11 Mei 2010

elang jawa masih banyak ko....!!!


 

Klasifikasi ilmiah
* Kerajaan: Animalia.
* Filum: Chordata.
* Kelas: Aves.
* Ordo: Falconiformes.
* Famili: Accipitridae.
* Genus: Spizaetus.
* Spesies: S. bartelsi.

Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) adalah burung nasional Indonesia karena kemiripannya dengan Garuda dan juga merupakan simbol jenis satwa langka di Indonesia. Elang Jawa hanya terdapat di Pulau Jawa dan penyebarannya terbatas di hutan-hutan. Sebagai predator puncak, Elang Jawa memainkan peran yang penting dalam menjaga keseimbangan dan fungsi dari bioma hutan di Jawa. Elang Jawa merupakan salah satu jenis burung pemangsa terlangka di dunia. Berdasarkan kriteria keterancaman terbaru dari IUCN, Elang Jawa dimasukan dalam kategori Endangered atau "Genting" (Collar et al., 1994, Shannaz et al., 1995).

“Saat ini populasi elang jawa yang ada tercatat sebanyak 19 ekor dan sebelumnya mencapai 200 ekor,” kata Petugas Pengendalian Ekosistem Hutan di Kawasan Tanaman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), Dede Nugraha. Menurut dia, menyusutnya populasi burung yang dilindungi pemerintah itu disebabkan tanaman hutan yang dijadikan sumber makanan menipis bahkan beberapa titik menghilang akibat adanya penebangan liar.

Hingga saat ini, berdasarkan hasil monitoring di lapangan hanya sebanyak 19 ekor burung elang jawa yang masih berkeliaran di kawasan hutan konservasi TNGHS. Akan tetapi, satwa langka itu hingga sekarang belum juga berkembang-biak karena adanya kerusakan kawasan hutan taman nasional itu.

Identifikasi
Elang yang bertubuh sedang sampai besar, langsing, dengan panjang tubuh antara 60-70 cm (dari ujung paruh hingga ujung ekor).
 Kepala berwarna coklat kemerahan (kadru), dengan jambul yang tinggi menonjol (2-4 bulu, panjang hingga 12 cm) dan tengkuk yang coklat kekuningan (kadang nampak keemasan bila terkena sinar matahari). Jambul hitam dengan ujung putih; mahkota dan kumis berwarna hitam, sedangkan punggung dan sayap coklat gelap. Kerongkongan keputihan dengan garis (sebetulnya garis-garis) hitam membujur di tengahnya. Ke bawah, ke arah dada, coret-coret hitam menyebar di atas warna kuning kecoklatan pucat, yang pada akhirnya di sebelah bawah lagi berubah menjadi pola garis (coret-coret) rapat melintang merah sawomatang sampai kecoklatan di atas warna pucat keputihan bulu-bulu perut dan kaki. Bulu pada kaki menutup tungkai hingga dekat ke pangkal jari. Ekor kecoklatan dengan empat garis gelap dan lebar melintang yang nampak jelas di sisi bawah, ujung ekor bergaris putih tipis. Betina berwarna serupa, sedikit lebih besar.

Iris mata kuning atau kecoklatan; paruh kehitaman; sera (daging di pangkal paruh) kekuningan; kaki (jari) kekuningan. Burung muda dengan kepala, leher dan sisi bawah tubuh berwarna coklat kayu manis terang, tanpa coretan atau garis-garis.

Ketika terbang, elang Jawa serupa dengan elang brontok (Spizaetus cirrhatus) bentuk terang, namun cenderung nampak lebih kecoklatan, dengan perut terlihat lebih gelap, serta berukuran sedikit lebih kecil.

Bunyi nyaring tinggi, berulang-ulang, klii-iiw atau ii-iiiw, bervariasi antara satu hingga tiga suku kata. Atau bunyi bernada tinggi dan cepat kli-kli-kli-kli-kli. Sedikit banyak, suaranya ini mirip dengan suara elang brontok meski perbedaannya cukup jelas dalam nadanya.

Penyebaran, Ekologi dan Konservarsi
Sebaran elang ini terbatas di Pulau Jawa, dari ujung barat (Taman Nasional Ujung Kulon) hingga ujung timur di Semenanjung Blambangan Purwo. Namun demikian penyebarannya kini terbatas di wilayah-wilayah dengan hutan primer dan di daerah perbukitan berhutan pada peralihan dataran rendah dengan pegunungan. Sebagian besar ditemukan di separuh belahan selatan Pulau Jawa. Agaknya burung ini hidup berspesialisasi pada wilayah berlereng.

Elang Jawa menyukai ekosistem hutan hujan tropika yang selalu hijau, di dataran rendah maupun pada tempat-tempat yang lebih tinggi. Mulai dari wilayah dekat pantai seperti di Ujung Kulon dan Meru Betiri, sampai ke hutan-hutan pegunungan bawah dan atas hingga ketinggian 2.200 m dan kadang-kadang 3.000 m dpl.

Pada umumnya tempat tinggal elang jawa sukar untuk dicapai, meski tidak selalu jauh dari lokasi aktivitas manusia. Agaknya burung ini sangat tergantung pada keberadaan hutan primer sebagai tempat hidupnya. Walaupun ditemukan elang yang menggunakan hutan sekunder sebagai tempat berburu dan bersarang, akan tetapi letaknya berdekatan dengan hutan primer yang luas.

Burung pemangsa ini berburu dari tempat bertenggernya di pohon-pohon tinggi dalam hutan. Dengan sigap dan tangkas menyergap aneka mangsanya yang berada di dahan pohon maupun yang di atas tanah, seperti pelbagai jenis reptil, burung-burung sejenis walik, punai, dan bahkan ayam kampung. Juga mamalia berukuran kecil sampai sedang seperti tupai dan bajing, kalong, musang, sampai dengan anak monyet.

Masa bertelur tercatat mulai bulan Januari hingga Juni. Sarang berupa tumpukan ranting-ranting berdaun yang disusun tinggi, dibuat di cabang pohon setinggi 20-30 di atas tanah. Telur berjumlah satu butir, yang dierami selama kurang-lebih 47 hari.

Pohon sarang merupakan jenis-jenis pohon hutan yang tinggi, seperti rasamala (Altingia excelsa), pasang (Lithocarpus dan Quercus), tusam (Pinus merkusii), puspa (Schima wallichii), dan ki sireum (Eugenia clavimyrtus). Tidak selalu jauh berada di dalam hutan, ada pula sarang-sarang yang ditemukan hanya sejarak 200-300 m dari tempat rekreasi.

Di habitatnya, elang Jawa menyebar jarang-jarang. Sehingga meskipun luas daerah agihannya, total jumlahnya hanya sekitar 137-188 pasang burung, atau perkiraan jumlah individu elang ini berkisar antara 600-1.000 ekor. Populasi yang kecil ini menghadapi ancaman besar terhadap kelestariannya, yang disebabkan oleh kehilangan habitat dan eksploitasi jenis. Pembalakan liar dan konversi hutan menjadi lahan pertanian telah menyusutkan tutupan hutan primer di Jawa. Dalam pada itu, elang ini juga terus diburu orang untuk diperjual belikan di pasar gelap sebagai satwa peliharaan. Karena kelangkaannya, memelihara burung ini seolah menjadi kebanggaan tersendiri, dan pada gilirannya menjadikan harga burung ini melambung tinggi.

Mempertimbangkan kecilnya populasi, wilayah agihannya yang terbatas dan tekanan tinggi yang dihadapi itu, organisasi konservasi dunia IUCN memasukkan elang Jawa ke dalam status EN (Endangered, terancam kepunahan). Demikian pula, Pemerintah Indonesia menetapkannya sebagai hewan yang dilindungi oleh undang-undang.

Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica)




Klasifikasi ilmiah
* Kerajaan: Animalia
* Filum: Chordata
* Kelas: Mammalia
* Ordo: Carnivora
* Famili: Felidae
* Genus: Panthera
* Spesies: P. tigris
* Upaspesies: P. t. sondaica

Harimau Jawa adalah jenis harimau yang hidup di pulau Jawa. Harimau ini dinyatakan punah di sekitar tahun 1980-an, akibat perburuan dan perkembangan lahan pertanian yang mengurangi habitat binatang ini secara drastis. Walaupun begitu, ada juga kemungkinan kepunahan ini terjadi di sekitar tahun 1950-an ketika diperkirakan hanya tinggal 25 ekor jenis harimau ini. Terakhir kali ada sinyalemen dari harimau jawa ialah di tahun 1972. Di tahun 1979, ada tanda-tanda bahwa tinggal 3 ekor harimau hidup di pulau Jawa. Walaupun begitu, ada kemungkinan kecil binatang ini belum punah. Di tahun 1990-an ada beberapa laporan tentang keberadaan hewan ini, walaupun hal ini tidak bisa diverifikasi.

Di akhir abad ke-19, harimau ini masih banyak berkeliaran di pulau Jawa. Di tahun 1940-an, harimau jawa hanya ditemukan di hutan-hutan terpencil. Ada usaha-usaha untuk menyelamatkan harimau ini dengan membuka beberapa taman nasional. Namun, ukuran taman ini terlalu kecil dan mangsa harimau terlalu sedikit. Di tahun 1950-an, ketika populasi harimau Jawa hanya tinggal 25 ekor, kira-kira 13 ekor berada di Taman Nasional Ujung Kulon. Sepuluh tahun kemudian angka ini kian menyusut. Di tahun 1972, hanya ada sekitar 7 harimau yang tinggal di Taman Nasional Meru Betiri. Walaupun taman nasional ini dilindungi, banyak yang membuka lahan pertanian disitu dan membuat harimau jawa semakin terancam dan kemudian diperkirakan punah di tahun 80-an.

Harimau jawa berukuran kecil dibandingkan jenis-jenis harimau lain. Harimau jantan mempunyai berat 100-141 kg dan panjangnya kira-kira 2.43 meter. Betina berbobot legih ringan, yaitu 75-115 kg dan sedikit lebih pendek dari jenis jantan.

Di samping harimau jawa, ada dua jenis harimau yang punah di abad ke-20, yaitu Harimau Bali dan Harimau Persia. Secara biologis, harimau jawa mempunyai hubungan sangat dekat dengan harimau bali. Beberapa ahli biologi bahkan menyatakan bahwa mereka adalah satu spesies. Namun, banyak juga yang membantah pernyataan ini.

Pro dan kontra tentang Harimau Jawa



Pro dan kontra tentang Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) telah mengusik perhatian berbagai kalangan karena sejak lama dinyatakan punah. Simposium harimau internasional di New Delhi 1979 menyatakan, binatang liar ini diperkirakan tinggal 5 ekor di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. Foto terakhir Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) berhasil diabadikan Hoogerwerf pada tahun 1930 di Taman Nasional Ujung Kulon.


"Eene jagt op Java


Namun demikian polemik keberadaan satwa liar tersebut muncul kembali setelah anggota Kapalla Indonesia yang ikut tim ekspedisi Meru Betiri dan UGM, Didik Raharyono, SSi menyatakan menemukan indikasi masih adanya Harimau Jawa (P. tigris sondaica) di Taman Nasional Meru Betiri (TNMB), Agustus 1997 lalu. Ekspedisi bersama Balai TNMB dan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (DirJen PHPA) tersebut menemukan jejak sekunder. Masing-masing berupa cakaran di pohon, rambut, kotoran dan bekas tapak kaki ditanah. Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan Fakultas Biologi UGM lalu melakukan pemotretan hasil tes mikroskopik pada rambut yang berada di sekitar cakaran di pohon. Hasilnya menunjukkan morfologi yang sama dengan rambut harimau jawa (P. tigris sondaica).

Namun sebagian peserta masih meragukan, mengingat selain harimau, hutan di Jawa juga masih dipenuhi dengan berbagai jenis macan dan kucing besar. Kondisi tersebut bisa mengaburkan hasil penemuan sekunder di TNMB. Berbeda dengan di Sumatera, bila ditemukan data-data sekunder seperti itu, dapat dipastikan merupakan tanda-tanda harimau Sumatera (P. tigris sumatrae). Hingga saat ini penempatan fototrap di beberapa lokasi masih belum mampu mendapatkan gambar fisik hewan tersebut. Oleh karena itu sampai saat ini keberadaan harimau jawa tersebut masih merupakan misteri.Terakhir Diperbaharui ( 08 January 2009 )

Menelusuri Jejak Harimau Jawa



Jum'at, 26 November 2004 | 18:25 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta:Kendati sudah dinyatakan punah, eksistensi harimau Jawa (Panthera tigris sundaica) masih misteri. Kisah pertemuan penduduk lokal – ini sulit dibuktikankebenarannya -- dengan macan belang gemulai ini, kadang-kadang masih terdengar di milenium baru ini. Sebagian menyebut kabar seperti ini bualan belaka, selebihnya meragukan pengetahuan saksi: jangan-jangan yang disaksikan itu kucing hutan atau macan kumbang.


Geschoten panter op de markt te Bandoeng

Tapi sebagian lagi percaya bahwa macan jawa yang di era 70-an tinggal tersisa lima ekor lagi, masih ada. Dan sejak lama wilayah hutan di kawasan Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur diyakini jadi habitat terakhir macan jawa yang tersisa. Tinggal bagaimana menemukannya saja.


Untuk memecah misteri sekaligus memuaskan rasa ingin tahu inilah, Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) menggelar pencarian macan jawa. Ini merupakan upaya kedua setelah kegiatan sejenis dilakukan Tahun 2000 lalu. "Kita masih percaya seratus persen, bahwa hewan langka kebanggaan Indonesia ini masih hidup dan berkeliaran di kawasan hutan Meru Betiri,” ujar Kepala TNMB Siswoyo kepada Tempo, Jumat (26/11) siang.

Siswoyo tak asal omong. Menurutnya, ada banyak indikasi yang menguatkan keyakinannya atas keberadaan macan jawa. Antara lain ditemukannya bekas cakaran kuku tajam di pepohonan, jejak telapak kaki, bahkan pernah ditemukan kotoran
yang diyakini milik harimau jawa. Khusus buat temuan kotoran, Siswoyo amat yakin bahwa itu buangan macan jawa. Sebab kotorannya punya tanda khusus, yakni terdapat sisa tulang dan bulu hewan mangsanya semsial babi hutan atau banteng. "Kalau bukan harimau jawa, di Meru Betiri ini, hewan apalagi yang bisa memangsa kedua
binatang besar tersebut?” kata Siswoyo.

Untuk melakukan “perburuan” harimau jawa, pihak TNMB melibatkan 20 teknisi hutan TNMB dengan satu orang supervisor dari Yayasan Pelestarian Harimau Sumatera (The Tiger Foundations). “Kita libatkan pakar harimau bernama Waldemar Sinaga
agar lebih tajam dalam mengevaluasi kerja tim ekspedisi,” kata Siswoyo.

Target perburuan yang dilakukan TNMB, menurut Siswoyo, bukanlah menangkap harimau jawa yang terkenal ganas dan enggan berjumpa manusia itu. Tapi sebatas memastikan bahwa keberadaanya masih ada dan satwa dilindungi ini hidup nyaman di hutan Meru Betiri. Untuk itu, di berbagai lokasi terpilih telah dipasangi kamera foto yang akan menangkap wujud si belang. Wilayah yang diyakini sebagai habitat terakhir ini adalah kawasan Gunung Gendong dan sekitar Teluk Meru.

Perangkap kamera yang dipasang di dua wilayah ini menurut Siswoyo berjumlah 15 buah. Alat ini merupakan kamera otomatis yang akan memotret sendiri ketika sensor infra merahnya terputus. Tentu saja, terputusnya sensor ini diharapkan akibat dari melintasnya harimau jawa. Lima belas kamera ini sudah dipasang sejak 10 Oktober lalu. Dan hingga kini sudah dua kamera yang menyelesaikan jepretan satu rol film. Artinya sudah ada 75 frame foto dari kamera trap. Untuk pelaksanan ekspedisi kali ini, pihak TNMB menghabiskan anggaran Rp 100 Juta.

Mahbub Djunaidy

Jejak dan Rambut Harimau Jawa Ditemukan di Gunung Slamet




PURWOKERTO – Sejak beberapa tahun belakangan, muncul silang pendapat keberadaan Harimau Jawa (Panthera Tigris Sondaica). Satu sisi, ada pendapat yang menyatakan, jenis satwa buas tersebut telah punah. Namun di sisi lain, muncul keyakinan Harimau Jawa masih ada, meski populasinya diambang kepunahan.
Ternyata, dari penelitian terakhir yang dilakukan Komunitas Peduli Selamet (Kompleet) Purwokerto, disimpulkan Harimau Jawa masih ada di Hutan Gunung Slamet. Riset yang dilakukan Kompleet, Mei-Juni 2001 ini, didasarkan pada pengalaman dan berbagai ekspedisi pencarian Harimau Jawa di Hutan Gunung Slamet.
Menurut Koordinator Program Kompleet Agung Nugroho, beberapa kelompok riset sebelumnya telah melakukan ekspedisinya dan hampir semuanya memberikan hasil positif mengenai keberadaan binatang mengaum itu.
Kelompok Pecinta Alam Capra Pala (Kappala), Fakultas Peternakan, Unsoed, Purwokerto sejak tahun 1999 mengadakan ekspedisi melalui wilayah Krajan Kecamatan Pekuncen Banyumas. Ekspedisi ini dilakukan setelah mendapatkan informasi dari penduduk setempat, harimau sering turun ke desa memakan ternak milik warga. Bahkan, dari keterangan masyarakat, tahun 1997 seekor harimau loreng terjerat dan dibunuh warga.
Hasil riset yang dilaksanakan dalam beberapa bulan itu memang tidak menemui secara langsung Harimau Jawa, tetapi berhasil mendapatkan sampel feses (tinja) di beberapa areal seperti persawahan dan hutan produksi Perhutani.
Penelitian lainnya mengenai Harimau Jawa juga telah dilaksanakan Tim Pencari Fakta Harimau Jawa (TPFHJ) di kawasan Taman Nasional Meru Betiri tahun 1997. Ekspedisi dan pemasangan kamera trap selama berbulan-bulan tidak menemukan hasil berupa sosok, tetapi hanya berupa bekas aktivitasnya seperti jejak kaki, feses, cakaran, dan rambut. Meski begitu, Koordinator TPFHJ dan peneliti dari Kappala Indonesia Didik Raharyono SSi menyebutkan, hasil riset itu perlu ditindaklanjuti dan tidak dapat langsung disimpulkan bahwa Harimau Jawa telah punah.
Agung mengungkapkan, penelitian terhadap Harimau Jawa tidak sama dengan riset terhadap spesies lainnya. Penelitian ini tidak bisa lepas dari informasi masyarakat sekitar kawasan. "Ini dilakukan mengingat jumlah spesies ini sangat langka sehingga memerlukan waktu lama untuk menjumpainya. Bagi warga setempat yang sering keluar masuk hutan, sudah tidak asing lagi kalau mereka sering bertemu dengan harimau,"kata Agung.
Akan tetapi, dia menandaskan, cerita ini jelas bukan merupakan hasil kesimpulan yang didapat Kompleet karena cerita sama sekali tidak dapat diterima masyarakat ilmiah. Inilah mengapa, katanya, Kompleet sangat berkeinginan untuk mendapatkan jawaban secara ilmiah mengenai keberadaan Harimau Jawa tersebut.
"Kita mengambil beberapa titik untuk melakukan riset, yakni di Kaliwadas dan Kalikidang Kabupaten Brebes serta Krajan, Semaya dan kalipagu di Banyumas,"ujarnya. Dari hasil riset selama dua bulan, Tim Peneliti Kompleet mendapatkan beberapa sampel, di antaranya feses, rambut, dan jejak kaki, bahkan kulit harimau.
Feses harimau, misalnya, ditemukan dengan diameter 2-3 cm. Sementara dilihat dari struktur dan tampak luar, umurnya antara 6 bulan dan 1 minggu. "Temuan lainnya berupa jejak kaki dengan diameter sol antara 7-12 cm. Di bawah cakaran tersebut, juga ditemukan beberapa rambut yang tercecer dari makhluk hidup itu.,"katanya.
Rambut, lanjutnya, juga didapatkan di tempat peristirahatan harimau. Tempat ini diidentifikasi masyarakat karena mereka sering melihat harimau beristirahat. "Sedangkan sampel kulit harimau didapat dari penduduk Kalimanggis, merupakan sisa kulit Harimau Jawa yang terbunuh karena kena jerat tahun 1997."
Kemudian tiga mahasiswa, masing-masing Erwin Wilyanto dari Fakultas Biologi UGM Yogyakarta, Wita Isriyanti dan Irah Adriany dari Fakultas Biologi Unpad Bandung melakukan analisis rambut harimau yang didapat Kompleet dengan mikroskop elektron di laboratorium Zoologi LIPI.
Analisis rambut didasarkan atas perbedaan kutikula (sisik luar) dan medula (sisik tengah) pada mamalia. Selain itu, sampel lapangan juga dicocokkan dengan rambut yang tersimpan di museum Zoologi Cibinong.
"Hasilnya, rambut yang ditemukan di lapangan adalah milik Harimau Jawa. Dari 173 sampel yang didapatkan di seluruh Jawa, 12 di antaranya menunjukkan jenis Harimau Jawa. Dari 12 tersebut, enam di antaranya adalah sampel dari lapangan di Gunung Slamet,"tandas Agung. Dua sampel yang didapatkan adalah contoh di lapangan yang ditemukan Mei 2001. (SH/liliek darmawan)

Ekspedisi Pencarian Harimau Jawa




Setelah beberapa kali gagal, pada 2009 Taman Nasional Meru Betiri akan memulai lagi ekspedisi melacak keberadaan harimau jawa. Selama ini keberadaan harimau jawa masih misterius. Sebagian warga sekitar taman nasional menyatakan pernah melihatnya. Sosok harimau dikabarkan terakhir terlihat di wilayah Pantai Teluk Meru dan Permisan.

Sayangnya, petugas Balai TN Meru Betiri belum pernah menemuinya. Ekspedisi serupa pernah dilakukan pada 2005. Pemasangan kamera di beberapa tempat di wilayah Meru Betiri sudah dilakukan. Kamera ini dipasang di tempattempat yang diprediksi dikunjungi harimau jawa.

”Saat itu pemasangan camera trap oleh petugas Balai TN Meru Betiri di jalur lintasan yang diperkirakan dilewati harimau jawa, tidak membawa hasil memuaskan,” kata Kepala Balai Taman Nasional Meru Betiri Herry Subagiedi kemarin.

Herry Subagiedi mengakui, secara teknis pihak Taman Nasional Meru Betiri kesulitan menemukan jejak harimau jawa. Padahal, kepastian keberadaan macan belang asli Jawa ini sangat penting agar Taman Nasional Meru Betiri bisa melindungi habitatnya.

”Camera trap itu masih ada, tapi programnya kami hentikan sementara. Nanti kami kembangkan ekspedisi lagi pada 2009,”ujarnya. Herry Subagiedi menjelaskan, dari ekspedisi harimau jawa pada 2005, dari tujuh unit photo trap, lima unit photo trap masih dalam kondisi baik. Sementara dua unit lainnya sudah tak bisa digunakan. Untuk ekspedisi 2009, Taman Nasional Meru Betiri akan mengusulkan penambahan 10 unit photo trap.

Fasilitas baru ini akan dipasang pada tempat-tempat strategis. Secara naluriah, harimau jawa bisa diramalkan keberadaannya. Biasanya harimau akan berada di daerah yang akses makanannya mudah. Biasanya harimau memburu kancil dan babi hutan di Blok Gunung Betiri. Berdasarkan analogi tersebut, Blok Gunung Betiri adalah tempat yang tepat untuk meletakkan photo trap.

”Naluri lainnya, harimau senang ke pantai.Kami akan berkonsultasi dengan kelompok profesional agar bisa mengetahui di mana starting point pencarian harimau itu,”ucapnya. Seperti diketahui, beberapa kali Taman Nasional Meru Betiri melakukan ekspedisi pencarian harimau jawa.

Pihak Taman Nasional Meru Betiri masih optimistis harimau jawa masih ada.Ada banyak indikasi yang menguatkan keyakinannya atas keberadaan macan jawa itu. Antara lain ditemukannya bekas cakaran kuku tajam di pepohonan,jejak telapak kaki, dan pernah ditemukan kotoran yang diyakini milik harimau jawa. Selain itu, kisah pertemuan sang macan dengan penduduk lokal juga masih ada.

Harimau Jawa Masih Ada...?


CIREBON - Sejumlah peneliti karnivor besar datang ke Graha Pena Radar Cirebon, Selasa (1/9). Mereka mempresentasikan hasil penemuan mencengangangkan: habitat macan tutul ada di Bukit Pembarisan, Kuningan Selatan. Tak menutup kemungkinan, harimau Jawa pun terdapat di sana. Bukti berupa jepretan hasil kamera trap, mereka tunjukan.

Seperti diberitakan Radar Cirebon (grup JPNN), para peneliti terdiri dari beberapa unsur antara lain LSM Peduli Karnivor Jawa (PKJ), LSM Raksa Bumi Citapen dan Universitas Kuningan (Uniku). Penelitian sendiri mendapat dukungan dari Yayasan Mukti Mandiri (YMM), yang diketuai Ahmad Husain Mukti.

Didik Raharyono SSi dari PKJ mengungkapkan, salah satu misi penelitian itu adalah membuktikan eksistensi harimau Jawa, yang disinyalir telah lama punah. Temuan beberapa satwa yang dilindungi di area Bukit Pembarisan, seperti primata endemik Jawa Barat, surili dan lutung, kemudian informasi dari masyarakat yang kerap melihat aktivitas karnivor besar, mengantarkan tim peneliti untuk menggali lebih jauh kemungkinan adanya habitat.

“Keberadaan karnivor besar, semacam harimau Jawa, macan tutul atau macan kumbang, perlu didukung sebuah ekosistem sebagai habitat, dan juga tersedianya satwa mangsa sebagai bahan makanan. Pengamatan kami di Bukit Pembarisan wilayah Kuningan Selatan, menunjukan bila karnivor besar memang hidup disana,” katanya.

Berupaya mendalami asumsi tentang adanya karnivor besar di Bukit Pembarisan, pertengahan tahun 2009 Didik dan rekan memulai penelitian di lokasi hutan desa Citapen Kecamatan Hantara.

Penelitian diawali dengan investigasi ke tengah masyarakat, perihal kerap terlihatnya karnivor besar secara tak sengaja. Setelah data dirasa cukup, penyisiran habitat mulai dilakukan. Melibatkan anggota tim: Didik Raharyono SSi dan Dewi Kurnianingsih SPd dari PKJ, Deni dan Edi Junaedi dari Uniku, serta Didik Uhadi dari Raksa Bumi.

Selama penyisiran tim berhasil menemukan bukti keberadaan karnivor besar jenis macan tutul, seperti jejak kaki, kotoran, cakaran di pohon dan rambut mangsa yang setelah diteliti merupakan bagian rambut surili, lutung dan kijang.

“Jejak macan tutul yang ditemukan, berumur dua dan tiga hari. Tim kemudian memasang kamera trap di beberapa jalur yang diduga kerap dilintasi macan tutul. Tak lupa umpan anjing dan daging kambing ikut dipasang guna mengundang kehadiran karnivor,” terang Didik.

Rupanya, rencana pengambilan gambar melalui kamera trap tak berjalan mulus. Hasil yang diharapkan tak kunjung tampak. Selain lokasi lintasan yang tak bisa dipastikan, apakah karnivor besar akan lewat atau tidak, umpan yang ditawarkan tampaknya tak menarik perhatian. Sampai pada 5 Agustus 2009, sebuah kamera berhasil mengambil gambar yang dinantikan: sebuah macan tutul melintasi infrared, dan tubuhnya tertangkap kamera.

Didik menjelaskan pemasangan kamera trap baru sekitar dua Minggu dan waktu sebulan yang direncanakan. “Penunjuk waktu menerangkan macan tutul tersebut terfoto sekitar pukul 22.13. Setelah diteliti, jenis kelaminnya jantan dengan panjang antara 80 sampai 90 cm dan tinggi 45 cm, ” terangnya.

Dengan pembuktian otentik melalui jepretan kamera trap, Didik yang telah selama 12 tahun bergumul dengan penelitian karnivor besar mengungkapkan, biasanya dalam satu kawanan macan tutul terdapat empat hingga lima ekor anggota kelompok. Namun hingga saat ini tim Didik belum dapat memetakan berapa jumlah pasti populasi macan tutul di Bukit Pembarisan Kuningan. “Kami masih memerlukan penelitian lanjutan, yang pasti informasi dari masyarakat menyebutkan ada banyak,” ujarnya.

Bukit Pembarisan sendiri masuk dalam empat kabupaten, yakni Kuningan, Brebes, Ciamis dan Cilacap. Dosen Fakultas Kehutanan Uniku, Deni, menerangkan mengapa Bukit Pembarisan berpeluang besar dihuni karnivor besar, sebab daerah hutannya menyambung dengan hutan Gunung Slamet di Jawa Tengah.

Menurut Deni, penemuan habitat macan tutul di hutan desa Citapen secara langsung bersinggungan dengan lahan milik Perhutani yang sebagiannya telah siap dipanen. Hal tersebut, bila tak diantisipasi sejak dini terutama oleh kalangan birokrat yang berwenang, akan potensial menyebabkan konflik keterbatasan lahan.

“Ujung-ujungnya, kalau lahan hutan terus digarap menjadi lahan pertanian dan perkebunan yang tak berkesudahan, otomatis ruang gerak karnivor besar akan semakin tersudut. Satwa mangsa macan tutul akan langka, dan akhirnya besar kemungkinan karnivor besar akan memangsa hewan milik penduduk,” paparnya.

Selain di hutan desa Citapen, tambah Deni, penyebaran karnivor besar di Kuningan juga terdapat di Cibinbin, Gunung Pojok Tilu dan Gunung Bongkok. Ia mengaku kelanjutan penelitian sangat bergantung dari biaya yang umumnya di Indonesia masih didanai funding luar negeri. “Bantuan dari Yayasan Mukti Mandiri, sejauh ini sangat membantu penelitian kami. Dan, hasil yang kami harapkan berhasil didapat,” ucapnya sambil dengan bangga menunjuk foto macan tutul hasil jepretan kamera trap.

Pemanfaatan lahan hutan, tentu tak lepas dari aktivitas masyarakat setempat dalam mengelola berbagai hasil pertanian dan perkebunan. Didik Uhadi dari Raksa Bumi Citapen menginginkan bila kawasan Bukit Pembarisan akan dimasukan dalam zona ekosistem karnivor besar yang dilindungi, yang mesti dijaga keberadaannya, maka pemerintah dan pihak terkait harus memikirkan kontribusi lain terhadap pemenuhan penghasilan masyarakat yang selama ini bergantung dari hutan.

“Sebab ternyata eksisitensi macan tutul terbukti ada, maka perlu ada reward pada masyarakat setempat, agar setidaknya pemahaman mereka untuk ikut melindungi satwa langka tersebut juga terbentuk baik. Kemudian diarahkan agar ada sebentuk alternatif solusi pendapatan bagi masyarakat yang selama ini beraktivitas di hutan yang dihuni macan tutul,” katanya.

Didik menambahkan, persoalan pemburu juga tak kalah pelik dimana kebiasaan berburu babi hutan atau bagong, dibarengi juga berburu kijang yang jadi mangsa macan tutul. “Pemahaman terhadap masyarakat setempat, tak kalah penting dengan penemuan habitat macan tutul di hutan desa Citapen. Tentu kita mesti bersama menjaga habitat macan tutul agar jangan sampai dirusak,” tandasnya.(jpnn)
sumber : http://www.jpnn.com/berita.detail-37703

Didik Raharyono : Tentang Harimau Jawa


Kehadiran individu Harimau Jawa tersisa dapat dibuktikan dari bekas
aktivitas dan sisa bagian tubuhnya, meskipun secara Internasional
Harimau Jawa sudah mendapat predikat punah. Hal ini membuktikan
bahwa pengamatan Harimau Jawa sudah seharusnya dilakukan masyarakat
Jawa sendiri, tanpa harus tergantung kepada peneliti asing.
 


Kepunahan Harimau Jawa muncul akibat laporan WWF 1994 yang tidak
mendapatkan sosok fotonya setelah memasang 10 kamera trap sistem
injak selama satu tahun di TN. Meru Betiri seluas 56.000 hektar.
Akibat pernyataan punah dari WWF dan dikuatkan PKA, maka setiap ada
pelaporan perjumpaan Harimau Jawa oleh masyarakat selalu dianggap
cerita mitos. Tulisan saudara Jajang Agus Sonjaya (Kompas 19 Juli)
alenia X kalimat terakhir "....Si Mbah yang dianggapnya sebagai
binatang jadi-jadian", merupakan bukti bahwa Harimau Jawa
berdasarkan penuturan masyarakat disimpulkan sebagai binatang mitos.
Tetapi terbantah ketika dijelaskan "... harimau itu bertubuh besar
dan berkulit loreng, langkahnya sangat tenang dan meninggalkan jejak
tapak kaki di tanah" (alenia XII kalimat terakhir). Kalimat ini
menguatkan perilaku Harimau Loreng, langkah tenang karena dia
predator tertinggi di ekosistem. Jika binatang jadi-jadian maka
tidak meninggalkan jejak di tanah.

Usaha menyakinkan keberadaan Harimau Jawa tanpa sosok foto
terbarunya, dirintis Mitra Meru Betiri (MMB) ketika presentasi di
Seminar Nasional Harimau Jawa 1998 yang diselenggarakan
Matalabiogama Fakultas Biologi UGM. Seminar tersebut dihadiri oleh
PKA, STP, LIPI, WWF, STI, Kebun Binatang Surabaya, KB. Ragunan, KB.
Bandung dan Dosen dari berbagai Perguruan Tinggi. Bukti keberadaan
Harimau Jawa di seminar itu didasarkan pada temuan jejak tapak kaki,
kotoran, cakaran dan foto rambut perbesaran 400 kali. Akhirnya
direkomendasikan untuk memantau semua daerah yang masih ada
pelaporan perjumpaan dengan Harimau Jawa.

Sejak itu kami berpetualang dan mengumpulkan bukti keberadaan
Harimau Jawa berdasarkan informasi perjumpaan atau pembunuhan satwa
punah ini. Informasi perjumpaan Harimau Jawa kami peroleh dari
Pemburu lokal, Pecinta Alam, Jagawana, Perbakin dan Mandor
Perhutani.

Februari 1999 kami bersama BKSDA Jatim II merambah kawasan Gunung
Merapi Ungup-ungup, Ijen, Rante, Panataran dan Raung. Penelusuran
dilakukan oleh 8 regu, masing-masing regu beranggotakan 4 – 5 orang
selama 15 hari didalam hutan. Hasil penelusuran tersebut ditemukan
bukti keberadaan Harimau Jawa di Gunung Raung, Panataran dan Ijen
berdasarkan temuan rambut yang terselip di luka cakaran dan kotoran.

April 1999 kami bersama peserta Pendidikan Lingkungan Kapai
membongkar kelebatan hutan Gunung Slamet sisi Barat dan Selatan
selama 15 hari. Hasil temuan berupa cakaran di pohon dengan rambut
yang terselip, juga kotoran dan jejak. Keberadaan Harimau Jawa di
Gunung Slamet diperkuat oleh penuturan masyarakat Pekuncen yang
telah membunuh harimau loreng tahun 1997. Rambut dari kulit harimau
loreng sisa pembunuhan tahun 1997 berhasil diidentifikasi
menggunakan mikroskup elektron sebagai rambut Harimau Jawa.

Februari sampai Maret 2000 kami mengulangi pemantauan di Gunung
Slamet selama satu bulan penuh. Meskipun perjumpaan langsung dengan
Harimau Jawa tidak terjadi, setidaknya cakaran dan rambutnya kami
temukan. Keyakinan tersebut dikuatkan penduduk pengambil kayu di
hutan bahwa harimau loreng sering mengikuti jalan setapak yang
dibuatnya. Saat berpapasan terlihat acuh, oleh penduduk Kalikidang
Harimau Loreng disebut Macan Budeg.

Agustus 2000 ketika kami melakukan investigasi pembangunan jalan
Triangulasi – Plengkung di TN. Alas Purwo. Pada perjalanan pulang
menuju Dam Buntung, kami bertemu Pak Bura'i dari Situbondo dan
Beliau bertanya apakah tadi berpapasan dengan Harimau Loreng di
hutan Jati. Sebab 5 menit yang lalu sebelum kami lewat, Pak Bura'i
sempat melihat harimau mengaum dari jarak 10 meter.

Desember 2000 kami mengejar informasi perjumpaan harimau loreng di
Gunungkidul bersama Jagawana dari BKSDA DI. Jogjakarta. Meskipun
bukti temuan menunjukkan bekas aktifitas Macan Tutul, namun beberapa
ketua Dusun menyakini bahwa masih sering dijumpai Harimau Loreng
saat musim kemarau atau ketika ada warga yang meninggal. Lama
penungguan makam baru berkisar dari 7 sampai 20 hari. Keberadaan
Harimau Loreng di Gunungkidul dikuatkan oleh temuan cakaran di batu
cadas penutup mulut song Bejono di Ponjong yang menjadi tempat
persembunyiannya.

Agustus 2001 kami mengejar informasi terbunuhnya harimau loreng di
lereng Utara Gunung Muria Jawa Tengah. Meskipun baru sebatas
informasi, setidaknya mandor perhutani menyakini masih melihat
tulang belulang loreng yang baru saja dibantai warga. Seorang kepala
Hansip perkebunan Jolong bahkan sangat yakin masih melihat harimau
loreng setiap panen kopi. Ketika bertugas diperbatasan kebun dengan
hutan, dia dihampiri Gembong yang ikut menghangatkan diri di
perapiannya. Data penguat terakhir adalah penuturan dari PA UMK saat
melakukan pengembaraan di Lereng Selatan Gunung Muria, berpapasan
Harimau Loreng bertubuh besar dan sempat disaksikan oleh satu regu
yang terdiri dari 6 orang.

Pecinta Alam Dinamik dari Solo melaporkan pernah berpapasan dengan
Macan Loreng di Lawu Selatan tahun 1998 dan disaksikan semua anggota
tim SRU sekitar 5 orang saat berlatih SAR. Pak Tarjo Polhut Lawu
Selatan juga pernah bertemu dengan Harimau Loreng ketika melakukan
patroli di Jobolarangan.
Kehadiran individu Harimau Jawa tersisa dapat dibuktikan dari bekas
aktivitas dan sisa bagian tubuhnya, meskipun secara Internasional
Harimau Jawa sudah mendapat predikat punah. Hal ini membuktikan
bahwa pengamatan Harimau Jawa sudah seharusnya dilakukan masyarakat
Jawa sendiri, tanpa harus tergantung kepada peneliti asing.

Serangkaian pengalaman mencari satwa punah ini telah kami susun
kedalam buku panduan mencermati keberadaan Harimau Jawa berjudul
Berkawan Harimau Bersana Alam diterbitkan tahun 2002 oleh Kappala
Indonesia didukung The Gibbon Faundation.
* * *
Penulis: Didik Raharyono.
Koord. Program Hutan Kappala Indonesia. Peneliti Biologi
Hidupanliar. Anggota Alumni Matalabiogama Fakultas Biologi UGM.
Meneliti Harimau Jawa Sejak 1997. Koordinator Tim Pembela & Pencari
Fakta Harimau Jawa sejak 1999.

Hariamau Jawa : mitos bahwa raja rimba itu erat berkerabat dengan berbagai keluarga inti pengendali kerajaan – kerajaan di Pulau Jawa




Shantih, shantih, shantih … semoga damai selalu menyertaimu, hai segenap roh macan Jawa.
Sudah berulang kali disinggung berbagai status Macan Jawa di dalam kebudayaan dan kesusastraan Jawa. Anehnya masih ada kawan yang percaya dengan mitos bahwa raja rimba itu erat berkerabat dengan berbagai keluarga inti pengendali kerajaan – kerajaan di Pulau Jawa.
Saya katakan tidak ada. Bila pun ada mitos begitu, saya bilang tukang ceritanya telah melakukan tindakan gegabah. Apa Pasal? Pejantan Macan Jawa adalah truly solitary animal. Begitu rampung masa pengasuhan yang berlangsung sekitar 2 – 3 tahun, Panthera Tigris Sondaica jantan pergi jauh meninggalkan ibu dan saudara – saudaranya. Macan Jawa jantan mengemban sifat untuk tak mau pusing dengan urusan keluarga, lebih – lebih kekerabatan. Sebab sejak menginjak kehidupan dewasa, si raja rimba ini melulu sibuk dengan tiga macam urusan : Kekuasaan, bercinta, dan makan. Umumnya pejantan Macan Jawa punya prinsip makin luas area kekuasaan, makin besar potensinya untuk mendapat pasangan bercinta, dan tentu saja hewan buruan ...    

“Bukankah ada mitos The last of Prabu Siliwangi berinkarnasi menjadi seekor maung?”, kawan saya nyeletuk.
Saya jawab : “Kawan, inkarnasi beda jauh dengan konsep kekerabatan. Lagi pula laporan itu statusnya belum valid. Coba kalian teliti kembali kandungan Babad Cerbon, dan pastikan teks inkarnasi Prabu Siliwangi itu genuine, atau disusupkan oleh para penyalin naskah di kemudian hari.
… Berbeda dengan kucing, Macan Jawa suka dengan air dan tak pernah ragu untuk memburu mangsanya hingga masuk ke lubuk sungai paling dalam. Macan Jawa sering dapat mangsa dengan cara ini. Memang Macan Jawa agak tak sabar, menunggu mangsanya menikmati minuman segar dari kolam di bawah air terjun. Namun auman si raja rimba, seketika menakuti hingga memojokkan hewan buruan untuk tak bisa kemana – mana selain beringsut ke dalam kolam itu. Segera saja Macan Jawa melompat, menerkam, dan membenamkan mangsanya hingga masuk jauh kepada kedalaman air. Di dalam air itulah, Macan Jawa punya banyak waktu dan keleluasaan dalam memperlakukan mangsanya.  
Sebagai pemburu sejati, Macan Jawa tak butuh kawan ataupun asisten. Si Raja rimba ini memburu siapapun yang ada dalam kawasan kekuasaannya. Panthera Tigris Sondaica tak ambil pusing dengan ukuran dan status mangsanya. Kelinci, celeng, kancil, kerbau, anak gajah dan anak badak, bebek atau burung lainnya, dan tentu saja rusa, adalah hewan yang paling sering mengisi perutnya. Sebagai anggota trah keluarga Feline, macan Jawa sungguh luar biasa untuk urusan makan. Sekali duduk hewan ini bisa makan sampai 18 kg daging plus rerumputan atau sayur – sayuran.
“Kawan, benar tadi kau bilang inkarnasi ? ”
“Yap, aku katakan itu, ada apa?” 
“Nah, dengarkan …
Melihat fakta di atas, para sesepuh dan pinisepuh orang Jawa, setidaknya sejak abad ke – 18 M, diduga mulai menggolongkan Macan Jawa ke dalam golongan kewan brekasakan, yaiku sakabeh kewan sing sabane nang alas, akeh mangane lan senenge kenthu. Kewan – kewan sing kalebu golongan Brekasakan ora tau mikirke kahanan kaluwargane.
Namun ada dugaan lain yang menyebutkan bahwa jauh sebelum abad itu, para Raja dan elite kerajaan di P. Jawa, mulai tak suka, tidak berkenan atau bahkan tidak siap sedia menitis menjadi sato kewan, yang brekasakan, seperti macan Jawa itu. Mereka, para raja dan elite Istana memegang teguh prinsip “Saiki menungsa, besuk yen ora kelakon moksa, nitis meneh… ya dadi menungsa … sering ditambah kalimat pengharapan, sing luwih sampurna”, seperti termaktub dalam Serat Wirid Hidayat Jati versi Ranggawarsitan.
Terbitnya Serat Wirid Hidayat Jati, tentu saja membuat senang hati Raja dan elite Jawa, waktu itu. Betapa tidak, adalah semacam manual book paling komplit memuat petunjuk tata cara mencapai moksa, yaitu tingkat tertinggi dari konsep Manunggaling Kawula lan Gustine.
Lewat pembacaan seksama di bawah bimbingan satu guru spiritual, potensi seseorang untuk menghentikan siklus kehidupan dari jelma ke jelma bisa terwujud. Selain menemani dan menjelaskan hal – hal yang tidak dipahami para murid, guru spiritual secara khusus melayani pembukaan Betal Makmur, Betal Mukharam, dan Betal Mukhadas, yaitu tiga ruang, tempat dimana Gusti Kang Murbeng Dumadi biasa mangkal dalam diri manusia.
Menariknya kesadaran ini justru makin mengental sejak Pangeran Diponegoro, sang pemimpin perang Jawa itu ditangkap dan dibuang ke Manado. Sementara R. Ng. Ranggawarsita, konon salah satu aktor intelektual dari perang besar itu, juga ditangkap dan dibawa ke Batavia. Karya – karya Pujangga Jawa terakhir ini dipelajari dan diteliti kembali dalam rangka mendapatkan berbagai aspek yang mungkin bisa membahayakan stabilitas nasional. Demi kelancaran, Pemerintah Hindia Belanda meminta R. Friedrich, seorang leksikograf jempolan, untuk membuat kamus khusus Jawa  (Ranggawarsitan) – Jawa (Umum).
Dulu, informan pak Woodward (baca: Islam Jawa, terbitan LKIS), pernah menjelaskan bahwa Serat Wirid Hidayat Jati adalah pelajaran wajib bagi calon dan birokrat kerajaan Ngayogjakarta Hadiningrat, jauh sebelum kerajaan ini bijak memilih melebur di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sangat mungkin, masyarakat umum membuat simpulan bahwa topik “pencarian” birokrat kerajaan, para ambtenaar yang lazimnya adalah Priyayi Jawa ini, layak menjadi suri tauladan. Ini sebabnya ajaran Serat Wirid Hidayat Jati cepat bergulir dan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat. Ibu – ibu “Dharma wanita” Ngayogjakarta Hadiningrat waktu itu dan perempuan dengan ragam profesi pun menerima tanpa reserve lagi. Sebab Wirid Hidayat Jati Ranggawarsitan ini, sepertinya sudah sadar gender. Artinya tidak terbatas untuk para lelaki. Terbukti, di antaranya dengan menyediakan petunjuk khusus bagi pembukaan Betal Mukhadasnya kaum hawa, sebagai berikut :
Ing nalika ingkang Maha Suci karsa anata malige wonten salebeting betal mukadas, jumeneng ing baganipun Siti Khawa. Punika ingkang wonten salebeting baga, purana. Ingkang wonten ing ngantawisipun purana, reta: inggih punika mani, salebeting mani, madi, salebeting madi, wadi. Salebeting wadi manikem. Salebeting manikem, rahsa. Salebeting rahsa punika dating Atma, ingkang anglimputi ing kahanan jati.
Ibu – ibu dan segenap perempuan yang kritis - apresiatif tentu tersenyum gembira menyimak pilihan kata – kata sakral dari sang Ngabehi, yang indah dan tak seronok itu. Bisa ditebak, para ibu lantas aktif terlibat, melu nyengkuyung, nderek handarbeni, mendorong agar diri sendiri, dan lelakinya masuk di dalam pusaran spiritual Wirid Hidayat Jati. Konsekuensinya, wong Jawa lantas punya cita – cita tinggi, yaitu kepingin moksa, kepengin bisa menikmati hakikat Manunggaling Kawula Gusti. Wajarlah bila kemudian lahir dugaan, tak ada lagi mimpi atau keinginan bawah sadar wong sa Nusa Jawa, laki – perempuan untuk menitis dadi sato kewan brekasakan kaya macan Jawa.  
Kiranya, bentukan infrakstruktur “mental - spiritual” bagi kepunahan macan Jawa, makin kuat mengental sejak pemerintah Hindia Belanda di tahun 1822, resmi merekrut pemburu macan (tiger hunter) professional, yaitu pemburu yang punya senapan dan peluru (mesiu). Sebagaimana pegawai pemerintah, para pemburu professional waktu itu, wajib memakai baju safari. Hampir setiap sabtu pagi para pemburu professional itu absen datang ke desa – desa di tepian hutan. Selepas istirahat minum kopi, dan sarapan, berangkatlah para pemburu itu ke dalam hutan. Sorenya, para pemburu pulang, kadang berjalan gagah dan dengan cerutu mengepul di tangan atau di mulut. Di belakangnya beramai – ramai orang desa memanggul macan Jawa, baik yang masih hidup, sekarat, hingga yang sudah tewas. Melihat pemandangan yang nggegirisi itu, banyak orang Jawa yang ndremimil ndonga: aja sampe’ rek, nitis dadi macan Jawa. Lantas mereka datang ke guru spiritual, yang dengan senang hati memberi arahan terbaik menuju moksa.
Salah satu Guru yang mumpuni di awal abad ke – 20, adalah Raden Kyai Haji Mukangmad Sholeh asal Muntilan. Menurut beliau, yang penting para murid bisa kelingan ajarane, terlebih saat menjelang dan sesudah kematian raga. Atas fasilitas seorang Mantri Candu, penerus ajaran Wirid Hidayat Jati Ranggawarsitan ini rutin memberi “kuliah” di wilayah kabupaten ing Kalasan. Salah satu yang menarik adalah kuliahnya perihal Sinamar ing Warna.
Para siswa ingkang kinurmatan, saksampune roh, utawi jiwa, utawi atma manungsa sing wis mati saged medal saking ngalam rokhiyah, punika lajeng lumebet ing ngalam siriyah.
Di alam ini saling bermunculan cahaya empat macam : Cemeng (hitam), Abrit (merah), Jenne (kuning), dan Pethak (putih), yang masing – masing muncul secara berurutan, sebagai wahana empat nafsu manusia.
Cahya ireng kadadeyaning napsu luamah, sumurup ing cahya ingkang abang.
Cahya abang kadadeyaning napsu amarah, sumurupa ing cahya kang kuning.
Cahya kuning kadadeyaning napsu supiyah, sumurupa maring cahya kang putih. Cahya putih kadadeyaning napsu mutmainah, sumurup maring cahya manca warna. Cahya kang amonca warna kadadeyaning pramana, sumurupa maring dat ing cahyaningsun, kang awening mancar mancorong gumilang tanpa wawayangan.
Selepas memberi uraian panjang lebar, Kyai Mukangmad Sholeh memberi empat pesan penting, yaitu :
Sampun ngantos korup wonten ing salebetipun cahya cemeng. Manawi nitis dhateng sato kewan miwah gegermet.
sampun ngantos korup wonten ing salebetipun cahya abrit manawi nitis dhateng brakasakan.
sampun ngantos korup wonten salebetipun cahya jene, manawi nitis dhateng peksi miwah iber-ngiberan.
sampun ngantos korup dhateng cahya pethak manawi nitis dhateng ulam lomiwah turon toya.
(Sumber : Naskah Wirid Hidayat Jati versi Karangwuni – Kulonprogo, penyusun Kyai Haji Mukangmad Sholeh 1916 - 18)
sumber tulisan dari : 
http://ujiarso.multiply.com
Greenpeace SEA-Indonesia
Racikan Obat Herbal
CAMPAKA KAROMAH Khusus Untuk Direbus/Godogan, Insyaallah Dapat Menyembuhkan Penyakit Yang Anda Derita.

Formulator : Deddy kermit madjmoe
Hotline: 081324300415
Jl. Buyut Roda Gg.Polos No.84 Ciledug Cirebon Jawa Barat 45188

Pasien TIDAK MAMPU dan KURANG MAMPU Jangan TAKUT Untuk Berobat Pada Kami....!!!! Kami Tetap akan melayaninya.