24 April 2009

KAPITALIS

Tambang, Militer & Konspirasi Kapitalis
on Thursday, 23 April 2009

Views : 37

Oleh P. Alex Jebadu SVD, Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere, Flores

Pada tgl 14 Februari 2009 Forum Cendekiawan Asal Manggarai (Forcam) di Maumere menyelenggarakan sebuah seminar tentang dampak negatif eksploitasi tambang di tiga kabupaten di Mangarai. Seminar ini membuat seluruh peserta seminar seakan bangun dari tidur. Mereka hampir tak percaya akan apa yang mereka dengar dan lihat. It’s shocking (Sungguh mengejutkan)! Melalui gambar-gambar yang ditayangkan power point (=sejenis program dalam komputer), rahim tanah Manggarai ternyata sudah lama terluka. Lubang-lubang raksasa menganga lebar dijumpai di banyak tempat. Gunung-gunung dan bukit terbongkar hancur diledakkan dinamit. Hutan lindung yang menjadi sumber mata air dilucuti. Lembah-lembah ditimbun. Sungai dan laut Flores tercemar. Pantai Robek di sebelah barat kota Reo, yang dulu biasa ditamasyai para turis manca negara, kini sudah ditinggal sepi karena kebisingan dinamit tambang. Laut Flores pantai utara sekitar Reo tercemar limbah toxic beracun. Para nelayan sulit melaut lagi karena ikan-ikan sudah hilang.

Yang lebih shocking lagi adalah bahwa perusahaan tambang membuat patok-patok di kebun-kebun dan sawah petani. Bahkan sampai patok-patok bisa dibuat di tengah kampung para penduduk. Mereka membuat peta eskploitasi tambang sekian, sehingga seakan-akan tidak ada manusia yang mendiami tempat bersangkutan. Bukankah ini sudah merupakan bentuk-bentuk pelanggaran dan perendahan martabat sesama manusia paling nyata? Tapi heran bin heran, mengapa mata para bupati seakan-akan tidak melihat semuanya ini? Apakah ada sesuatu yang telah membuat mata dan hati mereka silau? Di mana naluri kegembalaan mereka sebagai pemimpin kawanan rakyat? Mengapa para bupati Manggarai membiarkan masa depan kehidupan kawanannya (baca: rakyat) dimakan serigala berwajah tambang dengan merusakkan sumber daya alam mereka? Ada apa sebenarnya yang terjadi dengan para bupati hasil pemilihan rakyat ini?

Salah satu pertanyaan yang mencuat dalam seminar Forcam di Ledalero beberapa hari silam, maupun dalam percakapan harian banyak orang, sehubungan dengan eksploitasi tambang yang sudah semakin ekspansif (=luas) dan destruktif (=merusakkan) di Manggarai adalah mengapa kita begitu terlambat bereaksi untuk mencegahnya? Mengapa kita selama ini tidak tahu? Terhadap pertanyaan ini, kita mesti katakan bahwa jangan kan kita orang-orang Manggarai yang sedang berdiaspora (baca:merantau) di daerah-daerah lain, orang-orang Manggarai yang tinggal di Manggarai sendiri saja tak banyak yang tahu. Lihat saja orang-orang di kota Ruteng, di Borong dan di Labuan Bajo. Tidak banyak dari mereka yang prihatin dan peduli terhadap dampak negatif eksploitasi tambang di Manggarai. Kebanyakan mereka tidak tahu bahwa sedang ada perusakan alam mereka oleh eksploitasi mineral bumi. Kalaupun ada segelintir orang yang tahu akan hal ini, mereka cenderung melihat masalah eksploitasi tambang di Torong Besi dan Serise sebagai persoalan orang Reo dan orang Lambaleda. Ada banyak orang Ruteng, Borong, Labuan Bajo dan juga orang-orang desa lainnya di Manggarai yang memang tidak tahu dan tidak sadar bahwa ada serigala tambang yang sedang menghancurkan alam mereka. Sehubungan dengan ignoransia (=ketidaktahuan) ini, ada beberapa kemungkinan yang menjadi penyebabnya.

Pertama, rencana dan isinan exploitasi tambang di Manggarai umumnya tidak pernah transparant (=terbuka). Rencana eksploitasi tambang di Manggarai tidak pernah dikonsultasikan dengan rakyat. Rakyat tidak pernah diberitahukan dan dimintakan pendapatnya soal exploitasi tambang. Apakah karena rakyat dianggap tak tahu apa-apa dan bodoh? Padahal pembangunan di sebuah negara demokrasi tidak bisa dieksekusi (=dijalankan) dengan pendekatan seperti ini. Pembangunan di dalam sebuah negara modern dengan demokrasi sebagai formatnya mesti dibuat bersama rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Rakyat berhak untuk tahu bagaimana tatanan kehidupan mereka dibangun. Mereka berhak untuk menolak setiap bentuk pembangunan yang merugikan sosio-budaya, ekonomi dan lingkungan hidup mereka. Setiap pembangunan yang merusakkan alam sama dengan merusakkan hidup dan masa depan masyarakat setempat. Pertanyaan kita: Mengapa eksploitasi tambang tidak dibuat sosialisasi yang cukup? Terhadap pertanyaan ini ada yang menjawab bahwa ada sosialisasi tapi sosialisasi itu lebih banyak berupa janji pengaspalan jalan setapak menuju kampung mereka, perbaiki gedung sekolah SD yang reyot dan listrik masuk kampung. Sedangkan dampak negatif tambang seperti limbah toxic yang mengotori sungai dan laut, penggundulan hutan, pengeringan mata air, penghancuran gunung dan bukit, umumnya disembunyikan dari orang-orang desa.

Belum lama ini kita mendapat informasi via SMS dari seorang pegawai negara di Labuan Bajo. Sambil minta untuk merahasiakan namanya, ia memberitakan bahwa pemda Manggarai Barat sempat menghimbau semua pegawai untuk tidak boleh membocorkan rencananya untuk merestui eksploitasi tambang di sebuah lokasi yang tak seberapa jauh dari kota Labuan Bajo. Mendengar issue ini, secara naluriah orang spontan heran. Apa-apaan ini? Bagaimana mungkin seorang bupati merencanakan pembangunan dan membangun daerah secara sembunyi-sembunyi tanpa diketahui rakyatnya? Padahal pembangunan apapun, termasuk eksploitasi tambang di daerah, langsung atau tidak langsung menyangkut hidup orang banyak. Causa finalis (=tujuan akhir) dari setiap kegiatan pembangunan, termasuk pembangunan fisik/infra struktur, adalah manusia, dalam hal ini rakyat. Konsekuensinya, ia tidak pernah boleh dibuat secara sembunyi-sembunyi dari rakyat sebagai sebuah komplotan (=konspirasi) kejahatan. Ada cukup banyak contoh pembangunan yang diturunkan di desa-desa dengan pendekatan seperti ini. Misalnya menjelang pemilu, tiba-tiba sebuah tender dipajang di sebuah pinggir jalan. Sumber mata air mereka disegel. Melihat hal ini, rakyat terkejut tak mengerti. Keluhanpun dilayangkan karena proyek bersangkutan ada efek sampingan yang perlu dipertimbangan masak-masak. Tapi jarang didengar. Kita bertanya: pembangunan apa macam begini? Katanya, kita sudah hidup di alam demokrasi. Tapi berhadapan dengan rakyat, pemerintah hasil pilihan rakyat justru memilih menjalankan roda pembangunan layaknya seperti sebuah konspirasi atau secara diktator seperti pada zaman monarki (=kerajaan).

Kemungkinan kedua yang menyebabkan mengapa banyak orang Manggarai pada umumnya ignorant (=tidak tahu) atau terlambat tahu akan ekspansi tambang yang sangat destruktif (=merusakkan) ini adalah karena memang perusahaan tambang berusaha agar aktivitas mereka tidak diketahui banyak orang. Mereka gali perut bumi secara sembunyi-sembunyi, sambil memanfaatkan kebodohan (lebih tepat: ketaktahuan) masyarakat desa di Manggarai maupun di Flores pada umumnya. Kita ambil contoh. Bagaimana mungkin orang Ruteng, orang Borong dan orang Labuan Bajo tahu bahwa ada penghancuran bumi oleh aktivitas tambang di Torong Besi (Kec. Reok), di Serise (Kec. Lambaleda) dan Nggorang/Tebedo (Kec. Komodo)? Perusahaan tambang ini dan alat-alat penghancur alam yang mereka miliki masuk di daerah terpencil yang menjadi lokasi tambang melalui laut dan keluar juga melalui laut. Truk-truk raksasa beroda 18 dengan ukuran setinggi dan sebesar rumah kediaman tidak pernah lalu lalang di jalan umum di kota Ruteng, Borong dan Labuan Bajo. Alat-alat raksasa ini masuk dari laut dan keluar juga melalui laut. Selain itu, di kawasan menuju lokasi tambang biasanya dipajang papan pengumuman: “Berbahaya! Kawasan Ini Dilarang Masuk!˝ Sepintas lalu larangan masuk ini cukup beralasan karena memang aktivitas tambang itu berbahaya. Setiap saat ada kemungkinan ledakan dinamit untuk memecahkan gunung dan bukit. Tapi pada saat yang sama, alasan keamanan ini dijadikan sebagai instrumen untuk membiarkan masayarakat setempat tetap tidak tahu akan expansi tambang yang amat destruktif terhadap alam yang menopang kehidupan mereka. Pertanyaan kita sekarang, mengapa pemerintah dan perusahaan tambang berlaku demikian? Mengapa pemerintah daerah, dalam hal ini para bupati, bersekongkol dengan perusahaan tambang untuk tetap membiarkan rakyat desa di Manggarai dan di Flores pada umumnya tetap ignorant (=tak tahu) terhadap sisi negatif tambang yang destruktif? Brook Larmer, seorang penulis majalah National Geographic milik Amerika Serikat memberi kita jawabannya.

Melalui tulisan Brook Larmer yang berjudul Gold: The True Cost of Global Obsession (= Emas: Harga dari godaan/kegilaan Global Yang Sebenarnya), majalah National Geographic Washinton DC – USA edisi Januari 2009 mendedikasikan dirinya untuk mengekspose (= menyingkapkan) kegilaan dunia akan eksploitasi tambang di seluruh planet bumi termasuk di Indonesia. Menurut laporan Brook Larmer, beberapa tahun belakangan ini perusahan-perusahaan tambang emas Amerika Serikat dan Eropa mulai mengincar pengeksploitasian mineral bumi di negara-negara miskin di Afrika dan Asia karena beberapa alasan. Pertama-tama, karena kandungan mineral emas di bumi Eropa dan Amerika sudah mulai habis, selain memang dari dulu bagian bumi Eropa dan Amerika tak terlalu kaya dengan emas. Selain itu, orang-orang Eropa dan Amerika umumnya sudah pintar-pintar dan maju. Kesadaran dan cinta mereka akan lingkungan hidup sangat tinggi. Jangankan menggali bumi untuk mengeruk tambang, pemotongan pohon di halaman rumah pribadi saja tidak boleh dibuat sesuka hati kalau belum mendapat restu dari pemerintah setempat. Yang terakhir, kesadaran orang Barat terhadap lingkungan hidup yang sudah sangat tinggi mendorong orang-orang Barat dan pemerintahnya untuk mengenakan aturan dan undang-undang lingkungan hidup yang ketat. Sebagai akibatnya, perusahaan-perusaha an tambang Eropa dan Amerika merasa tidak aman dan harus angkat kaki menuju negara-negara miskin di seluruh pelosok bumi termasuk Indonesia. Di wilayah-wilayah pulau terpencil di Indonesia mereka menginvestasikan kapital (=modal) mereka melalui eksploitasi tambang secara relatif aman karena jauh dari perhatian watch dog (=anjing pengawal) lingkungan hidup dunia. Aturan dan undang-undang tentang lingkungan hidup di Indonesia masih longgar. Undang-undang PBB tentang lingkungan hidup belum diterapkan di Indonesia (bdk. makalah Don K. Marut dalam seminar Masalah Tambang di Manggarai, Ledalero 14 Februari 2009). Kesadaran akan lingkungan hidup dari orang-orang desa di wilayah-wilayah terpencil di Indonesia masih rendah. Resistensi (= penolakan) mereka terhadap kaum kapitalis (=pemilik modal besar) yang mengeksploitasi tambang dari tanah mereka juga belum ada. Sebabnya sangat sederhana. Mereka belum bisa resistant (= menentang) terhadap investasi capital dari kaum kapitalis di bidang pertambangan kerena mereka belum melihat dan mengalami sendiri apa artinya kerusakan alam oleh exploitasi tambang.

Sebab yang ketiga adalah orang-orang desa di Manggarai dan di Flores pada umumnya, khusus yang berada di dekat lokasi tambang, sengaja dibohongi. Tampaknya hal ini dilakukan baik oleh para kapitalis/investor asing maupun domestik dalam kerjasama (baca: konspirasi) dengan pemerintah daerah setempat. Ada beberapa gejala yang mengindikasikan (=menunjukkan) hal ini. Pertama, di beberapa tempat di Indonesia konspirasi para kapitalis dengan pemerintah daerah setempat dibuat dengan pengalihan tanah milik rakyat menjadi milik pemerintah, lalu sesudah itu diserahkan kepada kaum kapitalis/perusahaa n tambang. Kedua, selama ini orang-orang desa yang masih lugu dan sederhana sering dibodohi dengan istilah explorasi dan eksploitasi. Di setiap lokasi tambang, para kapitalis sering menyampaikan kepada orang desa setempat bahwa mereka baru sekedar mengadakan eksplorasi (=penjajakan) saja dan bukan eksploitasi (= penggalian). Kalaupun mereka mengambil mineral, maka hal itu hanya untuk sample (=contoh) saja. Tapi dalam kenyataan, mereka sudah menggali tambang selama satu tahun bahkan lebih, dan telah mengangkut mineral tambang dalam jumlah yang besar. Bukankah ini merupakan sebuah pembohongan besar? Kita tidak terlalu yakin kalau pemerintah daerah tidak tahu akan hal-hal teknis ini. Mereka pasti tahu. Sikap mereka yang cenderung diam terhadap eksploitasi tambang yang sangat destruktif mengindikasikan bahwa mereka ikut bermain di dalamnya.

Menurut seorang pemakalah dalam seminar Masalah Tambang yang diselenggarakan Forum Cendekiawan Asal Manggarai (Forcam) di Ledalero 14 Februari 2009, seburuk-buruknya para kapitalis asing, mereka umumnya tetap ingin agar segala sesuatu berjalan menurut hukum. Mereka, misalnya, ingin membuka investasi kapital (=modal) di Indonesia asalkan ada jaminan keamanan (security). Persoalannya adalah bahwa jaminan security yang dimaksudkan para kapitalis asing ini adalah soal legalitas investasi kapital mereka. Yaitu bahwa usaha investasi mereka mesti sah karena mendapat kepastian hukum seperti mendapat lampu hijau dari pemerintah setempat, disetujui masyarakat setempat dan mematuhi undang-undangan lingkungan hidup. Tapi dalam kenyataannya, permintaan kepastian hukum dari para kapitalis asing ditafsir oleh pemerintah Indonesia dengan mendeploikan (=menyebarkan) pasukan keamanan di seluruh wilayah terpencil di Indoneisa yang mempunyai potensi besar untuk exploitasi tambang maupun investasi kapital asing lainnya. Sehingga kalau nanti kaum capitalist asing membuka usaha besar di sebuah daerah dan masyarakat setempat melakukan protest karena, misalnya, investasi kapital itu mempunyai dampak negatifnya atau karena tanah masyarakat setempat tidak bisa diberikan kepada para kapitalis asing dalam jumlah besar karena tanah mereka pada umumnya dimiliki secara komunal (=bersama, kolektif misalnya tanah suku), maka militer kita tampil ke depan untuk membela perusahaan asing dan melawan rakyat. Padahal panggilan kodrati militer adalah untuk membela bangsanya dari segala macam bentuk gangguan dan penjajahan bangsa lain. Kalau militer kita makan (=lawan) lagi rakyat Indonesia , maka dengan melakukan hal ini eksistensi militer kita bertentangan dengan panggilan kodratinya.

Sehubungan dengan issue eksploitasi tambang di NTT yang semakin expansif, berlebihan kah kita untuk menafsirkan motivasi pemaksaan pendirian Korem di Flores dan Timor beberapa tahun belakangan ini ke arah ini? Belum lama ini seorang DPRD di sebuah kabupaten di Timor ditanyai oleh seorang cendekiawan Ledalero kelahiran tanah Timor : “Mengapa pemerintah dan DPR merestui pendirian UNIF (=semacam sub-korem) di Timor, padahal dari segi keamanan rakyat Timor tidak membutuhkannya?” Sang DPR menjawab: “Kalau kita tidak merestuinya, kita diancam pemerintah pusat untuk tidak dikucurkan dana pembangunan.” Ya ampun! Mengapa pembangunan bangsa kita harus dibeli dan dibayar dengan memaksakan kehadiran militer di setiap pelosok wilayah RI? Ada apa sebenarnya di balik semua permainan ini? Siapa sebetulnya musuh yang kita sedang mau perangi?

Terhadap pertanyaan ini, secara klasik kita selalu diberi jawaban: Kita siap diri untuk hadapi ancaman Australia dan Timor Leste. Tapi apakah jawaban ini bisa diterima akal sehat? Sudah 60 tahun lebih kita merdeka, kita belum pernah dapat gertakan militer dari Australia . Australia selama ini malah selalu berusaha membantu Indoneisa dalam banyak hal. Lalu kemungkinan ada ancaman dari Timor Leste? Kalau Timor Leste nakal terhadap Indonesia , Ia cukup diberi pelajaran dengan kayu kudung. Ini barangkali terlalu ekstrim. Tapi sarkasme ini hanya mau tunjukkan bahwa kemungkinan gangguan dari negara sekecil Timor Leste tidak perlu diladeni dengan mendirikan korem yang hebat-hebat. Korem kita yang sudah ada di Kupang sudah lebih dari cukup. Kalau begitu, siapa sebenarnya musuh yang kita mau lawan? Jangan-jangan rakyat desa di Flores, Timor dan Sumba yang di bawah kebun, sawah dan kampung kediaman mereka tersembunyi harta karun emas, mangan dan tembaga yang sedamg diincar para kapitalis Barat. Kalau hal ini yang menjadi motivasi pendirian korem kita, maka betapa kualatnya bangsa kita. Bayangkan! Our military stands against its own people in defending the western capitalists stealing the treasures hidden in the womb of their land =Militer kita bangkit berdiri melawan rakyat bangsanya sendiri untuk membela kaum kapitalis/orang kaya Eropa dan Amerika yang mau mencuri harta tersembunyi dalam rahim tanah mereka)!

Oleh karena dampak destruktifnya yang sangat besar, maka investasi tambang di daerah kecil Manggarai dan di pulau kecil Flores pada umumnya mesti ditolak tanpa syarat. Orang-orang desa di Manggarai dan Flores , Timor , Sumba pada umumnya mesti kompak menolak tambang. Tapi agar mereka mempunyai sikap tolak tambang, mereka mesti diberi penyadaran tentang hakekat tambang yang sangat destruktif seperti limbah kotor, racun toxic dan penghancuran terhadap sumber daya alam. Orang desa di Manggarai atau Flores pada umumnya mesti dibantu untuk melihat bahaya-bahaya ini dan hal ini bakal menjadi sebuah tugas yang berat. Karena orang-orang desa di Manggarai pada umumnya masih innocent (= tak tahu menahu) terhadap dampak negatif dari industri tambang. Mareka hanya terhipnotis (baca saja: tergiur) karena diberi hadiah uang dua tiga juta rupiah, dibuka jalan raya setapak dan diberi jenset listrik.

Selain itu, setiap suku/kampung di Manggarai memiliki hak otonom atas sebidang tanah garapan dengan gendang sebagai simbol autoritas kepemilikannya. Di banyak tempat, bahkan di dalam satu kampung ada dua atau tiga gendang. Itu berarti di dalam satu kampung kecil bisa ada 3 suku yang masing-masing independent (= tak saling bergantung) dan autonom (= berdiri sendiri) dalam memiliki dan mengatur sebidang tanah pertanian. Sebab itu, bisa saja terjadi bahwa berhadapan dengan issue tawaran tambang, sebuah kampung kecil bisa tidak memiliki kesatuan sikap. Satu gendang/suku setuju dan beri tanah untuk tambang, sedangkan yang lain menolak. Situasi ini bisa dimaanfaatkan oleh para kapitalis untuk mengadu domba. Mereka bisa tiba-tiba dibuat rusuh. Dengan alasan untuk mengamankan situasi, militer masuk dan singkirkan mereka dari lokasi. Setelah situasi pulih, rakyat tidak diisinkan? masuk kembali ke tempat mereka semula dengan alasan belum aman betul. Padahal dalam kenyataannya, tanah sengketaan mereka sudah dipatok para kapitalis. Kepada semua yang masih mempunyai hati nurani, mari kita bersatu menyelamatkan orang-orang desa yang masih lugu dari cengkraman para kapitalis dalam diri perusahaan tambang baik domestik maupun asing.



Penulis adala dosen tetap pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere, Flores. Note: Dimuat di Flores Pos tgl 24 dan 26 Februari 2009



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

trims telah berbagi apapun, mungkin saya yang salah dan anda yang lebih mengerti, jangan sungkan untuk mengkritik saya...oke !

Greenpeace SEA-Indonesia
Racikan Obat Herbal
CAMPAKA KAROMAH Khusus Untuk Direbus/Godogan, Insyaallah Dapat Menyembuhkan Penyakit Yang Anda Derita.

Formulator : Deddy kermit madjmoe
Hotline: 081324300415
Jl. Buyut Roda Gg.Polos No.84 Ciledug Cirebon Jawa Barat 45188

Pasien TIDAK MAMPU dan KURANG MAMPU Jangan TAKUT Untuk Berobat Pada Kami....!!!! Kami Tetap akan melayaninya.