01 Oktober 2009

Tingkat Kesiapsiagaan Masyarakat di Pedesaan Kabupaten Aceh Besar, Kota Bengkulu dan Padang

Tingkat Kesiapsiagaan Masyarakat di Pedesaan Kabupaten Aceh Besar, Kota Bengkulu dan Padang

Artikel ini mengemukakan ringkasan hasil kajian tingkat kesiapsiagaan masyarakat di tiga lokasi. Kajian ini menggunakan paket instrumen lengkap, yaitu kuesioner, pedoman wawancara dan panduan FGD dan workshop. Untuk mendapatkan pemahaman yang lengkap, maka pada bagian awal akan diulas profil singkat masing-masing lokasi.

Pedesaan di Kabupaten Aceh Besar

Di Kabupaten Aceh Besar, kajian dilakukan di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Leupung, khususnya di Desa Dayah Mamplam dan Pulot, dan Kecamatan Pulo Aceh di Desa Gugop dan Ulee Paya yang terletak di Pulau Breuh. Survei dilakukan pada responden sebanyak 205 rumah tangga dan 60 komunitas sekolah.

Profil Lokasi

Secara fisiografis Desa Dayah Mamplam dan Pulot di Kecamatan Leupung, serta Desa Gugop dan Ulee Paya di Kecamatan Pulau Aceh terletak di kawasan pantai barat Aceh yang berhadapan langsung dengan Samudera Indonesia. Desa-desa ini secara umum batuannya dibentuk oleh endapan aluvial yang terdiri dari material pasir, lempung dan lanau yang bersifat lunak dan belum mengalami pengerasan. Sedang perbukitan yang membatasi dataran pantai umumnya dibentuk oleh batuan yang lebih keras, yaitu batugamping/batu kapur, batuan beku berupa lava dan breksi gunung api serta batu pasir. Kawasan ini termasuk yang paling parah akibat terkena bencana gempa dan tsunami pada tanggal 26 Desember 2004. Hal ini dikarenakan jaraknya paling dekat dengan sumber/pusat gempa yang disusul dengan gelombang tsunami.

Secara geologis daerah kajian sangat rawan terhadap bencana gempa dan tsunami, antara lain dipengaruhi oleh:

  • Adanya gempa-gempa disebabkan pergerakan yang saling bertemu antara lempeng samudera Hindia dan lempeng Asia yang terdapat di bagian barat (Samudra Hindia).
  • Adanya gempa-gempa yang disebabkan oleh pergerakan patahan aktif Sumatera segmen Aceh yang melalui sekitar Banda Aceh.

Topografi Desa Dayah Mamplam, Pulot, Gugop dan Ulee Paya relatif datar dengan sudut lereng 0 – 5o . Di bagian timur dataran pantai di Desa Dayah Mamplam dan Desa Matai dibatasi oleh perbukitan yang curam dan terjal yang dibentuk oleh batugamping/batukapur. Kondisi perbukitan batu kapur tesebut sangat curam dan membentuk tonjolan-tonjolan dengan sudut lereng berkisar antara 60 – 80o, sehingga menjadi salah satu penghalang bagi masyarakat untuk menyelamatkan diri. Kondisi berbeda dijumpai di Desa Pulot, topografi perbukitannya relatif lebih landai dengan sudut lereng 25 – 45o dan disusun oleh batu pasir yang lebih lunak, sehingga memudahkan penduduk dalam mencapai perbukitan.

Akibat erosi dan gerusan gelombang tsunami, terjadi pengurangan kawasan daratan sekitar 100 – 300 m, karena masuknya air laut ke arah daratan. Bekas jalan raya dan beberapa sisa pohon kelapa yang sebelumnya didaratan (tepi pantai), kini tertutup air laut. Genangan air membentuk rawa pada dataran pantai ini. Tingkat kerawanan daerah ini meningkat akibat abrasi pantai dan angin yang sangat kencang, karena kawasan pantai kini terbuka, bebas dari pohon penghalang.

Banyaknya korban jiwa akibat bencana tsunami 26 Desember 2004, menyebabkan perubahan demografi di kedua lokasi kajian. Jumlah penduduk di Kecamatan Leupung menurun tajam, yaitu sekitar 70 persen selama 2003-2006. Rasio jenis kelamin meningkat dari 96 menjadi 131, yang menandakan perempuan jauh lebih banyak menjadi korban daripada laki-laki. Kepadatan penduduk di lokasi ini juga menurun tajam dari 104 menjadi hanya 34 jiwa per km2. Desa Dayah Mamplam paling banyak kehilangan penduduk, kini tinggal 557 jiwa atau 12 persen. Sebaliknya, sebagian besar penduduk Desa Plot (83 persen) selamat dari bencana tsunami. Selama 2003-2006, jumlah penduduk Kecamatan Pulo Aceh juga menurun sekitar 28 persen, rasio jenis kelamin meningkat dari 101 menjadi 120, ditandai dengan berkurangnya jumlah penduduk perempuan (32 persen) dan laki-laki sekitar 60 persen. Sedangkan Ulee Paya merupakan desa dengan korban jiwa terkecil (kurang dari 10 jiwa).

Desa Gugop mengalami korban jiwa dan kerugian harta yang cukup besar, akibat tidak dapat mengamati gejala terjadi tsunami usai gempa besar terjadi, seperti air laut surut. Masyarakat tidak mengetahui datangnya gelombang tsunami, meskipun tanah perbukitan relatif dekat dengan permukiman. Sebaliknya untuk Desa Ulee Paya, posisinya yang terhalang oleh bukit Desa Seurapong, menyebabkan gelombang tsunami agak tertahan melanda desa, sehingga sebagian besar penduduknya sempat menyelamatkan diri ke perbukitan, ditambah lagi peringatan dari masyarakat desa tetangga yang masih selamat dan berlari ke arah Desa Ulee Paya tersebut.

Keadaan pendidikan di lokasi kajian umumnya relatif rendah dimana lebih dari separuh penduduk berpendidikan SD dan khusus Desa Gugop, penduduk dengan pendidikan SMA jumlahnya relatif rendah. Kondisi pendidikan di Leupung relatif lebih baik dibandingkan Pulo Aceh, meskipun sampai sekarang, lokasi sekolah masih sama-sama menempati barak pengungsian. Dua lokasi kajian di Pulo Aceh hanya memiliki 1 unit SD dan SMP darurat, sementara di Leupung selain SD dan SMP, juga memiliki 1 unit SMA darurat. Rendahnya tingkat pendidikan terutama di Pulo Aceh, selain karena faktor ekonomi juga disebabkan oleh terbatasnya fasilitas dan aksesibilitas untuk dapat melanjutkan studi ke tingkat yang lebih tinggi. Keterbatasan sarana dan prasarana publik di daerah yang relatif terisolir ini, mempengaruhi aktivitas tenaga pendidik ke daerah ini, yang semakin tidak kondusif setelah bencana. Ketimpangan terjadi pada rasio guru dan siswa, yaitu di Leupung rasio mencapai 1 : 3, dan di Pulo Aceh 1 : 14. Demikian pula lokasi kedua desa kajian di Kecamatan Leupung mempunyai jarak dan aksesibilitas yang lebih baik ke Banda Aceh. Tahap rehabilitasi dan rekonstruksi fasilitas publik lainnya di Leupung relatif lebih cepat dibandingkan dengan Pulo Aceh.

Lokasi kajian di Pulo Aceh dan Leupung pada umumnya dekat dengan laut dan memiliki lahan di perbukitan yang cukup luas, sehingga memungkinkan penduduk mempunyai dua mata pencaharian sebagai nelayan dan petani. Sebelum tsunami terdapat beragam jenis tanaman pertanian di daerah tersebut, antara lain: padi, kopi, cengkeh, kina dan kelapa. Setelah tsunami, lahan untuk tanaman pangan belum dapat dimanfaatkan secara optimal, karena banyak tertimbun lumpur tsunami. Tanaman lain yang sangat terpengaruh oleh bencana tsunami adalah kelapa, karena banyak yang musnah, sehingga angin semakin kencang dari laut. Tanaman keras lain (pinang, kopi dan cengkeh) tidak terpengaruh oleh tsunami karena lokasi penanamannya di daerah perbukitan yang relatif tinggi. Hambatan utama perekonomian di Pulo Aceh adalah pemasaran hasil pertanian, sehingga potensi pertanian di daerah ini belum dikelola secara optimal.

Penduduk di kedua lokasi di Kecamatan Leupung mempunyai mata pencaharian utama sebagai nelayan dengan hasil laut yang menonjol adalah ikan teri. Pemasaran hasil lebih lancar karena diangkut langsung dari dermaga Leupung ke Banda Aceh. Sebagai nelayan, pekerjaan penduduk sangat terpengaruh oleh bencana tsunami, karena prasarana dermaga hancur dan semua sarana peralatan tangkap (bagan) musnah. Merosotnya hasil di sektor pertanian, juga berimbas pada merosotnya volume perdagangan, terutama ikan segar dan kering.

Akibat erosi dan gerusan gelombang tsunami, terjadi pengurangan kawasan daratan sekitar 100 – 300 m, karena masuknya air laut ke arah daratan. Bekas jalan raya dan beberapa sisa pohon kelapa yang sebelumnya didaratan (tepi pantai), kini tertutup air laut. Genangan air membentuk rawa pada dataran pantai ini. Tingkat kerawanan daerah ini meningkat akibat abrasi pantai dan angin yang sangat kencang, karena kawasan pantai kini terbuka, bebas dari pohon penghalang.

Banyaknya korban jiwa akibat bencana tsunami 26 Desember 2004, menyebabkan perubahan demografi di kedua lokasi kajian. Jumlah penduduk di Kecamatan Leupung menurun tajam, yaitu sekitar 70 persen selama 2003-2006. Rasio jenis kelamin meningkat dari 96 menjadi 131, yang menandakan perempuan jauh lebih banyak menjadi korban daripada laki-laki. Kepadatan penduduk di lokasi ini juga menurun tajam dari 104 menjadi hanya 34 jiwa per km2. Desa Dayah Mamplam paling banyak kehilangan penduduk, kini tinggal 557 jiwa atau 12 persen. Sebaliknya, sebagian besar penduduk Desa Plot (83 persen) selamat dari bencana tsunami. Selama 2003-2006, jumlah penduduk Kecamatan Pulo Aceh juga menurun sekitar 28 persen, rasio jenis kelamin meningkat dari 101 menjadi 120, ditandai dengan berkurangnya jumlah penduduk perempuan (32 persen) dan laki-laki sekitar 60 persen. Sedangkan Ulee Paya merupakan desa dengan korban jiwa terkecil (kurang dari 10 jiwa).

Desa Gugop mengalami korban jiwa dan kerugian harta yang cukup besar, akibat tidak dapat mengamati gejala terjadi tsunami usai gempa besar terjadi, seperti air laut surut. Masyarakat tidak mengetahui datangnya gelombang tsunami, meskipun tanah perbukitan relatif dekat dengan permukiman. Sebaliknya untuk Desa Ulee Paya, posisinya yang terhalang oleh bukit Desa Seurapong, menyebabkan gelombang tsunami agak tertahan melanda desa, sehingga sebagian besar penduduknya sempat menyelamatkan diri ke perbukitan, ditambah lagi peringatan dari masyarakat desa tetangga yang masih selamat dan berlari ke arah Desa Ulee Paya tersebut.

Keadaan pendidikan di lokasi kajian umumnya relatif rendah dimana lebih dari separuh penduduk berpendidikan SD dan khusus Desa Gugop, penduduk dengan pendidikan SMA jumlahnya relatif rendah. Kondisi pendidikan di Leupung relatif lebih baik dibandingkan Pulo Aceh, meskipun sampai sekarang, lokasi sekolah masih sama-sama menempati barak pengungsian. Dua lokasi kajian di Pulo Aceh hanya memiliki 1 unit SD dan SMP darurat, sementara di Leupung selain SD dan SMP, juga memiliki 1 unit SMA darurat. Rendahnya tingkat pendidikan terutama di Pulo Aceh, selain karena faktor ekonomi juga disebabkan oleh terbatasnya fasilitas dan aksesibilitas untuk dapat melanjutkan studi ke tingkat yang lebih tinggi. Keterbatasan sarana dan prasarana publik di daerah yang relatif terisolir ini, mempengaruhi aktivitas tenaga pendidik ke daerah ini, yang semakin tidak kondusif setelah bencana. Ketimpangan terjadi pada rasio guru dan siswa, yaitu di Leupung rasio mencapai 1 : 3, dan di Pulo Aceh 1 : 14. Demikian pula lokasi kedua desa kajian di Kecamatan Leupung mempunyai jarak dan aksesibilitas yang lebih baik ke Banda Aceh. Tahap rehabilitasi dan rekonstruksi fasilitas publik lainnya di Leupung relatif lebih cepat dibandingkan dengan Pulo Aceh.

Lokasi kajian di Pulo Aceh dan Leupung pada umumnya dekat dengan laut dan memiliki lahan di perbukitan yang cukup luas, sehingga memungkinkan penduduk mempunyai dua mata pencaharian sebagai nelayan dan petani. Sebelum tsunami terdapat beragam jenis tanaman pertanian di daerah tersebut, antara lain: padi, kopi, cengkeh, kina dan kelapa. Setelah tsunami, lahan untuk tanaman pangan belum dapat dimanfaatkan secara optimal, karena banyak tertimbun lumpur tsunami. Tanaman lain yang sangat terpengaruh oleh bencana tsunami adalah kelapa, karena banyak yang musnah, sehingga angin semakin kencang dari laut. Tanaman keras lain (pinang, kopi dan cengkeh) tidak terpengaruh oleh tsunami karena lokasi penanamannya di daerah perbukitan yang relatif tinggi. Hambatan utama perekonomian di Pulo Aceh adalah pemasaran hasil pertanian, sehingga potensi pertanian di daerah ini belum dikelola secara optimal.

Penduduk di kedua lokasi di Kecamatan Leupung mempunyai mata pencaharian utama sebagai nelayan dengan hasil laut yang menonjol adalah ikan teri. Pemasaran hasil lebih lancar karena diangkut langsung dari dermaga Leupung ke Banda Aceh. Sebagai nelayan, pekerjaan penduduk sangat terpengaruh oleh bencana tsunami, karena prasarana dermaga hancur dan semua sarana peralatan tangkap (bagan) musnah. Merosotnya hasil di sektor pertanian, juga berimbas pada merosotnya volume perdagangan, terutama ikan segar dan kering.

Tingkat Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana

ges/grafik-kesiapan-aceh.gifGrafik Kesiapan AcehHasil survei untuk ketiga komunitas yaitu rumah tangga, sekolah dan pemerintah menjadi dasar perhitungan indeks kesiapsiagaan setiap kelompok komunitas. Indeks pada setiap komunitas merupakan gabungan indeks dari kelima parameter kesiapsiagaan yaitu : 1) pengetahuan dan sikap (KA); 2) kebijakan (PS); 3) rencana tanggap darurat (EP); 4) sistem peringatan bencana (WS); dan 5) mobilisasi sumberdaya (RMC). Dari hasil perhitungan indeks kumulatif dengan memperhatikan bobot nilai masing-masing komunitas, tingkat kesiapsiagaan masyarakat pedesaan Aceh hanya mencapai nilai indeks 52, yang berarti secara keseluruhan daerah tersebut dalam keadaan kurang siap mengantisipasi bencana (lihat grafik 1.).

Dilihat dari indeks masing-masing komunitas, tingkat kesiapsiagaan tertinggi terdapat pada rumah tangga (RT) dengan nilai indeks 57 atau hampir siap, diikuti dengan nilai indeks komunitas sekolah (50) dan pemerintah kecamatan (48). Kedua komunitas tersebut termasuk dalam keadaan kurang siap mengantisipasi bencana.

Pengaruh paling besar dalam perhitungan tingkat kesiapsiagaan masyarakat perdesaan Aceh adalah tingkat pengetahuan dan sikap masyarakat (KA) yang dinilai cukup baik untuk individu/rumah tangga dan sekolah, sehingga nilai indeks pengetahuan rumah tangga sebesar 72 dan sekolah sebesar 68 yang dapat dikategorikan siap (lihat tabel 1). Hal ini berarti masyarakat cukup memahami bencana dan mengetahui tindakan yang harus dilakukan, apabila terjadi bencana gempa atau tsunami. Kesiapan masyarakat terutama dipengaruhi oleh pengalaman pribadi menghadapi bencana gempa dan tsunami, ditambah dengan pengetahuan yang berasal dari pelajaran sekolah atau sumber lainnya yang banyak diperoleh masyarakat setelah terjadi bencana nasional tersebut.

Namun demikian melihat relatif rendahnya angka indeks parameter lainnya menunjukkan bahwa pengetahuan yang dimiliki masyarakat belum diikuti dengan kesiapsiagaan dalam kebijakan, rencana untuk keadaan darurat, sistim peringatan dini bencana, maupun mobilisasi sumber daya yang cukup, sehingga kurang mendukung kesiapsiagaan masyarakat pedesaan Aceh pada umumnya. Hal ini terutama disebabkan prioritas masyarakat Aceh pada saat ini adalah melakukan pemulihan kondisi agar cepat menjadi normal kembali, terutama berkaitan dengan kebutuhan dasar masyarakat, seperti: perumahan, pendidikan dan kesehatan.

Tabel 1.

Nilai Indeks Kesiapsiagaan Stakeholders Utama

Pedesaan Kabupaten Aceh Besar dalam Mengantisipasi Bencana

Indeks

Parameter

Rumah Tangga

Komunitas Sekolah

Pemerintah Kecamatan

Pengetahuan

72

68

-

Kebijakan

-

10

50

Rencana Tanggap Darurat

53

39

50

Sistim Peringatan Bencana

45

44

50

Kemampuan Memobilisasi Sumber Daya

25

33

0

Indeks Gabungan

57

50

48

Sumber: Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana, LIPI – UNESCO/ISDR, 2006

Sangat rendahnya kesiapsiagaan sekolah untuk kebijakan (nilai indeks 10), menunjukkan hampir tidak ada kebijakan dan arahan dari instansi terkait untuk melakukan kesiapsiagaan di sekolah. Padahal pengalaman di satu lokasi kajian (Desa Ulee Paya) menunjukan bahwa peran guru dalam menyelamatkan anak didik cukup besar ketika terjadi bencana. Sedangkan rendahnya indeks mobilisasi sumber daya pada kedua komunitas (di bawah 40) menunjukan bahwa masyarakat belum siap memobilisasi sumber daya untuk kesiapsiagaan mengantisipasi bencana. Hal ini dipengaruhi oleh kehidupan masyarakat yang masih serba darurat dan masih tinggal di barak pengungsian, sehingga masih tergantung pada pihak lain.

Rendahnya indeks kesiapsiagaan pemerintah kecamatan (48) mengantisipasi bencana juga menunjukan kurang siapnya pemerintah daerah dalam mengantisipasi bencana. Hal ini dipengaruhi oleh minimnya jumlah aparat yang mengisi angket, serta tidak terungkapnya pengetahuan dan mobilisasi sumber daya dalam jawaban responden. Namun beberapa faktor seperti SDM aparat yang relatif baru dan jumlahnya sangat terbatas serta rendahnya peran pemerintah kecamatan dalam aktivitas pemulihan daerahnya, turut mempengaruhi hasil kesiapsiagaan pemerintah kecamatan.

Keterbatasan fasilitas hidup yang dimiliki masyarakat, menyebabkan sangat sedikit masyarakat yang memperhatikan rencana tanggap darurat, seperti kebutuhan untuk menyiapkan kelengkapan kesehatan, makan dan kebutuhan penting lainnya. Kemampuan mereka hanya terbatas untuk merencanakan hal-hal yang secara alami tersedia, atau tidak memerlukan biaya dan tenaga yang besar dalam menyediakannya seperti tempat pengungsian dan nomor telpon penting. Namun perencanaan tanggap darurat tersebut memerlukan kelengkapan sarana dan prasarana, yang tidak mungkin direalisasikan, tanpa bantuan pihak lain.

Indeks sistem peringatan dini menunjukan bahwa masyarakat masih kurang siap, baik dalam penyediaan sistem peringatan, maupun respons jika mendengar tanda peringatan tersebut. Sampai sekarang, sistem peringatan terhadap bencana tsunami belum tersedia di lokasi kajian, meskipun keterlambatan mengetahui adanya bencana, telah banyak menyebabkan korban jiwa di daerahnya. Selama ini masyarakat tidak menyadari bahwa daerahnya rawan bencana, sampai bencana tsunami memusnahkan semuanya. Karena keawaman masyarakat dalam hal bencana, maka satu-satunya peringatan yang dimiliki oleh sebagian komunitas adalah gerak reflek (alami) untuk melarikan diri ke tempat yang dianggap aman. Pengalaman bencana semakin menyadarkan masyarakat tentang perlunya sistem peringatan bencana yang dapat dijadikan panduan dalam mengurangi resiko bencana.

Dalam membangun pengetahuan dan sikap masyarakat, beberapa NGO memiliki potensi peran yang cukup besar untuk memfasilitasi kebutuhan pendidikan di tingkat desa dan sekolah di Aceh. International Federation Red Cross dan Red Crescent (IFRC), yang berkantor di Banda Aceh, memiliki ICBRR (Integrated Community Based Risk Reduction) dengan sasaran 64 desa di wilayah Aceh dan Nias. Meskipun, organisasi AIPRD-AusAID memiliki program yang mendukung peningkatan kapasitas kecamatan dan perencanaan desa berbasis masyarakat, namun belum terlihat adanya perhatian khusus terhadap upaya mengurangi resiko bencana maupun dukungan terhadap kesiapsiagaan masyarakat untuk mengantisipasi bencana. French Red Cross dan IFRC juga memiliki program khusus untuk sistem peringatan dini namun masih dititikberatkan pada pembangunan kapasitas staf PMI Aceh Besar serta kabupaten lainnya. Sampai sekarang belum ada bentuk program khusus NGO bagi masyarakat dalam membangun sistem peringatan bencana tingkat desa. Namun demikian, British Red Cross Society (BRCS) dalam aktivitasnya membangun perumahan penduduk di Desa Pulo Aceh, telah mengikutsertakan masyarakat dalam perencanaan peta perumahan, termasuk rencana membuatkan jalur evakuasi, serta pondok di titik tujuan evakuasi, yang dapat menyimpan cadangan kebutuhan penduduk dalam keadaan darurat. Demikian pula pemberian materi dan pemahaman kepada masyarakat desa sudah mulai dilakukan, meskipun belum optimal.

Berdasarkan pemahaman IFRC dan BRC tersebut, dapat disimpulkan bahwa kedua organisasi non pemerintah ini siap dalam mendukung pengetahuan masyarakat desa di Leupung dan Pulo Aceh. Kedua lembaga ini juga hampir siap dalam mendukung rencana tanggap darurat Desa Pulo Aceh. Sudah ada proses perencanaan desa dan pendampingan dalam tahap awal.

Untuk dukungan rencana tanggap darurat dan mobilisasi sumber daya, belum ada aktivitas konkrit, karenanya dapat dikatakan belum siap. Untuk aktivitas organisasi potensial mendukung kesiapsiagaan bencana seperti AIPRD-AusAID dan NGO lain yang bekerja di Pulo Aceh, pada umumnya tingkat dukungan lembaga tersebut dapat dikatakan belum siap secara keseluruhan.

Dukungan mereka saat ini diprioritaskan pada kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi perumahan masyarakat dan fasilitas publik lainnya yang tidak berkaitan langsung dengan kesiapsiagaan masyarakat dalam mengantisipasi bencana.

Kota Bengkulu

Kajian di Kota Bengkulu mencakup lima kecamatan, yaitu: Muara Bangka Hulu, Selebar, Kampung Melayu, Ratu Agung dan Gading Cempaka. Sebagai wakil kota menengah, jumlah responden untuk kegiatan survei/angket di Kota Bengkulu lebih banyak dari responden di pedesaan Aceh Besar, yaitu berjumlah 2000 responden yang terdiri dari: 1400 rumah tangga, 460 siswa, 100 guru dan 40 aparat pemerintah.

Profil Kota Bengkulu

Kota Bengkulu mempunyai bentang alam perbukitan yang bergelombang memanjang sejajar pantai dengan variasi ketinggian mulai dari 0-5 meter sampai di atas 20 meter dpl. Dibeberapa tempat terdapat tinggian dengan kedalaman sampai -5 meter dpl atau -10 meter dpl yang ditempati oleh batuan karang, seperti: Pulau Tikus atau Pulau Karang Lebar. Kota ini dibatasi oleh dataran pantai landai berbentuk tanjung dan teluk di sisi barat, daerah rendah berawa atau danau dan perbukitan di sisi timur dan selatan. Secara fisik Kota Bengkulu disusun oleh batuan lava andesit yang di atasnya ditutupi endapan breksi gunung api, batu lempung, batu apung, endapan rawa dan batuan alluvium.

Dengan kondisi alam tersebut, Kota Bengkulu rentan terhadap bahaya alam, seperti: gempa bumi, tanah retak dan amblas, abrasi, longsor, banjir, dan badai laut, sedangkan bahaya tsunami belum pernah tercatat dalam kondisi aktual. Gempa bumi seringkali melanda Bengkulu. Pada tanggal 4 Juni 2000 gempa bumi dengan kekuatan 7,9Mw menimbulkan bencana paling besar yang dirasakan penduduk kota ini. Berdasarkan catatan sejarah, bencana gempa juga pernah terjadi pada tahun 1833 (9Mw), 1914 (?Mw), 1940 (7Mw) dan 1980 (8Mw). Bencana gempa menyebabkan kerusakan bangunan di Kota Bengkulu. Hal ini berkaitan erat dengan kualitas bangunan yang tidak memenuhi syarat tahan gempa serta oleh amblasan dan retakan tanah yang disebut sebagai ‘urat gempa” oleh penduduk. Amblasan maupun retakan adalah gejala alam yang disebut sebagai ‘liquifaction” atau peluluhan, terutama terjadi pada batuan pasir-lanau lepas.

Kejadian alam yang juga sering melanda Kota Bengkulu adalah banjir pada musim hujan, terutama di sepanjang aliran Sungai Bengkulu. Daerah rawan bencana banjir antara lain adalah Tanjung Agung, Tanjung Jaya, Semarang dan Surabaya. Banjir diperkotaan sering diakibatkan oleh tersumbatnya saluran pembuangan (siring), akibat hujan besar dalam waktu yang lama dan pasang air laut yang naik sampai wilayah daratan.

Kota Bengkulu dihuni 288 ribu orang pada tahun 2005, atau meningkat 2,1 persen dari tahun 2000. Pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi ini dipengaruhi oleh migrasi berbagai suku, seperti: Minangkabau, Jawa, Sunda dan Batak (Bappeda Pemkot Bengkulu, 2005). Penduduk laki-laki dan perempuan jumlahnya berimbang dengan perbandingan 100,2 : 99,8 pada tahun 2004. Sebanyak 55 persen penduduk termasuk dalam kelompok umur dewasa, hanya sebagian kecil (13 persen) yang berumur 0-6 tahun dan lansia (3 persen). Dengan demikian, beban tanggungan antara kelompok yang perlu pertolongan dengan ’yang secara teoritis’ mampu menolong (13 – 55 tahun) sekitar 23 persen. Pada tahun 2005 kepadatan penduduk kota ini adalah 1992 orang/ km². Dilihat dari penyebaran penduduk, sebagian kecil bertempat tinggal dekat pantai (rawan tsunami) dan sebagian besar di daratan yang letaknya relatif jauh dari pantai, lebih aman dari bahaya tsunami tetapi masih rentan terhadap bahaya gempa bumi.

Sesuai dengan ciri wilayah perkotaan, mata pencaharian penduduk yang paling menonjol adalah di sektor jasa (37 persen), seperti pegawai negeri, swasta dan buruh, dan perdagangan (27 persen) (BPS dan Bappeda Kota Bengkulu, 2005). Mata pencaharian tersebut berpengaruh terhadap kondisi ekonomi penduduk yang sebagian besar relatif baik. Kondisi ini diindikasikan dari data BKKBN Kota Bengkulu tahun 2004 yang menunjukkan bahwa hanya 2 persen penduduk termasuk keluarga Pra Sejahtera (miskin sekali) dan 35 persen termasuk klasifikasi keluarga Sejahtera 1 (miskin).

Kondisi ekonomi penduduk Kota Bengkulu berkaitan erat dengan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang cukup baik. Menurut data tahun 2004, sebagian besar penduduk (65 persen) yang berusia 15 tahun ke atas, memiliki latar belakang pendidikan cukup tinggi, yaitu SMA ke atas. Hanya sebagian kecil yang memiliki pendidikan rendah atau SLTP ke bawah. Kondisi ini merupakan salah satu potensi yang cukup baik untuk mengembangkan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana alam di kota ini. Dengan pendidikan yang relatif tinggi diharapkan sosialisasi usaha kesiapsiagaan menjadi lebih mudah diterima bagi sebagian besar penduduk Kota Bengkulu.

Tingkat Kesiapsiagaan dalam Mengantisipasi Bencana

Hasil kajian menggambarkan bahwa Kota Bengkulu termasuk dalam kategori kurang siap untuk mengantisipasi bencana alam, diindikasikan dari nilai indeks yang hanya mencapai angka 51 dari indeks maksimal sebesar 100. Gambaran kurangnya kesiapsiagaan ini berasal dari semua setakeholders utama, yaitu: individu dan rumah tangga, komunitas sekolah dan pemerintah ((lihat grafik 2).

Index Kesiagaan Kota Bengkulu

Nilai indeks kesiapsiagaan pemerintah menduduki posisi tertinggi, sedangkan rumah tangga, yang merupakan cerminan dari masyarakat Kota Bengkulu, nilai indeksnya berada diantara dua stakeholders lainnya. Hasil yang cukup mengagetkan adalah nilai indeks komunitas sekolah ternyata paling rendah.

Rendahnya nilai indeks kesiapsiagaan komunitas sekolah di Kota Bengkulu berkaitan dengan beberapa alasan. Dari lima parameter kesiapsiagaan bencana, tidak ada satu parameterpun yang masuk kategori siap, empat parameter (kebijakan, rencana tanggap darurat, peringatan bencana dan mobilisasi sumber daya) diklasifikasikan dalam kategori kurang Siap, hanya parameter pengetahuan saja yang termasuk kategori hampir siap (lihat tabel 2). Dari distribusi nilai indeks dapat diketahui bahwa institusi sekolah ternyata mempunyai nilai indeks kesiapsiagaan paling rendah (21), jika dibandingkan dengan indeks guru (58) dan siswa (69), keadaan ini berlaku untuk semua parameter.

Hasil kajian juga mengungkapkan bahwa komunitas sekolah, yang idealnya memiliki pengetahuan lebih tinggi karena merupakan sumber pengetahuan, ternyata mempunyai pengetahuan paling rendah diantara ke tiga stakeholderskota memiliki indeks pengetahuan tertinggi, sedangkan rumah tangga, nilai indeksnya berada diantara kedua stakeholders tersebut (lihat tabel 2). utama kesiapsiagaan masyarakat Kota Bengkulu. Sebaliknya, aparat pemerintah

Tabel 2

Nilai Indeks Kesiapsiagaan Stakeholders Utama Kota Bengkulu dalam Mengantisipasi Bencana

Indeks

Parameter

Rumah Tangga

Komunitas Sekolah

Pemerintah

Pengetahuan

69

64

80

Kebijakan

-

11

40

Rencana Tanggap Darurat

38

40

52

Sistim Peringatan Bencana

56

45

38

Kemampuan Memobilisasi Sumber Daya

28

27

52

Indeks Gabungan

51

48

54

Sumber: Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana, LIPI – UNESCO/ISDR, 2006

Kesiapsiagaan bencana belum menjadi prioritas kebijakan sekolah di Kota Bengkulu, digambarkan dari indeks yang sangat rendah, yaitu hanya mencapai angka 11. Hal ini berkaitan erat dengan kebijakan Dinas Pendidikan Nasional Kota Bengkulu yang masih menitik-beratkan pada pembangunan fisik bangunan sekolah. Minimnya kebijakan ini berimplikasi pada mobilisasi sumber daya sekolah dan rencana tanggap darurat di sekolah yang juga masih rendah.

Hasil yang juga cukup mengagetkan adalah kesiapsiagaan guru lebih rendah daripada siswa, dengan perbandingan nilai indeks 58 dan 69. Perbedaan angka indeks ini cukup besar, terutama terdapat pada mobilisasi sumber daya guru yang sangat rendah, hampir separuh (27:50) dari siswa. Indeks pengetahuan guru (60) juga lebih rendah dari siswa (71). Akses untuk meningkatkan kapasitas guru berkaitan dengan kesiapsiagaan bencana, seperti: mengikuti pelatihan, seminar dan pertemuan, masih sangat terbatas.

Gambaran kesiapsiagaan komunitas sekolah di atas mengindikasikan pentingnya peningkatan kepedulian dan kapasitas komunitas sekolah. Peningkatan kemampuan guru perlu mendapat perhatian serius, mengingat guru merupakan sumber pengetahuan dan mempunyai tanggung jawab yang besar dalam penyelamatan siswa apabila bencana terjadi pada saat jam belajar di sekolah. Upaya ini dapat dilakukan jika didukung oleh kebijakan pemerintah kota, Dinas Pendidikan dan sekolah untuk meningkatkan upaya sosialisasi dan pelatihan kepada para guru dan siswa serta menyediakan materi, alat peraga dan perlengkapan kesiapsiagaan bencana di sekolah. Upaya lain yang dapat dilakukan sekolah adalah meningkatkan kegiatan ekstra kurikuler (ekskul) yang berkaitan dengan kesiapsiagaan, seperti pertolongan pertama pada kegiatan UKS, dokter kecil dan PMR, penyelamatan/evakuasi, keterampilan tali temali dan pembuatan tenda pada kegiatan pramuka serta simulasi evakuasi melalui kegiatan olah raga.

Di Kota Bengkulu, pemerintah juga kurang siap dalam mengantisipasi bencana alam, meskipun nilai indeksnya paling tinggi (54). Meskipun tingkat pengetahuan pemerintah termasuk dalam kategori sangat siap (80), tetapi ke empat parameter kesiapsiagaan lainnya masih termasuk kategori kurang siap (lihat tabel 2). Jika ditelusuri lebih lanjut dari nilai indeks pemerintah, kontribusi terbesar berasal dari aparat pemerintah (72). Sebaliknya pemerintah kota yang idealnya bertanggung jawab terhadap kesiapsiagaan masyarakat, ternyata nilai indeksnya (45) menduduki posisi terendah, jika dibandingkan dengan nilai indeks aparat dan pemerintah kecamatan. Rendahnya indeks Pemerintah Kota Bengkulu ini berkaitan erat dengan belum adanya sistim peringatan bencana (25), dikarenakan masih menunggu sistim peringatan dari tingkat nasional.

Sebaliknya dengan pemerintah di tingkat kecamatan, dari lima kecamatan yang dikaji semua memiliki indeks peringatan bencana maksimal, masing-masing kecamatan mempunyai akses untuk mendapatkan informasi peringatan bencana. Selama ini, informasi bencana, seperti banjir, dilakukan dengan pendekatan bottom-up dari tingkat kelurahan meggunakan HP dan/atau HT. Informasi ini kemudian ditindak lanjuti dengan mengirimkan peringatan tersebut ke pemerintah Kota Bengkulu melalui walikota.

Analisa dalam kajian ini juga mengungkapkan ketergantungan Pemerintah Kota Bengkulu terhadap Pemerintah Provinsi Bengkulu cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari penentuan tempat-tempat evakuasi berasal dari rekomendasi Dinas ESDM Provinsi Bengkulu dan rencana pemenuhan kebutuhan dasar yang disiapkan oleh Dinas Sosial Provinsi Bengkulu. Kegiatan penyelamatan korban bencana mengandalkan SAR Pramuka Tingkat Provinsi Bengkulu dan Lanal, pelatihan penanggulangan bencana untuk satgana tergantung pada Departemen Sosial RI melalui Dinas Sosial Provinsi Bengkulu dan informasi bencana juga berasal dari jasa RAPI Tingkat Provinsi Bengkulu.

Dari tabel juga terungkap bahwa perencanaan untuk tanggap darurat pemerintah kota masih termasuk kategori kurang siap. Walaupun peta bahaya dan tempat-tempat evakuasi sudah disediakan oleh Pemerintah Provinsi Bengkulu, tetapi pemerintah kota belum menindak lanjutinya dengan pembuatan peta-peta evakuasi, rambu-rambu tanda bahaya dan jalur evakuasi. Demikian juga dengan rencana aksi untuk pertolongan, penyelamatan dan pengamanan dalam keadaan darurat bencana juga belum tersedia.

Meskipun organisasi pengelola bencana Satlak PB telah dibentuk dengan SK Walikota, tetapi belum bekerja secara optimal, karena masih kurangnya sosialisasi dan belum adanya prosedur tetap (protap) yang mengatur pembagian tugas dan tanggung jawab masing-masing angggota dan rencana aksi kesiapsiagaan untuk mengantisipasi bencana. Sementara ini kegiatan satlak nampaknya masih terbatas pada level pimpinan instansi yang melakukan pertemuan pada saat terjadi bencana, misalnya banjir yang sering melanda Kota Bengkulu. Sedangkan operasional di lapangan, aparat pemerintah masih bekerja sendiri-sendiri sesuai dengan tupoksi instansinya masing-masing.

Rumah tangga yang mewakili masyarakat Kota Bengkulu memiliki indeks kesiapsiagaan sebesar 51 yang berarti bahwa masyarakat masih kurang siap dalam mengantisipasi terjadinya bencana alam. Nilai indeks rumah tangga ini didominasi oleh pengetahuan dasar tentang bencana yang sudah cukup baik (69), sehingga masuk dalam kategori Siap, meskipun dari hasil workshop dikemukakan bahwa pengetahuan masyarakat masih minim. Sedangkan kesiapsiagaan rumah tangga untuk rencana dalam keadaan darurat (38) dan mobilisasi sumber daya rumah tangga (28) masih rendah. Hal ini berkaitan erat dengan masih terbatasnya kepedulian akan pentingnya kesiapsiagaan, mengingat gempa dan banjir sudah dianggap masyarakat sebagai kejadian rutin di Kota Bengkulu. Karena itu meskipun pengetahuan dasar masyarakat tentang bencana gempa dan tsunami cukup memadai, tetapi pengetahuan tersebut belum ditindak lanjuti dengan upaya konkrit pembuatan rencana penyelamatan dan mobilisasi sumber daya untuk mengantisipasi terjadinya bencana.

Kurangnya kesiapsiagaan masyarakat Kota Bengkulu juga berkaitan dengan masih minimnya dukungan dari stakeholders pendukung. Meskipun di Kota Bengkulu terdapat banyak LSM, belum satupun LSM yang konsen dengan kesiapsiagaan masyarakat dalam mengantisipasi bencana. Hanya beberapa stakeholders pendukung di tingkat provinsi yang mempunyai kegiatan kesiapsiagaan, seperti SAR-Pramuka, RAPI dan PMI.

Gambaran mengenai kurangnya kesiapsiagaan rumah tangga, komunitas sekolah dan pemerintah Kota Bengkulu di atas perlu mendapat perhatian serius, mengingat kota Bengkulu rentan terhadap bencana. Peningkatan kepedulian akan pentingnya kesiapsiagaan menjadi sangat penting, karena sebagian stakeholders menganggap bahwa gempa dan banjir merupakan kejadian alam yang rutin terjadi di Kota Bengkulu, sehingga tidak perlu disikapi secara khusus. Di samping itu, peningkatan kemampuan untuk mengantisipasi bencana sangat diperlukan bagi ketiga stakeholders. Meskipun pengetahuan dasar ketiganya relatif baik, tetapi pengetahuan tersebut belum didukung dengan kebijakan, perencanaan untuk keadaan darurat, sistim peringatan bencana dan mobilisasi sumber daya yang cukup karena masih terbatasnya kemampuan masing-masing stakeholder.

Kota Padang

Seperti di Kota Bengkulu, kajian di Kota Padang juga dilakukan di lima kecamatan, yaitu: Kecamatan Koto Tangah, Padang Utara, Padang Timur, Bungus Teluk Kabung dan Pauh. Kegiatan survei/angket melibatkan 4000 responden, paling banyak jika dibandingkan dengan dua lokasi lainnya, karena Padang mewakili kota besar dengan jumlah penduduk yang besar. Responden terdiri dari: 2800 rumah tangga, 920 siswa, 200 guru dan 80 aparat pemerintah.

Profil Kota Padang

Kota Padang yang terletak di pinggir pantai Barat Sumatera merupakan pusat perekonomian, pendidikan, pelabuhan dan pariwisata. Kota dengan luas wilayah sekitar 1.414,89 Km² merupakan perpaduan antara wilayah pantai, daerah aliran sungai, dataran, perbukitan dan pegunungan. Wilayah geografis kota yang membentang dari pantai sampai pegunungan ini rawan terhadap ancaman berbagai bencana alam, diantaranya letusan gunung berapi, tanah longsor dan banjir.Bencana tanah longsor berpotensi terjadi di kawasan pegunungan Bukit Barisan, tepatnya sebelah timur dari pusat kota dan pada bukit lainnya di kawasan Gunung Padang. Bentuk perbukitan yang relatif terjal dan tinggi dengan jenis tanah yang sangat labil menyebabkan bencana tanah longsor tidak hanya terjadi pada kawasan perbukitan dan pegunungan, namun juga berpotensi melanda daerah yang terletak di aliran lima sungai besar di kota Padang. Dengan adanya lima aliran sungai besar tersebut, bencana banjir juga sudah menjadi langganan Kota Padang yang menyebar di seluruh wilayah pusat kota.

Selain potensi bencana banjir dan tanah longsor, Kota Padang menurut para pakar geologi dinyatakan sebagai daerah rawan gempa, karena terletak diantara dua sumber gempa aktif yaitu pertemuan lempeng Australia dan lempeng Eurasia. Berdasarkan catatan sejarah pada tahun 1797 M dan 1833 M telah terjadi gempa besar (+ 9 skala richter) di sekitar Mentawai yang diikuti oleh gelombang tsunami yang besar, sehingga menghabiskan sepertiga Kota Padang. Jika dilihat sejarahnya, diperkirakan akan terjadi pengulangan gempa besar setiap 200 s/d 300 tahunan. Oleh karena itu kesiapsiagaan untuk mengantisipasi bencana menjadi sangat penting, mengingat jika terjadi gempa besar yang diikuti oleh tsunami, maka resiko bahaya sangat besar, karena Kota Padang terletak di pingir pantai dengan konsentrasi penduduk yang tinggal di wilayah pantai cukup tinggi.

Jumlah penduduk Kota Padang pada tahun 2005 sebanyak 784.740 jiwa terdiri dari 385.460 penduduk perempuan atau sekitar 49 persen dan penduduk laki-laki sebanyak 399.280 ( 51 persen). Dilihat menurut komposisi umur menunjukkan bahwa kelompok Balita atau penduduk berumur 0 - 4 tahun mempunyai proporsi sekitar 10 persen dari total penduduk, yaitu sekitar 77.807 jiwa. Pada kelompok penduduk lanjut usia jumlahnya juga relatif banyak, mencapai 28.653 jiwa atau sekitar 3,5 persen dari total penduduk Kota Padang.

Persebaran penduduk antar kecamatan memperlihatkan bahwa jumlah penduduk terbesar tinggal di Kecamatan Koto Tangah yaitu sebesar 145.193 jiwa (18 persen), diikuti dengan Kecamatan Kuranji dan Lubuk Begalung masing-masing sebesar; 108.029 jiwa (14 persen) dan 95.539 jiwa (12 persen). Apabila dilihat dari kepadatan ternyata Kecamatan Koto Tengah mempunyai kepadatan penduduk yang paling rendah, hanya sekitar 625 jiwa per Km2, disebabkan kecamatan ini merupakan wilayah terluas. Sementara itu untuk kecamatan-kecamatan di pusat kota, seperti Padang Timur, Padang Barat dan Padang Utara mempunyai wilayah dengan kepadatan paling tinggi, masing-masing mencapai 9.991 jiwa dan 8.819 jiwa per Km2.

Hal yang perlu mendapat perhatian adalah jumlah penduduk yang tinggal di zona rawan bencana tsunami, yaitu mereka yang bermukim di tepi pantai, hingga 5 meter di atas permukaan laut, jumlahnya cukup besar, mencapai 340.446 jiwa atau sekitar 43 persen dari total penduduk Kota Padang. Proporsi terbesar adalah penduduk yang tinggal di Kecamatan Koto Tangah, yaitu mencapai 89.764 jiwa. Untuk wilayah dalam kota, Kecamatan Padang Barat mempunyai penduduk yang tinggal di zona rawan cukup besar, yaitu mencapai 63.000 jiwa (Kogami, 2005). Banyaknya penduduk yang tinggal di lokasi rawan bencana, semakin meningkatkan pentingnya kesiapsiagaan dalam mengantisipasi bencana.

Tingkat Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana

Hasil kajian kesiapsiagaan menghadapi bencana yang dilakukan di Kota Padang menunjukkan nilai indeks kesiapsiagaan sebesar 63 dan termasuk dalam kategori hampir siap. Namun jika dicermati lebih lanjut, nilai indeks masing-masing stakeholder menunjukkan perbedaan yang cukup berarti. Nilai indeks pemerintah jauh lebih tinggi dibandingkan dengan nilai indeks komunitas sekolah dan rumah tangga. Nilai indeks pemerintah sebesar 75 dan termasuk dalam kategori siap, sedangkan indeks pada komunitas sekolah dan rumah tangga masing-masing 59 dan 56, masuk dalam kategori hampir siap.

Masih rendahnya nilai indeks kesiapsiagaan di tingkat rumah tangga dan komunitas sekolah ini berimplikasi pada pentingnya Pemerintah Kota Padang memfasilitasi upaya peningkatan kesiapsiagaaan menghadapi bencana pada masyarakat umum dan komunitas sekolah. Fasilitasi tersebut antara lain dapat berupa dukungan kebijakan untuk sekolah tentang pentingnya memasukkan pelajaran gempa kepada siswa. Hal ini tidak terlepas dari peran komunitas sekolah sebagai stakeholder utama dalam meningkatkan kesiapsiaagaan bencana. Melalui komunitas sekolah, pengetahuan dan kepedulian tentang bencana dapat diberikan sejak usia dini. Selain dukungan kebijakan, diperlukan pula dukungan bersifat teknis seperti penyediaan sarana/prasarana tanggap darurat dan peringatan bencana sampai ke tingkat kecamatan, kelurahan dan kelompok masyarakat.

Tingginya nilai indeks pemerintah kota Padang tidak terlepas dari dukungan dan peran stakeholders lain, seperti: KOGAMI, PMI, sektor swasta dan organisasi professional seperti ORARI dan RAPI. Berbagai kegiatan yang dilakukan oleh stakeholders tersebut mendukung kegiatan rencana tanggap darurat dan mobilisasi sumber daya yang dilakukan oleh pemerintah Kota Padang.

Kendatipun demikian tingginya nilai indeks pemerintah ini perlu ditinjau implementasinya di lapangan. Semua indikator kesiapsiagaan bencana, terutama dari parameter rencana tanggap darurat dan mobilisasi sumber daya telah terpenuhi, akan tetapi pelaksanaan di lapangan belum optimal. Belum optimalnya pelaksanaan ke dua parameter tersebut tercermin dari rendahnya nilai indeks rencana tanggap darurat dan mobilisasi sumber daya di tingkat pemeritah kecamatan. Nilai indeks rencana tanggap darurat dan mobilisasi sumber daya di tingkat pemerintah kota mencapai angka maksimal 100, sebaliknya dengan kecamatan nilai indeksnya masih sangat rendah, 38 untuk rencana tanggap darurat dan 33 untuk mobilisasi sumber daya.

Tabel 3.

Nilai Indeks Kesiapsiagaan Stakeholders Utama Kota Padang

dalam Mengantisipasi Bencana

Indeks Paramater

Rumah Tangga

Komunitas Sekolah

Pemerintah

Pengetahuan

72

72

80

Kebijakan

-

57

69

Rencana Tanggap Darurat

42

44

85

Peringatan Bencana

73

56

49

Kemampuan Mobilisasi Sumber Daya

32

37

76

Indeks Kesiapsiagaan

56

59

75

Sumber: Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana, LIPI - UNESCO/ISDR, 2006

Peran pemerintah sebagai penyedia fasilitas kesiapsiagan bencana, seperti peta bencana dan peta evakuasi merupakan hal yang sangat diperlukan oleh masyarakat. Untuk pemerintah Kota Padang fungsi penyedia fasilitas tersebut tampaknya telah terpenuhi, terlihat dari tingginya nilai indeks rencana tanggap darurat (85), terutama berasal dari kontribusi nilai indeks rencana tanggap darurat pemerintah kota yang nilainya mencapai 100, sebaliknya untuk tingkat kecamatan hanya sebesar 38. Adanya kesenjangan ini mengindasikan bahwa fasilitas untuk rencana tanggap darurat, seperti: keberadaan peta bencana, peta evakuasi dan tempat-tempat evakuasi yang sudah ditentukan kurang disosialisasikan dan diimplementasikan pada tingkat pemerintahan yang lebih rendah.

Kurang disosialisasikannya berbagai fasilitas rencana tanggap darurat di tingkat kota juga terlihat dari adanya kesenjangan nilai indeks antara pemerintah, rumah tangga dan komunitas sekolah. Nilai indeks rumah tangga dan sekolah hanya sebesar 42 dan 44, sehingga masih termasuk dalam kategori kurang siap. Adanya perencanaan tanggap darurat di tingkat masyarakat sangat diperlukan untuk mengantisipasi dan melakukan tindakan penyelamatan yang harus segera dilakukan jika bencana terjadi.

Kesiapsiagaan dilihat dari parameter sistem peringatan bencana mempunyai nilai indeks yang rendah, terutama di tingkat pemerintah yaitu sebesar 49, karena itu termasuk kategori kurang siap. Disisi lain, nilai indeks di tingkat masyarakat (sekolah dan rumah tangga) cukup baik, masing-masing sebesar 62 (hampir siap) dan 73 (siap). Tingginya nilai indeks peringatan bencana di tingkat masyarakat ini merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan bagi penyerbarluasan informasi peringatan bencana. Untuk itu pemerintah perlu mengembangkan sistem peringatan bencana yang dapat menjembatani terputusnya sistem informasi dari pemerintah ke masyarakat.

Kemampuan pemerintah kota memobilisasi sumber daya relatif baik, diindikasikan dari nilai indeks yang cukup tinggi (76), sehingga masuk dalam kategori siap. Sementara itu di tingkat sekolah dan rumah tangga, nilai indeksnya masih rendah masing-asing sebesar 37 dan 32, karena itu termasuk kategori belum siap. Pemerintah sebagai stakeholder utama mempunyai tanggung jawab untuk memfasilitasi mobilisasi sumberdaya masyarakat melalui berbagai pelatihan berkaitan dengan kesiapsiagaan bencana.

Kebijakan yang berkaitan dengan kesiapsiagaan bencana di tingkat pemerintah kota dilihat dari nilai indeks ketersediaan dokumen kebijakan cukup baik yaitu sebesar 69 dan termasuk kategori cukup siap. Namun demikian berbagai kebijakan tersebut belum ditindak lanjuti dalam bentuk rencana kegiatan yang konkrit dan jelas, seperti keberadaan prosedur tetap (protap), rencana aksi, petunjuk teknis untuk merespon keadaan darurat bencana dan petunjuk teknis penaggulangan bencana.

BENCANA ALAM

Kegiatan Pengurangan Risiko Bencana Di Sekolah Harus Berkelanjutan

Jakarta, MPBI---Padatnya kurikulum pendidikan nasional tidak boleh kita jadikan alasan untuk tidak melakukan kegiatan pengurangan risiko bencana di sekolah secara berkelanjutan. Pembelajaran tentang pengurangan risiko bencana di sekolah-sekolah bisa disiasati dengan memasukkan materi itu ke dalam materi-materi muatan lokal. Demikian salah satu pandangan yang mengemuka dalam acara Workshop Hari Pengurangan Risiko Bencana 2006 di Jakarta, hari ini (11/10).

Workshop Hari Pengurangan Risiko Bencana (HPRB) 2006 tersebut diselenggarakan oleh Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI), Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Hivos, Islamic Relief, International Federation Red Cross (IFRC), Palang Merah Indonesia (PMI) Pusat Studi Managemen Bencana Univ. Pembangunan Nasional (UPN) Veteran-Jogjakarta, dan berbagai organisasi non pemerintah lainnya. (Baca: Siaran Pers hari ini).

Hadir sebagai pembicara pada kesempatan ini adalah, Dr. Ir. Harkunti P. Rahayu (Pusat Mitigasi Bencana ITB), KH. Ahmad Darodji (Anggota DPR RI Komisi X), ET. Paripurno (UPN Veteran-Jogjakarta), Prof. Dr. Bambang Suhendro (Badan Standar Nasional Pendidikan), dan Dr. Seto Mulyadi (Komnas Perlindungan Anak).

“Terus terang, pada waktu memulai melakukan pendekatan kepada Depdiknas tentang pentingnya pengenalan pengurangan risiko bencana di sekolah, kami diingatkan bahwa kurikulum pendidikan kita sudah sangat padat. Sehingga kalaupun ada penambahan materi-materi terkait masalah ini tidak boleh semakin membebani anak-anak,” jelas Harkunti P. Rahayu.

Menurut Harkunti P. Rahayu, yang sudah melakukan kegiatan pengenalan pengurangan risiko bencana di sekolah sejak tahun 2000, salah satu tantang berat dalam kegiatan ini adalah bagaimana melakukannya secara berkelanjutan. “Tak bisa dipungkiri bahwa faktor dana seringkali menjadi kendala untuk menjamin keberlanjutan kegiatan ini. Namun demikian kita tidak boleh berhenti dan seyogyanya semua pihak yang memiliki kepedulian tentang masalah ini bekerjasama secara sinergis untuk menunjang keberlanjutannya”.

Sementara itu Dr. Seto Mulyadi mengingatkan bahwa kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pengurangan risiko bencana di sekolah harus dilakukan dengan keceriaan. Artinya bagaimana anak-anak bisa menikmati dan antusias ketika mereka menerima materi-materi tentang pengurangan risko bencana ini. “Cerita-cerita lucu dan menyenangkan dengan memanfaatkan alat-alat peraga sangat membantu anak-anak untuk lebih mudah menyerap materi yang disampaikan. Jadi anak-anak jangan dijejali dengan cerita-cerita yang menyeramkan tentang bencana”.

Ditambahkannya, penyampaian semua materi itu juga harus memperhatikan hak-hak anak sebagaimana yang sudah menjadi kesepatan dalam Konvensi Hak Anak Internasional.

Yang juga menjadi sorotan peserta adalah soal lingkup ketahanan sekolah terhadap bencana seperti tema yang diangkat dalam workshop ini. Apakah ketahanan sekolah yang dimaksud adalah semata-mata ketahanan fisik (struktur) bangunan yang tahan bencana, managemennya, atau manusianya yang memiliki ketahanan/ daya tangkal dan daya lenting terhadap risiko-risiko bencana. Namun peserta sepakat bahwa ketahanan yang dimaksud adalah keseluruhan dari faktor-faktor tersebut.

Hal tidak kalah penting adalah bagaimana melibatkan peran serta orang tua anak dalam kegiatan pengenalan pengurangan risiko bencana itu. Jadi tidak hanya para guru dan anak-anak saja yang mendapat pemahaman tentang risko-risiko bencana.

Pada sesi kedua workshop itu juga diisi dengan pengalaman-pengalaman lembaga/organisasi yang selama ini sudah melakukan kegiatan pengenalan pengurangan risiko bencana di sekolah. Pembicara yang tampil pada kesempatan ini adalah Maharani Hardjoko (Save the Children), Halim (Action Contre la Faim), Rina Utami (PMI), Patra Rina Dewi (KOGAMI), dan Sigit Purwanto (Komunitas Siaga Merapi).

Sumber: Website Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia

satgas IOF utk penanganan gempa Sumbar

Berikut adalah contact list jejaring satgas IOF utk penanganan gempa Sumbar per hari ini (akan terus di update):

Penasehat: Bp. Djoko Pramono
Ketua Operasi: Bp. Roesmanhadi
Wkl. Ketua: Bp. Syamsir Alam
Wkl. Ketua: Bp. Tjahyadi Gunawan
Bendahara: Bp. Gita Sapta Adi
Sekretariat: Ibu Rina

Posko Induk - Jakarta:

Koordinator Posko:
Rendra H. (Ronny)
Tel 1: +628159207278
Tel 2: +6281383732728
Email: rendra.hertiadhi@yahoo.co.id

Handito
Tel 1: +628128312055
Tel 2: 02192457463

Mailing List:
indonesiaoffroad@yahoogroups.com
4wheeler@yahoogroups.com

Posko Penghubung dan Unit Bergerak:

IOF Komda Sumatra Barat - posko lokasi
CP: Bp. Palar
Tel 1: +628197544415
Tel 2: +6281363900160

IOF Komda Riau - posko + mobile
CP: Bp. Agus Purnomo
Tel 1: +628127527100
Tel 2: 07617075300
Posisi awal: Pekanbaru
Tujuan: Padang kota

IOF Komda Sumut - mobile
CP: Bp. Omen
Tel 1: +628197202973
Tel 2: +626177817336
Posisi awal: Medan
Tujuan: Padang kota via Pasaman Barat merintis jalur pesisir

IOF Komda Jambi - posko
CP: Bp. Asbon
Tel: +628127402121
Posisi: standby di Jambi

IOF Komda Bengkulu - posko
CP: Bp. Atung
Tel: +6281532637229
Posisi: standby di Bengkulu

IOF Komda Jaya - mobile
CP: Leboy
Tel: +628161389907
Posisi awal: Jakarta
Tujuan: Padang kota




Perkembangan Korban dan Kerusakan Akibat Gempa di Padang

Perkembangan Korban dan Kerusakan
Akibat Gempa di Padang

Kamis, 01/10/2009 12:04:17


Sampai dengan saat ini, pukul 11.30 WIB jumlah korban meninggal akibat
gempa yang terjadi di Sumatera Barat kemarin berjumlah 220 orang dengan
rincian 144 orang (dengan 41 orang telah teridentifikasi) di Kota
Padang, 62 orang di Kabupaten Padang Pariaman dan 14 orang di Kota Pariaman.

Dilaporkan pula korban luka berjumlah ± 168 orang lebih dan sebagian
telah dievakuasi ke rumah sakit dan diperkirakan masih akan terus
bertambah. Dan ribuan orang masih terhimpit di sejumlah bangunan,
diantaranya di wilayah Marapalam Padang, reruntuhan Adira Finance
Sawahan, reruntuhan ruko di Sawahan, reruntuhan ruko di Simpang Haru, di
mesjid Nurul Imam Padang, Apotik Sari depan Nurul Imamn, Gedung Gama,
BII sudirman, PT. AGD di Bypass Padang.

Selain korban sejumlah besar gedung bertingkat di Kota Padang mengalami
rusak berat hingga ambruk diantaranya :
* Dinas Kelautan Perikanan Provinsi Sumatera Barat (ambruk)
* Gedung Suzuki Sawahan (ambruk)
* 5 unit ruko Sawahan (ambruk)
* Hyundai Sawahan (ambruk)
* LB LIA Padang (ambruk)
* Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah Prov Sumbar (ambruk)
* Hotel Ambacang (ambruk)
* Toko Makanan Shirley (ambruk)
* SD AGNES di Jalan Gereja (ambruk)
* SDN 30 (ambruk)
* Dealer Kapela Medan (ambruk)
* Kantor CTA (ambruk)
* PT. AGD Bypass (ambruk)
* Gedung Kuantum (ambruk)
* Kantor Adira Finance (ambruk)
* Gedung Bunda Jaya, Ulak Karang (ambruk)
* Mulya Elektronik (ambruk)
* 6 unit ruko di simpang haru (ambruk)
* 4 unit ruko di wilayah bypass (ambruk)
* Gedung proton (ambruk)
* Gedung LP3I (ambruk)
* Pengadilan Negeri Siteba (ambruk)
* Balai Kota Padang (rusak berat)
* Matahari Dept. Store (rusak berat)
* Plaza Andalas (rusak berat)
* Sentral Pasar Raya Padang (rusak berat)
* Bank Indonesia (rusak berat)
* Bappeda Provinsi Sumbar (rusak berat)
* Hotel Ina Muara (rusak berat)
* DPRD Kota Padang (rusak berat)
* DPRD Prov Sumbar (rusak berat)
* PJKA (rusak berat)
* Rumah makan lamun ombak (rusak berat)
* Pasar Simpang haru (rusak berat)
* Mesjid Muhammadiyah Simpang Haru (rusak berat)

Sebagian besar gedung kantor di lingkungan Kantor Gubernur Sumatera
Barat termasuk Badang Kesbangpol dan linmas Provinsi Sumatera Barat dan
gedung Pusdalops Penanggulangan Bencana (Crisis Center) Sumatera Barat
mengalami rusak berat.

Ratusan rumah warga di Kota Padang juga mengalami kerusakan dari rusak
sedang hingga rusak berat. Jumlah kerusakan rumah penduduk yang telah
terdata sebanyak 32 unit yaitu 20 unit rusak berat dan 5 unit ambruk di
tunggul hitam, 3 unit ambruk di Komplek Bumi Minang Korong Gadang dan 4
unit ambruk di Komplek Taruko I.

Jalan juga mengalami kerusakan di sejumlah titik di Kota Padang
diantaranya di Bungus Teluk Kabung, dan terjadi pula kebakaran di
sejumlah titik di Kota Padang, diantaranya di arah Pasar Raya Padang.

Saat ini Bandara International Minangkabau dan Bandar Udara Tabing
Padang terlah dapat beroprasi kembali saat ini yang sebelumnya sempat
ditutup.

Sumber : Pusdalops BNPB

BMKG Ubah Prosedur Peringatan Tsunami

Kamis, 1 Oktober 2009 | 14:12 WIB
Laporan wartawan KOMPAS.com Tri Wahono


JAKARTA, KOMPAS.com - Meski kekuatannya 7,6 SR dan berpusat di laut,
tidak ada peringatan tsunami yang menyala saat gempa menggetarkan Padang
hingga Kuala Lumpur. Banyak yang mempertanyakan hal tersebut termasuk Dr
Hilman Natawijaya, pakar gempa Sumatera dari Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI).

"Setahu saya kalau gempa di atas 6,5 SR dan pusatnya di laut standar
operasional prosedurnya keluar peringatan tsunami. Saya belum tahu
alasan BMG tidak mengeluarkan," kata Danny saat menjelaskan hasil
analisisnya soal gempa tersebut kepada Kompas.com melalui telepon Kamis
(1/10).

Pusat Peringatan Tsunami Pasifik (PTWC) juga sempat merilis tsunami
bulletin sesaat gempa terjadi yang memperingatkan sejumlah wilayah untuk
mewaspadai kemungkinan terjadi tsunami. Tidak hanya untuk wilayah pantai
Sumatera bagian barat, namun juga India, Sri Langka, dan Thailand.

Rupanya Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah
mengubah standar operasional prosedur (SOP) keluarnya peringatan
tsunami. Hal tersebut dijelaskan Dr Fauzi, Kepala Bidang Seismologi
Teknik dan Tsunami BMKG. "Batasan kita itu kalau gempa di atas 7 Skala
Richter di kedalaman kurang dari 70 km, dan di laut baru kita sebut
berpotensi tsunami," ujar Fauzi saat dihubungi lewat telepon.

Ia mengatakan gempa di Padang, Rabu (30/9) kemarin memang hampir
memenuhi SOP hanya selisih 1 km dengan batas yang ditentukan. Fauzi
mengatakan standar tersebut memang berbeda dengan yang dipakai PTWC.
BMKG baru menggunakan SOP satu tingkatan tidak seperti PTWC yang sudah
memiliki beberapa tingkatan. Hal itu karena BMKG masih terus
mengevaluasi standar tersebut.

"Kalau gempa di laut 6,5 sampai 6,8 mereka sebut tsunami information
bulletin sedangkan di atas 6,8 sudah tsunami watch dan ada tsunami
warning," ujar Fauzi. Namun, yang membedakan, kata Fauzi, PTWC tidak
mempertimbangkan kedalaman pusat gempa.

Ia mengatakan standar baru diberlakukan sejak dua tahun terakhir.
Sebelumnya BMKG menggunakan standar 6,5 SR namun hasil monitoring
beberapa kali terhadap gempa-gempa yang lebih kuat dari itu hanya
menghasilkan tsunami dalam hitungan centimeter. "Bukan menafikan potensi
tsunami, namun kita juga mempertimbangkan dampaknya kepada masyarakat,"
ujarnya. Fauzi menyatakan gempa Padang kemarin juga menghasilkan tsunami
di Teluk Bayur, Kota Padang dengan ketinggian 20 centimeter.

http://nasional.kompas.com/read/xml/2009/10/01/1412199/bmkg.ubah.prosedur.peringatan.tsunami.

Mohon sebarkan. no telp hotline gempa 0751 9824971 s/d 9824980 ada 10 nomor FREE CALL di Padang






Laporan Perkembangan Situasi Gempa Padang - SitRep #2

Mohon sebarkan. no telp hotline gempa 0751 9824971 s/d 9824980 ada 10 nomor FREE CALL di Padang

Laporan Perkembangan Situasi Gempa Padang

tanggal publikasi 30 September 2009 pukul 12.20 Wib
.dikompilasi dari berbagai sumber oleh Jawa Barat Peduli dan INDOALERT!
..satuan waktu bila tidak dinyatakan lain adalah pada WIB

- Situasi Umum -
1. Gempa kembali mengguncang Sumatera. Pada 1 Oktober 2009 pukul 8.52,
gempa terjadi di 2.5°LS 101.6°BT berkekuatan 7.0SR dengan kedalaman 10 km,
posisi episenter gempa terletak di
- 155 km (95 miles) NNW Bengkulu
- 225 km (140 miles) Tenggara Padang
- 46 km Tenggara SUNGAIPENUH, JAMBI

Berikut data intensitas gempa yang terjadi pagi tadi menurut USGS.

MMI Kota Populasi
--------------------------------
VI Sungaipenuh 95k
IV Curup 46k
IV Bengkulu 309k
IV Lubuklinggau 148k
IV Solok 48k
IV Padang 840k
IV Sijunjung 27k
IV Jambi 420k
III Pagaralam 70k
III Pariaman 92k
III Lahat 65k
III Mandahara 56k
III Kualatungkal 33k
III Bukittinggi 98k
III Payakumbuh 121k
III Simpang 36k
III Tanjungagung 53k
III Perabumulih 103k
III Baturaja 134k

Gempa ini diinformasikan memiliki daya rusak yang lebih hebat daripada
gempa 7.6SR pada 30/9 dan terasa lebih kuat oleh masyarakat di sekitar
episenter.

2. Sebanyak 30 rumah warga di dua desa, yakni Desa Lolo dan Sungai Hangat,
Kecamatan Gunung Kerinci, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi, berjarak 410
Km barat Kota Jambi, rusak akibat gempa bumi berkekuatan 7,0 skala Richter
yang mengguncang daerah itu. Namun, pemerintah daerah sampai kini belum
bisa memastikan tingkat kerusakan tersebut. Berdasarkan laporan warga dan
kepolisian setempat, selain dua desa yang rumah warganya rusak,
diperkirakan rumah warga yang ada di Kecamatan Mukai Tinggi, Siulak, Kayu
Aro dan Gunung Kerinci juga mengalami rusak akibat gempa itu.
Untuk itu Pemerintah Kabupaten Kerinci telah mempersiapkan tim untuk
melakukan tanggapan terhadap kejadian gempa tersebut (kompas 10.42).

3. Di Lampung Barat dilaporkan banyak rumah warga mengalami retak dan
barang-barang di dalam rumah berjatuhan akibat dua gempa yang mendera
Sumatera tersebut (suara merdeka 8.14).

4. Korban jiwa akibat gempa Sumatera Barat 30/9 sampai pukul 10.00 hari ini
mencapai 200 jiwa.

5. Ratusan jiwa diperkirakan masih terjebak dalam reruntuhan gedung di Padang.

6. Alat berat sudah mulai diperbantukan untuk mengangkat reruntuhan dan
menghancurkan puing. Namun demikian masih dibutuhkan banyak armada alat
berat untuk mempercepat evakuasi dan penyelamatan korban. Sayangnya hal ini
terkendala akses jalan darat yang terputus.

7. Kebutuhan mendesak di lokasi bencana diantaranya adalah makanan siap
saji, tenda, tim medis dan obat-obatan

8. Ratusan warga Desa Air Manis, Desa Sungai Paku dan sejumlah desa lain di
Kecamatan Sungai Limau, Kabupaten Padang Pariaman, Sumbar, yang rumahnya
ambruk akibat gempa berkekuatan 7,6 Skala Richter (SR), Rabu (30/9) sore,
hingga kini masih mengungsi ke perbukitan Padang Olo (tvone 11.00)

- Akses Transportasi -
1. Jalan akses transportasi darat ke pelabuhan di Padang tertutup longsoran
batu. Demikian juga akses rel kereta api (republika 08.59).

2. Akses transportasi udara ke Bandara Udara Tabing dan Bandar Udara
Internasional Minangkabau sudah terbuka sejak tadi malam pukul 22.00.
Penerbangan sipil sudah berjalan meskipun masih terkendala gangguan komunikasi.

3. Jalur transportasi darat dari Bukittinggi, Medan hingga Bengkulu
terputus. Demikian juga dari Padang - Padang Panjang - Bukittinggi terutup
longsoran (okezone 30/9 22.53). Longsoran terjadi pada 3 titik di wilayah
Singgalang (BNPB 08.49). Longsoran dilaporkan juga terjadi di kawasan
Silaing Bawah (antaranews 06.05)

4. Akses jalan menuju Padang melalui Bungus Teluk Kabung terputus
(antaranews 06.05).

5. Di wilayah Siguntur, Kecamatan Pesisir Selatan, Padang banyak rumah yang
rubuh dan akses jalan terputus akibat banyak longsoran batu dan batang kayu
sehingga truk tidak bisa melintas. Namun kendaraan roda dua dan minibus
masih bisa lewat jika terpaksa.

6. Akses yang terbuka dilaporkan adalah melalui Solok. Perjalanan menuju
Padang ditempuh dalam waktu 4 jam (antaranews 06.05)

- Infrastruktur, Telekomunikasi, Listrik dan BBM -
1. Listrik di kota Padang dilaporkan belum berjalan dengan normal.
Sedikitnya 5 Gardu Induk (GI) dari 11 GI PT PLN (Persero) untuk sistem
kelistrikan Sumatera Barat dengan kapasitas 150 kv yang belum bisa
dioperasikan. Diantaranya GI Pauh Limo (kerusakan pada Trafo), GI Lubuk
Alung (kerusakan CVT dan Wave trap), GI Maninjau (kerusakan CT dan Wave
trap), selain itu ke 5 GI tersebut juga mengalami kerusakan gedung dan
sarana lainnya (inilah.com 09.59).

2. Menteri Telekomunikasi dan Informatika (Menkominfo) Mohammad Nuh
memastikan pembenahan infrastruktur dan jaringan telekomunikasi yang rusak
akibat gempa bumi di Sumatera Barat akan segera dilakukan setelah fase
darurat selesai (kompas 9.30).

3. Beberapa gedung kantor Telkom, termasuk Gedung Sentral Telepon Otomat
(STO) Padang, STO Sungai Limau (Pariaman) dan STO Balai Salasa (Painan)
rusak parah. Hingga Kamis pagi, 42 dari 90 BTS Flexi di Sumatera Barat
dalam keadaan turun, karena catu daya hanya bisa bertahan enam jam,
sedangkan tidak semua BTS bisa tercapai semua oleh genset.
Sementara di Kota Padang dari 25 BTS yang ada, 20 BTS belum bisa berfungsi,
dan BTS lainnya yang berada di sekitar kota Padang, sebanyak 22 BTS tidak
berfungsi, sedangkan 65 BTS masih berfungsi. Kendala utamanya selain
kerusakan BTS dan gedung kantor juga adalah pasokan listrik dari PLN yang
belum pulih. (kompas 9.30).

4. Telkomsel masih berupaya untuk memulihkan jaringan selular di wilayah
terdampak. Diberitakan gempa merusak inti jaringan transmisi sehingga
membutuhkan upaya yang besar untuk pemulihan (kompas 9.30).

5. Pertamina melaporkan dampak gempa terhadap instalasi dan fasilitas
perusahaan tersebut di wilayah Sumatera Barat tidak terlalu besar.
Operasional transit BBM masih bisa berjalan namun terkendala akses ke kota
Padang (inilah.com 09.55).

6. Sebagian besar SPBU di Kota Padang dilaporkan rusak. Dilaporkan hanya 6
unit SPBU yang masih bisa berjalan. Pertamina juga akan membuat floating
storage offshore untuk menyimpan premium, minyak tanah, dan solar di
Dermaga Muarow, guna menjaga keamanan pasokan selanjutnya. Pertamina juga
akan membuat Posko Bencana di Sumatera Barat (vivanews 9.44).

- Gelombang Tinggi -
BMKG mengumumkan peringatan dini kemungkinan adanya gelombang tinggi yang
mencapai 2 hingga 3 meter di sekitar perairan Sumatera Barat yang dapat
berbahaya bagi perahu kecil.

- Respon Pemeritah RI -
1. Pemerintah Pusat telah menyediakan 100 miliar untuk dana tanggap darurat
(BNPB 8.49).

2. Bantuan obat-obatan sebanyak 7 ton terdiri dari 5 ton obat untuk anak
dan bayi serta 2 ton paket obat darurat beserta 92 dokter orthopedist dan
bedah dari Depkes dan Mercy Corps telah dikirimkan pagi ini ke Padang
(kontan 10.03). Dua pesawat Hercules, Fokker 50, dan helikopter mengangkut
40 ton bantuan logistik ke Padang. Dari Bandar Udara Halim Perdanakusuma,
pesawat bertolak pukul 07.00 WIB (antaranews 07.58)

3. Satu SSK pasukan Brimob Polda Riau diberangkatkan melalui jalur udara
melalui pesawat Lion Air. Pagi tadi juga diberangkatkan beberapa unit ambulans.

4. Presiden SBY sepulangnya dari kunjungan G-20 di Amerika diinformasikan
hari ini akan langsung terbang menuju Padang.

5. Tim Reaksi Cepat (TRC) BNPB dipimpin langsung oleh Kepala BNPB, Syamsul
Muarif pagi ini berangkat ke lokasi. Tim juga membawa barang bantuan
diantaranya 20.000 buah tenda, 10.000 buah selimut, dan barang makanan
bersama dengan Tim dari Depkes menggunakan dua unit pesawat Hercules dari
Halim Perdana Kusuma (BNPB 08.51)

6. TNI AL mengirim KRI Dr. Soeharso dan akan merapat siang nanti di Kota
Padang untuk membuat Rumah Sakit apung. TNI AU juga menyiapkan 2 unit
Hercules dan 2 unit pesawat fokker untuk penanganan bencana (BNPB 08.49).
Landing Ship Tank (LST) juga dipersiapkan oleh Kolinlamikl untuk
memobilisasi jembatan bailey (BNPB).

7. Gubernur Sumatera Selatan mengirimkan tim bantuan ke Padang yang
berangkat tadi malam. Tim terdiri dari empat dokter, 10 paramedis, dan dua
asisten apoteker serta petugas surveilans, dan empat kendaraan yang berisi
obat-obatan dan makanan.

8. Departemen Kesehatan/ PPK-DEPKES telah mendirikan 2 unit rumah sakit
lapangan berkapasitas 100 tempat tidur di Padang.

9. Departemen PU mengirim 20 hidran umum dan lima instalasi pengolahan air.
Sebanyak dua instalasi berupa mobil truk 2,5 liter per detik dan tiga mobil
900 liter per jam. Departemen juga akan mengirimkan 200 tenda, 100 dari
Jakarta dan sisanya dari Palembang. Selain itu dikirimkan pula 100 toilet
bongkar pasang dan 100 jerigen.

10. Departemen Sosial telah menyiapkan 10.000 unit tenda gulung.

11. 1 unit Jembatan bailey sudah ada di Padang, direncanakan akan
dimobilisasi untuk mempercepat pembukaan akses jalur darat.


- Respon Relawan Nasional -

1. Wanadri sudah menurunkan tim berkekuatan 15 orang dan akan menuju Padang
via Jakarta tadi malam. Saat ini tim masih menunggu keberangkatan pesawat
di Halim Perdanakusumah.

2. FKKBPA Bandung Raya sudah menyiapkan tim TIREC berkekuatan 10 orang
dengan kualifikasi SAR dan Pioneering. Masih diperlukan akses dukungan
transportasi menuju ke lokasi.

3. Rumah Zakat Indonesia (RZI) menerjunkan tim relawan siaga bencana dan
medis ke Padang. Tim sedianya akan membuka 2 posko di Pariaman dan Padang
(okezone 9.59).

4. Relawan dari Aksi Cepat Tanggap (ACT), Yayasan Kabisat, MPI (Mitra
Peduli Indonesia) dan Oxfam membuka posko bersama di Pariaman.

5. Relawan ICT dari Airputih sedang bersiap menuju Padang untuk mendirikan
pos IT untuk mendukung BNPB dan Pemda setempat. Tim Advance sudah menuju ke
Padang bersama rombongan Dompet Dhuafa, PKPU, Muhammadiyah dan Al Azhar.
Diperkirakan siang ini sudah di lokasi.

- Respon Internasional -
1. World Vision Emergency Response Team sedang mempersiapkan keberangkatan
ke lokasi namun untuk pengiriman bantuan masih terkendala sulitnya
komunikasi dan akses ke wilayah bencana (reliefweb).

KONTAK:

Jawa Barat Peduli
http://poskojabar.blogsome.com
http://groups.google.com/group/jabarpeduli
jabarpeduli@gmail.com

INDOALERT! dan INDONESIAGA!
http://indoalert.wordpress.com
indoalert@gmail.com



Greenpeace SEA-Indonesia
Racikan Obat Herbal
CAMPAKA KAROMAH Khusus Untuk Direbus/Godogan, Insyaallah Dapat Menyembuhkan Penyakit Yang Anda Derita.

Formulator : Deddy kermit madjmoe
Hotline: 081324300415
Jl. Buyut Roda Gg.Polos No.84 Ciledug Cirebon Jawa Barat 45188

Pasien TIDAK MAMPU dan KURANG MAMPU Jangan TAKUT Untuk Berobat Pada Kami....!!!! Kami Tetap akan melayaninya.