan pendampingan dalam tahap awal.
Untuk dukungan rencana tanggap darurat dan mobilisasi sumber daya, belum ada aktivitas konkrit, karenanya dapat dikatakan belum siap. Untuk aktivitas organisasi potensial mendukung kesiapsiagaan bencana seperti AIPRD-AusAID dan NGO lain yang bekerja di Pulo Aceh, pada umumnya tingkat dukungan lembaga tersebut dapat dikatakan belum siap secara keseluruhan.
Dukungan mereka saat ini diprioritaskan pada kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi perumahan masyarakat dan fasilitas publik lainnya yang tidak berkaitan langsung dengan kesiapsiagaan masyarakat dalam mengantisipasi bencana.
Kota Bengkulu
Kajian di Kota Bengkulu mencakup lima kecamatan, yaitu: Muara Bangka Hulu, Selebar, Kampung Melayu, Ratu Agung dan Gading Cempaka. Sebagai wakil kota menengah, jumlah responden untuk kegiatan survei/angket di Kota Bengkulu lebih banyak dari responden di pedesaan Aceh Besar, yaitu berjumlah 2000 responden yang terdiri dari: 1400 rumah tangga, 460 siswa, 100 guru dan 40 aparat pemerintah.
Profil Kota Bengkulu
Kota Bengkulu mempunyai bentang alam perbukitan yang bergelombang memanjang sejajar pantai dengan variasi ketinggian mulai dari 0-5 meter sampai di atas 20 meter dpl. Dibeberapa tempat terdapat tinggian dengan kedalaman sampai -5 meter dpl atau -10 meter dpl yang ditempati oleh batuan karang, seperti: Pulau Tikus atau Pulau Karang Lebar. Kota ini dibatasi oleh dataran pantai landai berbentuk tanjung dan teluk di sisi barat, daerah rendah berawa atau danau dan perbukitan di sisi timur dan selatan. Secara fisik Kota Bengkulu disusun oleh batuan lava andesit yang di atasnya ditutupi endapan breksi gunung api, batu lempung, batu apung, endapan rawa dan batuan alluvium.
Dengan kondisi alam tersebut, Kota Bengkulu rentan terhadap bahaya alam, seperti: gempa bumi, tanah retak dan amblas, abrasi, longsor, banjir, dan badai laut, sedangkan bahaya tsunami belum pernah tercatat dalam kondisi aktual. Gempa bumi seringkali melanda Bengkulu. Pada tanggal 4 Juni 2000 gempa bumi dengan kekuatan 7,9Mw menimbulkan bencana paling besar yang dirasakan penduduk kota ini. Berdasarkan catatan sejarah, bencana gempa juga pernah terjadi pada tahun 1833 (9Mw), 1914 (?Mw), 1940 (7Mw) dan 1980 (8Mw). Bencana gempa menyebabkan kerusakan bangunan di Kota Bengkulu. Hal ini berkaitan erat dengan kualitas bangunan yang tidak memenuhi syarat tahan gempa serta oleh amblasan dan retakan tanah yang disebut sebagai ‘urat gempa” oleh penduduk. Amblasan maupun retakan adalah gejala alam yang disebut sebagai ‘liquifaction” atau peluluhan, terutama terjadi pada batuan pasir-lanau lepas.
Kejadian alam yang juga sering melanda Kota Bengkulu adalah banjir pada musim hujan, terutama di sepanjang aliran Sungai Bengkulu. Daerah rawan bencana banjir antara lain adalah Tanjung Agung, Tanjung Jaya, Semarang dan Surabaya. Banjir diperkotaan sering diakibatkan oleh tersumbatnya saluran pembuangan (siring), akibat hujan besar dalam waktu yang lama dan pasang air laut yang naik sampai wilayah daratan.
Kota Bengkulu dihuni 288 ribu orang pada tahun 2005, atau meningkat 2,1 persen dari tahun 2000. Pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi ini dipengaruhi oleh migrasi berbagai suku, seperti: Minangkabau, Jawa, Sunda dan Batak (Bappeda Pemkot Bengkulu, 2005). Penduduk laki-laki dan perempuan jumlahnya berimbang dengan perbandingan 100,2 : 99,8 pada tahun 2004. Sebanyak 55 persen penduduk termasuk dalam kelompok umur dewasa, hanya sebagian kecil (13 persen) yang berumur 0-6 tahun dan lansia (3 persen). Dengan demikian, beban tanggungan antara kelompok yang perlu pertolongan dengan ’yang secara teoritis’ mampu menolong (13 – 55 tahun) sekitar 23 persen. Pada tahun 2005 kepadatan penduduk kota ini adalah 1992 orang/ km². Dilihat dari penyebaran penduduk, sebagian kecil bertempat tinggal dekat pantai (rawan tsunami) dan sebagian besar di daratan yang letaknya relatif jauh dari pantai, lebih aman dari bahaya tsunami tetapi masih rentan terhadap bahaya gempa bumi.
Sesuai dengan ciri wilayah perkotaan, mata pencaharian penduduk yang paling menonjol adalah di sektor jasa (37 persen), seperti pegawai negeri, swasta dan buruh, dan perdagangan (27 persen) (BPS dan Bappeda Kota Bengkulu, 2005). Mata pencaharian tersebut berpengaruh terhadap kondisi ekonomi penduduk yang sebagian besar relatif baik. Kondisi ini diindikasikan dari data BKKBN Kota Bengkulu tahun 2004 yang menunjukkan bahwa hanya 2 persen penduduk termasuk keluarga Pra Sejahtera (miskin sekali) dan 35 persen termasuk klasifikasi keluarga Sejahtera 1 (miskin).
Kondisi ekonomi penduduk Kota Bengkulu berkaitan erat dengan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang cukup baik. Menurut data tahun 2004, sebagian besar penduduk (65 persen) yang berusia 15 tahun ke atas, memiliki latar belakang pendidikan cukup tinggi, yaitu SMA ke atas. Hanya sebagian kecil yang memiliki pendidikan rendah atau SLTP ke bawah. Kondisi ini merupakan salah satu potensi yang cukup baik untuk mengembangkan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana alam di kota ini. Dengan pendidikan yang relatif tinggi diharapkan sosialisasi usaha kesiapsiagaan menjadi lebih mudah diterima bagi sebagian besar penduduk Kota Bengkulu.
Tingkat Kesiapsiagaan dalam Mengantisipasi Bencana
Hasil kajian menggambarkan bahwa Kota Bengkulu termasuk dalam kategori kurang siap untuk mengantisipasi bencana alam, diindikasikan dari nilai indeks yang hanya mencapai angka 51 dari indeks maksimal sebesar 100. Gambaran kurangnya kesiapsiagaan ini berasal dari semua setakeholders utama, yaitu: individu dan rumah tangga, komunitas sekolah dan pemerintah ((lihat grafik 2).
Nilai indeks kesiapsiagaan pemerintah menduduki posisi tertinggi, sedangkan rumah tangga, yang merupakan cerminan dari masyarakat Kota Bengkulu, nilai indeksnya berada diantara dua stakeholders lainnya. Hasil yang cukup mengagetkan adalah nilai indeks komunitas sekolah ternyata paling rendah.
Rendahnya nilai indeks kesiapsiagaan komunitas sekolah di Kota Bengkulu berkaitan dengan beberapa alasan. Dari lima parameter kesiapsiagaan bencana, tidak ada satu parameterpun yang masuk kategori siap, empat parameter (kebijakan, rencana tanggap darurat, peringatan bencana dan mobilisasi sumber daya) diklasifikasikan dalam kategori kurang Siap, hanya parameter pengetahuan saja yang termasuk kategori hampir siap (lihat tabel 2). Dari distribusi nilai indeks dapat diketahui bahwa institusi sekolah ternyata mempunyai nilai indeks kesiapsiagaan paling rendah (21), jika dibandingkan dengan indeks guru (58) dan siswa (69), keadaan ini berlaku untuk semua parameter.
Hasil kajian juga mengungkapkan bahwa komunitas sekolah, yang idealnya memiliki pengetahuan lebih tinggi karena merupakan sumber pengetahuan, ternyata mempunyai pengetahuan paling rendah diantara ke tiga stakeholderskota memiliki indeks pengetahuan tertinggi, sedangkan rumah tangga, nilai indeksnya berada diantara kedua stakeholders tersebut (lihat tabel 2). utama kesiapsiagaan masyarakat Kota Bengkulu. Sebaliknya, aparat pemerintah
Tabel 2
Nilai Indeks Kesiapsiagaan Stakeholders Utama Kota Bengkulu dalam Mengantisipasi Bencana
Indeks Parameter
| Rumah Tangga | Komunitas Sekolah | Pemerintah |
Pengetahuan | 69 | 64 | 80 |
Kebijakan | - | 11 | 40 |
Rencana Tanggap Darurat | 38 | 40 | 52 |
Sistim Peringatan Bencana | 56 | 45 | 38 |
Kemampuan Memobilisasi Sumber Daya | 28 | 27 | 52 |
Indeks Gabungan
| 51 | 48 | 54 |
Sumber: Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana, LIPI – UNESCO/ISDR, 2006
Kesiapsiagaan bencana belum menjadi prioritas kebijakan sekolah di Kota Bengkulu, digambarkan dari indeks yang sangat rendah, yaitu hanya mencapai angka 11. Hal ini berkaitan erat dengan kebijakan Dinas Pendidikan Nasional Kota Bengkulu yang masih menitik-beratkan pada pembangunan fisik bangunan sekolah. Minimnya kebijakan ini berimplikasi pada mobilisasi sumber daya sekolah dan rencana tanggap darurat di sekolah yang juga masih rendah.
Hasil yang juga cukup mengagetkan adalah kesiapsiagaan guru lebih rendah daripada siswa, dengan perbandingan nilai indeks 58 dan 69. Perbedaan angka indeks ini cukup besar, terutama terdapat pada mobilisasi sumber daya guru yang sangat rendah, hampir separuh (27:50) dari siswa. Indeks pengetahuan guru (60) juga lebih rendah dari siswa (71). Akses untuk meningkatkan kapasitas guru berkaitan dengan kesiapsiagaan bencana, seperti: mengikuti pelatihan, seminar dan pertemuan, masih sangat terbatas.
Gambaran kesiapsiagaan komunitas sekolah di atas mengindikasikan pentingnya peningkatan kepedulian dan kapasitas komunitas sekolah. Peningkatan kemampuan guru perlu mendapat perhatian serius, mengingat guru merupakan sumber pengetahuan dan mempunyai tanggung jawab yang besar dalam penyelamatan siswa apabila bencana terjadi pada saat jam belajar di sekolah. Upaya ini dapat dilakukan jika didukung oleh kebijakan pemerintah kota, Dinas Pendidikan dan sekolah untuk meningkatkan upaya sosialisasi dan pelatihan kepada para guru dan siswa serta menyediakan materi, alat peraga dan perlengkapan kesiapsiagaan bencana di sekolah. Upaya lain yang dapat dilakukan sekolah adalah meningkatkan kegiatan ekstra kurikuler (ekskul) yang berkaitan dengan kesiapsiagaan, seperti pertolongan pertama pada kegiatan UKS, dokter kecil dan PMR, penyelamatan/evakuasi, keterampilan tali temali dan pembuatan tenda pada kegiatan pramuka serta simulasi evakuasi melalui kegiatan olah raga.
Di Kota Bengkulu, pemerintah juga kurang siap dalam mengantisipasi bencana alam, meskipun nilai indeksnya paling tinggi (54). Meskipun tingkat pengetahuan pemerintah termasuk dalam kategori sangat siap (80), tetapi ke empat parameter kesiapsiagaan lainnya masih termasuk kategori kurang siap (lihat tabel 2). Jika ditelusuri lebih lanjut dari nilai indeks pemerintah, kontribusi terbesar berasal dari aparat pemerintah (72). Sebaliknya pemerintah kota yang idealnya bertanggung jawab terhadap kesiapsiagaan masyarakat, ternyata nilai indeksnya (45) menduduki posisi terendah, jika dibandingkan dengan nilai indeks aparat dan pemerintah kecamatan. Rendahnya indeks Pemerintah Kota Bengkulu ini berkaitan erat dengan belum adanya sistim peringatan bencana (25), dikarenakan masih menunggu sistim peringatan dari tingkat nasional.
Sebaliknya dengan pemerintah di tingkat kecamatan, dari lima kecamatan yang dikaji semua memiliki indeks peringatan bencana maksimal, masing-masing kecamatan mempunyai akses untuk mendapatkan informasi peringatan bencana. Selama ini, informasi bencana, seperti banjir, dilakukan dengan pendekatan bottom-up dari tingkat kelurahan meggunakan HP dan/atau HT. Informasi ini kemudian ditindak lanjuti dengan mengirimkan peringatan tersebut ke pemerintah Kota Bengkulu melalui walikota.
Analisa dalam kajian ini juga mengungkapkan ketergantungan Pemerintah Kota Bengkulu terhadap Pemerintah Provinsi Bengkulu cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari penentuan tempat-tempat evakuasi berasal dari rekomendasi Dinas ESDM Provinsi Bengkulu dan rencana pemenuhan kebutuhan dasar yang disiapkan oleh Dinas Sosial Provinsi Bengkulu. Kegiatan penyelamatan korban bencana mengandalkan SAR Pramuka Tingkat Provinsi Bengkulu dan Lanal, pelatihan penanggulangan bencana untuk satgana tergantung pada Departemen Sosial RI melalui Dinas Sosial Provinsi Bengkulu dan informasi bencana juga berasal dari jasa RAPI Tingkat Provinsi Bengkulu.
Dari tabel juga terungkap bahwa perencanaan untuk tanggap darurat pemerintah kota masih termasuk kategori kurang siap. Walaupun peta bahaya dan tempat-tempat evakuasi sudah disediakan oleh Pemerintah Provinsi Bengkulu, tetapi pemerintah kota belum menindak lanjutinya dengan pembuatan peta-peta evakuasi, rambu-rambu tanda bahaya dan jalur evakuasi. Demikian juga dengan rencana aksi untuk pertolongan, penyelamatan dan pengamanan dalam keadaan darurat bencana juga belum tersedia.
Meskipun organisasi pengelola bencana Satlak PB telah dibentuk dengan SK Walikota, tetapi belum bekerja secara optimal, karena masih kurangnya sosialisasi dan belum adanya prosedur tetap (protap) yang mengatur pembagian tugas dan tanggung jawab masing-masing angggota dan rencana aksi kesiapsiagaan untuk mengantisipasi bencana. Sementara ini kegiatan satlak nampaknya masih terbatas pada level pimpinan instansi yang melakukan pertemuan pada saat terjadi bencana, misalnya banjir yang sering melanda Kota Bengkulu. Sedangkan operasional di lapangan, aparat pemerintah masih bekerja sendiri-sendiri sesuai dengan tupoksi instansinya masing-masing.
Rumah tangga yang mewakili masyarakat Kota Bengkulu memiliki indeks kesiapsiagaan sebesar 51 yang berarti bahwa masyarakat masih kurang siap dalam mengantisipasi terjadinya bencana alam. Nilai indeks rumah tangga ini didominasi oleh pengetahuan dasar tentang bencana yang sudah cukup baik (69), sehingga masuk dalam kategori Siap, meskipun dari hasil workshop dikemukakan bahwa pengetahuan masyarakat masih minim. Sedangkan kesiapsiagaan rumah tangga untuk rencana dalam keadaan darurat (38) dan mobilisasi sumber daya rumah tangga (28) masih rendah. Hal ini berkaitan erat dengan masih terbatasnya kepedulian akan pentingnya kesiapsiagaan, mengingat gempa dan banjir sudah dianggap masyarakat sebagai kejadian rutin di Kota Bengkulu. Karena itu meskipun pengetahuan dasar masyarakat tentang bencana gempa dan tsunami cukup memadai, tetapi pengetahuan tersebut belum ditindak lanjuti dengan upaya konkrit pembuatan rencana penyelamatan dan mobilisasi sumber daya untuk mengantisipasi terjadinya bencana.
Kurangnya kesiapsiagaan masyarakat Kota Bengkulu juga berkaitan dengan masih minimnya dukungan dari stakeholders pendukung. Meskipun di Kota Bengkulu terdapat banyak LSM, belum satupun LSM yang konsen dengan kesiapsiagaan masyarakat dalam mengantisipasi bencana. Hanya beberapa stakeholders pendukung di tingkat provinsi yang mempunyai kegiatan kesiapsiagaan, seperti SAR-Pramuka, RAPI dan PMI.
Gambaran mengenai kurangnya kesiapsiagaan rumah tangga, komunitas sekolah dan pemerintah Kota Bengkulu di atas perlu mendapat perhatian serius, mengingat kota Bengkulu rentan terhadap bencana. Peningkatan kepedulian akan pentingnya kesiapsiagaan menjadi sangat penting, karena sebagian stakeholders menganggap bahwa gempa dan banjir merupakan kejadian alam yang rutin terjadi di Kota Bengkulu, sehingga tidak perlu disikapi secara khusus. Di samping itu, peningkatan kemampuan untuk mengantisipasi bencana sangat diperlukan bagi ketiga stakeholders. Meskipun pengetahuan dasar ketiganya relatif baik, tetapi pengetahuan tersebut belum didukung dengan kebijakan, perencanaan untuk keadaan darurat, sistim peringatan bencana dan mobilisasi sumber daya yang cukup karena masih terbatasnya kemampuan masing-masing stakeholder.
Kota Padang
Seperti di Kota Bengkulu, kajian di Kota Padang juga dilakukan di lima kecamatan, yaitu: Kecamatan Koto Tangah, Padang Utara, Padang Timur, Bungus Teluk Kabung dan Pauh. Kegiatan survei/angket melibatkan 4000 responden, paling banyak jika dibandingkan dengan dua lokasi lainnya, karena Padang mewakili kota besar dengan jumlah penduduk yang besar. Responden terdiri dari: 2800 rumah tangga, 920 siswa, 200 guru dan 80 aparat pemerintah.
Profil Kota Padang
Kota Padang yang terletak di pinggir pantai Barat Sumatera merupakan pusat perekonomian, pendidikan, pelabuhan dan pariwisata. Kota dengan luas wilayah sekitar 1.414,89 Km² merupakan perpaduan antara wilayah pantai, daerah aliran sungai, dataran, perbukitan dan pegunungan. Wilayah geografis kota yang membentang dari pantai sampai pegunungan ini rawan terhadap ancaman berbagai bencana alam, diantaranya letusan gunung berapi, tanah longsor dan banjir.Bencana tanah longsor berpotensi terjadi di kawasan pegunungan Bukit Barisan, tepatnya sebelah timur dari pusat kota dan pada bukit lainnya di kawasan Gunung Padang. Bentuk perbukitan yang relatif terjal dan tinggi dengan jenis tanah yang sangat labil menyebabkan bencana tanah longsor tidak hanya terjadi pada kawasan perbukitan dan pegunungan, namun juga berpotensi melanda daerah yang terletak di aliran lima sungai besar di kota Padang. Dengan adanya lima aliran sungai besar tersebut, bencana banjir juga sudah menjadi langganan Kota Padang yang menyebar di seluruh wilayah pusat kota.
Selain potensi bencana banjir dan tanah longsor, Kota Padang menurut para pakar geologi dinyatakan sebagai daerah rawan gempa, karena terletak diantara dua sumber gempa aktif yaitu pertemuan lempeng Australia dan lempeng Eurasia. Berdasarkan catatan sejarah pada tahun 1797 M dan 1833 M telah terjadi gempa besar (+ 9 skala richter) di sekitar Mentawai yang diikuti oleh gelombang tsunami yang besar, sehingga menghabiskan sepertiga Kota Padang. Jika dilihat sejarahnya, diperkirakan akan terjadi pengulangan gempa besar setiap 200 s/d 300 tahunan. Oleh karena itu kesiapsiagaan untuk mengantisipasi bencana menjadi sangat penting, mengingat jika terjadi gempa besar yang diikuti oleh tsunami, maka resiko bahaya sangat besar, karena Kota Padang terletak di pingir pantai dengan konsentrasi penduduk yang tinggal di wilayah pantai cukup tinggi.
Jumlah penduduk Kota Padang pada tahun 2005 sebanyak 784.740 jiwa terdiri dari 385.460 penduduk perempuan atau sekitar 49 persen dan penduduk laki-laki sebanyak 399.280 ( 51 persen). Dilihat menurut komposisi umur menunjukkan bahwa kelompok Balita atau penduduk berumur 0 - 4 tahun mempunyai proporsi sekitar 10 persen dari total penduduk, yaitu sekitar 77.807 jiwa. Pada kelompok penduduk lanjut usia jumlahnya juga relatif banyak, mencapai 28.653 jiwa atau sekitar 3,5 persen dari total penduduk Kota Padang.
Persebaran penduduk antar kecamatan memperlihatkan bahwa jumlah penduduk terbesar tinggal di Kecamatan Koto Tangah yaitu sebesar 145.193 jiwa (18 persen), diikuti dengan Kecamatan Kuranji dan Lubuk Begalung masing-masing sebesar; 108.029 jiwa (14 persen) dan 95.539 jiwa (12 persen). Apabila dilihat dari kepadatan ternyata Kecamatan Koto Tengah mempunyai kepadatan penduduk yang paling rendah, hanya sekitar 625 jiwa per Km2, disebabkan kecamatan ini merupakan wilayah terluas. Sementara itu untuk kecamatan-kecamatan di pusat kota, seperti Padang Timur, Padang Barat dan Padang Utara mempunyai wilayah dengan kepadatan paling tinggi, masing-masing mencapai 9.991 jiwa dan 8.819 jiwa per Km2.
Hal yang perlu mendapat perhatian adalah jumlah penduduk yang tinggal di zona rawan bencana tsunami, yaitu mereka yang bermukim di tepi pantai, hingga 5 meter di atas permukaan laut, jumlahnya cukup besar, mencapai 340.446 jiwa atau sekitar 43 persen dari total penduduk Kota Padang. Proporsi terbesar adalah penduduk yang tinggal di Kecamatan Koto Tangah, yaitu mencapai 89.764 jiwa. Untuk wilayah dalam kota, Kecamatan Padang Barat mempunyai penduduk yang tinggal di zona rawan cukup besar, yaitu mencapai 63.000 jiwa (Kogami, 2005). Banyaknya penduduk yang tinggal di lokasi rawan bencana, semakin meningkatkan pentingnya kesiapsiagaan dalam mengantisipasi bencana.
Tingkat Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana
Hasil kajian kesiapsiagaan menghadapi bencana yang dilakukan di Kota Padang menunjukkan nilai indeks kesiapsiagaan sebesar 63 dan termasuk dalam kategori hampir siap. Namun jika dicermati lebih lanjut, nilai indeks masing-masing stakeholder menunjukkan perbedaan yang cukup berarti. Nilai indeks pemerintah jauh lebih tinggi dibandingkan dengan nilai indeks komunitas sekolah dan rumah tangga. Nilai indeks pemerintah sebesar 75 dan termasuk dalam kategori siap, sedangkan indeks pada komunitas sekolah dan rumah tangga masing-masing 59 dan 56, masuk dalam kategori hampir siap.
Masih rendahnya nilai indeks kesiapsiagaan di tingkat rumah tangga dan komunitas sekolah ini berimplikasi pada pentingnya Pemerintah Kota Padang memfasilitasi upaya peningkatan kesiapsiagaaan menghadapi bencana pada masyarakat umum dan komunitas sekolah. Fasilitasi tersebut antara lain dapat berupa dukungan kebijakan untuk sekolah tentang pentingnya memasukkan pelajaran gempa kepada siswa. Hal ini tidak terlepas dari peran komunitas sekolah sebagai stakeholder utama dalam meningkatkan kesiapsiaagaan bencana. Melalui komunitas sekolah, pengetahuan dan kepedulian tentang bencana dapat diberikan sejak usia dini. Selain dukungan kebijakan, diperlukan pula dukungan bersifat teknis seperti penyediaan sarana/prasarana tanggap darurat dan peringatan bencana sampai ke tingkat kecamatan, kelurahan dan kelompok masyarakat.
Tingginya nilai indeks pemerintah kota Padang tidak terlepas dari dukungan dan peran stakeholders lain, seperti: KOGAMI, PMI, sektor swasta dan organisasi professional seperti ORARI dan RAPI. Berbagai kegiatan yang dilakukan oleh stakeholders tersebut mendukung kegiatan rencana tanggap darurat dan mobilisasi sumber daya yang dilakukan oleh pemerintah Kota Padang.
Kendatipun demikian tingginya nilai indeks pemerintah ini perlu ditinjau implementasinya di lapangan. Semua indikator kesiapsiagaan bencana, terutama dari parameter rencana tanggap darurat dan mobilisasi sumber daya telah terpenuhi, akan tetapi pelaksanaan di lapangan belum optimal. Belum optimalnya pelaksanaan ke dua parameter tersebut tercermin dari rendahnya nilai indeks rencana tanggap darurat dan mobilisasi sumber daya di tingkat pemeritah kecamatan. Nilai indeks rencana tanggap darurat dan mobilisasi sumber daya di tingkat pemerintah kota mencapai angka maksimal 100, sebaliknya dengan kecamatan nilai indeksnya masih sangat rendah, 38 untuk rencana tanggap darurat dan 33 untuk mobilisasi sumber daya.
Tabel 3.
Nilai Indeks Kesiapsiagaan Stakeholders Utama Kota Padang
dalam Mengantisipasi Bencana
Indeks Paramater | Rumah Tangga | Komunitas Sekolah | Pemerintah |
Pengetahuan | 72 | 72 | 80 |
Kebijakan | - | 57 | 69 |
Rencana Tanggap Darurat | 42 | 44 | 85 |
Peringatan Bencana | 73 | 56 | 49 |
Kemampuan Mobilisasi Sumber Daya | 32 | 37 | 76 |
Indeks Kesiapsiagaan | 56
| 59 | 75 |
Sumber: Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana, LIPI - UNESCO/ISDR, 2006
Peran pemerintah sebagai penyedia fasilitas kesiapsiagan bencana, seperti peta bencana dan peta evakuasi merupakan hal yang sangat diperlukan oleh masyarakat. Untuk pemerintah Kota Padang fungsi penyedia fasilitas tersebut tampaknya telah terpenuhi, terlihat dari tingginya nilai indeks rencana tanggap darurat (85), terutama berasal dari kontribusi nilai indeks rencana tanggap darurat pemerintah kota yang nilainya mencapai 100, sebaliknya untuk tingkat kecamatan hanya sebesar 38. Adanya kesenjangan ini mengindasikan bahwa fasilitas untuk rencana tanggap darurat, seperti: keberadaan peta bencana, peta evakuasi dan tempat-tempat evakuasi yang sudah ditentukan kurang disosialisasikan dan diimplementasikan pada tingkat pemerintahan yang lebih rendah.
Kurang disosialisasikannya berbagai fasilitas rencana tanggap darurat di tingkat kota juga terlihat dari adanya kesenjangan nilai indeks antara pemerintah, rumah tangga dan komunitas sekolah. Nilai indeks rumah tangga dan sekolah hanya sebesar 42 dan 44, sehingga masih termasuk dalam kategori kurang siap. Adanya perencanaan tanggap darurat di tingkat masyarakat sangat diperlukan untuk mengantisipasi dan melakukan tindakan penyelamatan yang harus segera dilakukan jika bencana terjadi.
Kesiapsiagaan dilihat dari parameter sistem peringatan bencana mempunyai nilai indeks yang rendah, terutama di tingkat pemerintah yaitu sebesar 49, karena itu termasuk kategori kurang siap. Disisi lain, nilai indeks di tingkat masyarakat (sekolah dan rumah tangga) cukup baik, masing-masing sebesar 62 (hampir siap) dan 73 (siap). Tingginya nilai indeks peringatan bencana di tingkat masyarakat ini merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan bagi penyerbarluasan informasi peringatan bencana. Untuk itu pemerintah perlu mengembangkan sistem peringatan bencana yang dapat menjembatani terputusnya sistem informasi dari pemerintah ke masyarakat.
Kemampuan pemerintah kota memobilisasi sumber daya relatif baik, diindikasikan dari nilai indeks yang cukup tinggi (76), sehingga masuk dalam kategori siap. Sementara itu di tingkat sekolah dan rumah tangga, nilai indeksnya masih rendah masing-asing sebesar 37 dan 32, karena itu termasuk kategori belum siap. Pemerintah sebagai stakeholder utama mempunyai tanggung jawab untuk memfasilitasi mobilisasi sumberdaya masyarakat melalui berbagai pelatihan berkaitan dengan kesiapsiagaan bencana.
Kebijakan yang berkaitan dengan kesiapsiagaan bencana di tingkat pemerintah kota dilihat dari nilai indeks ketersediaan dokumen kebijakan cukup baik yaitu sebesar 69 dan termasuk kategori cukup siap. Namun demikian berbagai kebijakan tersebut belum ditindak lanjuti dalam bentuk rencana kegiatan yang konkrit dan jelas, seperti keberadaan prosedur tetap (protap), rencana aksi, petunjuk teknis untuk merespon keadaan darurat bencana dan petunjuk teknis penaggulangan bencana.