Hari Nelayan 2009: Mengagendakan Keadilan Perikanan untuk Sejahterakan Nelayan
on Tuesday, 07 April 2009
Views : 3
Siaran Pers KIARA - KPNNI - JATAM, 6 April 2009
Jakarta, 6 April 2009. TIGA pekan masa kampanye parpol peserta Pemilu 2009 usai sudah. Hiruk-pikuknya sebatas hiburan dan mobilisasi massa tanpa hendak mengarusutamakan nelayan tradisional sebagai bagian penting dalam program pembangunan kelautan yang ditawarkan selama masa kampanye. Kalaupun ada, hanya sebatas lipstik politik tanpa fakta.
“Bertepatan dengan Hari Nelayan Indonesia yang jatuh pada tanggal 6 April 2009, adalah saat yang tepat bagi seluruh komponen bangsa, termasuk partai politik peserta pemilu 2009 untuk mengejawantahkan tindakan politiknya yang mendukung nelayan tradisional sebagai pelaku utama yang berhak atas kehidupan yang lebih layak,” buka M. Riza Damanik, Sekjen KIARA di Sekretariat Nasional KIARA, Jakarta.
Pada tahun 2008, lebih dari 6 juta kepala keluarga (KK) nelayan dan petambak tradisional berkontribusi besar dalam mendongkrak produk perikanan nasional sebesar 10 juta ton. Ironisnya, kehidupan mereka justru makin sengsara dan terlilit hutang. Apalagi saat cuaca buruk berkepanjangan.
“Situasi nelayan tradisional yang terhimpit krisis ini akibat dari kebijakan pemerintah yang lebih berat kepada pengusaha dan pemilik modal. Terlampau banyak kebijakan kontroversial negara yang meminggirkan partisipasi aktif nelayan tradisional,” jelas Dedy Ramanta, Koordinator KPNNI.
Diskriminasi kebijakan ini, tambah Riza, menempatkan nelayan tradisional pada situasi yang tak setara. Mereka harus berhadapan dengan dominasi industri perikanan skala besar yang bertumpu pada investasi swasta dan penanaman modal asing (PMA). Akibatnya, kehidupan 90 persen dari total nelayan tradisional di Indonesia sulit lepas dari jerat kemiskinan.
Dalam UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP-PPK), misalnya, pemerintah dan DPR RI justru sengaja menjual pesisir nusantara dan membatasi akses nelayan tradisional melalui Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3). Padahal, 60 persen penduduk Indonesia tinggal dan sangat tergantung pada sumber daya laut dan perikanan nasional di 8.090 desa pesisir. Di sinilah letak penolakan KPNNI atas UU No. 27 Tahun 2007.
Persoalan lain yang tak kalah pentingnya adalah kian maraknya kejahatan perikanan dan pencemaran lingkungan di wilayah perairan Indonesia. Lembamnya upaya penegakan hukum di laut dan minimnya upaya pemerintah untuk memberantasnya, berdampak pada makin memburuknya kualitas perairan Indonesia tiap tahunnya. Persoalan lain yang tak kalah penting adalah kian maraknya kejahatan perikanan dan pencemaran lingkungan di wilayah perairan Indonesia. Lembamnya upaya penegakan hukum di laut dan minimnya upaya pemerintah untuk memberantasnya, berdampak pada memburuknya kualitas perairan Indonesia tiap tahunnya. “Pencemaran laut disebabkan pembuangan limbah tambang, minyak, dan gas. Di perairan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta, misalnya, ditemukan tumpahan minyak mentah (tarball) hampir tiap tahun. Laut tercemar tak hanya menggagalkan panen karamba apung, tapi juga berakibat makin sukarnya nelayan tradisional menangkap ikan di sekitar pesisir,” tegas Siti Maimunah, Koordinator JATAM.
Olehnya, “sudah saatnya segenap komponen bangsa, khususnya pemerintahan SBY yang tinggal beberapa bulan lagi, menggerakkan keadilan perikanan sebagai basis pembangunan kelautan nasional, bukan pembangunan berbasis daratan yang lebih bertumpu pada pengembangan industri tanpa mendorong penguatan dan kemandirian nelayan,” tutur Riza.
KIARA menyebutkan bahwa keadilan perikanan bisa diwujudkan melalui: pertama, negara mengakui dan melindungi wilayah perairan nelayan tradisional; kedua, negara memenuhi hak-hak nelayan tradisional sebagaimana diatur dalam konstitusi (hak untuk menangkap ikan di wilayah perairan tradisional, hak untuk mempraktekkan kearifan tradisional dalam mengelola sumber daya laut dan perikanan nasional, dan hak untuk memperoleh asuransi keselamatan laut); ketiga, melakukan pemulihan atas fasilitas utama nelayan tradisional dan mengakui keikutsertaan perempuan nelayan dalam kegiatan perikanan melalui undang-undang; dan keempat, negara harus menjamin keberlanjutan sumber daya laut dan perikanan nasional demi sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, khususnya nelayan tradisional dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, melalui praktek kegiatan produksi, distribusi, dan konsumsi produk perikanan nasional secara adil dan merata.
Kontak:
M. Riza Damanik, Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA): 0818.773.515
Dedy Ramanta, Koordinator Komite Persiapan Organisasi Nelayan Nasional Indonesia (KPNNI): 0813.1491.9254
Siti Maimunah, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)
: 0811.920.462
------------------------------------------------------------------------------------------
Nelayan, Pahlawan Protein yang Terlupa & Tergilas
on Monday, 06 April 2009
Views : 42
Editorial JATAM
Hari Nelayan Indonesia - Enam April, kali ini sepi. Seluruh komponen bangsa ‘tersibukkan’ perayaan Pemilihan Umum, yang sebenarnya tidak lebih istimewa, semacam rutinitas lima tahunan, tanpa perubahan. Bagai potret nasib nelayan, tak berubah. Terlupa dan tergilas. Industri tambang berkontribusi terhadap perusakan perairan dan perikanan, sebuah fakta yang layak direnungkan di hari Nelayan.
Sejumlah Koran yang saban hari memenuhi dengan pemberitaan seputar kampanye dan Situ Gintung—lebih tepatnya kampanye di Situ Gintung, juga melupakan hari nelayan. Tak ada berita tentang perayaan hari nelayan, tak ada profil nelayan luar biasa, yang saban hari mempertaruhkan nyawa, demi ikan segar yang terhidang di piring-piring penduduk perkotaan miskin hingga kaum the have. Bahkan jika anda berkunjung ke www.dkp.go.id, situs Departemen Kelautan dan Perikanan RI (DKP) tak ada satu kalimat pun menyinggung hari Nelayan. Ucapan selamat pun tak tampak.
Ada juga ajang internasional terkait kelautan bulan depan. Tapi, pagelaran WOC (World Ocean Conference) dan CTI (Coral Triangle Initiative) pada 11-15 Mei di Manado, Sulawesi Utara ini, belum menempatkan kepentingan Nelayan di atas segalanya. Dilihat dari agenda yang dibahas, pertemuan itu terkesan melindungi kepentingan negara-negara dan lembaga donor. Persoalan pokok lautan yang menjadi muara sedimentasi dan limbah industri, ‘surga’ bagi pencurian ikan oleh kapal-kapal asing, meluasnya degradasi ekosistem pesisir akibat industrialisasi pertambakan udang dan reklamasi pantai, serta dampak perubahan iklim yang kian terasa, terpinggir hasrat ekonomis sesaat. Inilah awal keraguan ajang internasional ini mampu menyelesaikan substansi persoalan kelautan dunia.
Fakta ini, isyarat betapa nelayan Indonesia akan terus tergilas dan terlupa. Sejumlah nelayan kita juga tertangkap di perairan Australia bernasib mengenaskan. Kapal mereka dibakar di lautan, mereka diproses pengadilan, sebelum akhirnya dicampakkan di bandara Kupang. Tak satupun aparat pemerintah menyambut kedatangan nelayan di bandara. Sepanjang 2007 sebanyak 980 nelayan yang merupakan awak 119 kapal ikan Indonesia ditangkap. Bahkan tahun sebelumnya, sekitar 2.500 nelayan dan 365 kapal ditangkap otoritas Australia.
Sungguh berbeda dengan mudahnya hilir mudik kapal asing di perairan Indonesia. Bahkan, sejumlah perusahaan perikanan asing mengkapling lautan sedemikian bebasnya di sejumlah perairan, seperti perairan Bali Utara, perairan Sapeken dan Kangaian Madura. Dan sejumlah perairan pesisir Sumatra dan Kalimantan. Mereka bahkan menggunakan bahan peledak, pukat harimau, dan sejenis alat tangkap yang kerap mengalahkan nelayan kita.
Perairan Indonesia bagai surga bagi nelayan asing dan medan perang bagi nelayan tradisional, mereka terkepung dari berbagai penjuru. Di samudera lepas kalah oleh kecepatan nelayan asing dengan peralatan canggihnya. Di pesisir pantai hingga 12 mil, mereka disibukkan gangguan-gangguan operasi perusahaan tambang baik skala kecil dan besar.
Pembuangan limbah PT Newmont Nusa Tenggara di teluk Senunu Sumbawa Nusa Tenggara Barat, membuat nelayan pesisir Sumbawa hingga Lombok Timur mengeluh pendapatannya menurun drastis. Ikan makin sulit ditangkap, sejak 120 ribu ton limbah tailing dibuang ke laut. Di Pulau Sumbawa, mulai pantai Sagena, Labuhan Lalar, Benete, Rantung, Snutuk hingga Tolanang, para nelayan mengeluhkan menurunnya hasil tangkap Cumi dan Tongkol, sejak tailing Newmont dibuang. Sementara di pulau Lombok – berdekatan dengan lokasi pembuangan tailing, nelayan Tanjung luar dan pulau Maringik melaporkan hal yang sama.
Pada Juni 2005, di sekitar tambang Newmont lainnya, Teluk Buyat Minahasa Sulawesi Utara, ada sekitar 266 warga yang pindah dari kampungnya ke Duminanga. Mereka berulang-ulang melaporkan menurunnya penghasilan hingga gangguan kesehatan sejak PT Newmont Minahasa Raya membuang tailingnya di Teluk Buyat. Kini, sekitar 5 juta ton lebih limbah tailing di sana.
Sementara PT Freeport Indonesia (FI), pada 2005 saja membuang tailingnya lebih dari 220 ribu ton perhari, telah merusak wilayah produktif berupa hutan, sungai, dan lahan basah. Tailing telah merusak hutan bakau seluas 21 – 63 km2. Bahkan sebagain pesisir kawasan Taman nasional Lorenz, situs warisan dunia ini terkena dampak penimbunan tailing PT FI. Hasil kajian ERA tahun 2002 menunjukkan sekitar 250 juta ton tailing dialirkan ke muara Ajkwa masuk ke laut Arafura.
Di Bengkulu lain lagi. Nelayan yang tinggal disekitar Desa Penago Baru dan Rawa Indah, Kecamatan Ilir Talo, Kabupaten Seluma, kini terancam pengerukan pasir besi Wealthy Ltd. asal Hongkong yang mendapatkan Kuasa Pertambangan (KP) dari Bupati Seluma No 35 Tahun 2005 seluas 3.645 ha, meliputi kawasan pemukiman hingga laut.
Akibatnya kawasan pantai yang dulu rimbun hijau hutan bakau, seluas 10 ha, juga berstatus kawasan Cagar Alam Pasar Talo, kini nyaris ludes. Sepanjang garis pantai, dalam tiga tahun terakhir terancam abrasi akut. Angin besar kerap menerpa pemukiman yang hanya berjarak 50 m dari bibir pantai. Mayoritas masyarakat yang semula menggantungkan hidupnya dari hasil laut kini gigit jari akibat perusahaan langsung menggelontorkan limbahnya ke laut lepas.
Perusahaan baru juga mengancam. Salah satunya, tambang emas PT Indo Multi Niaga di pesisir selatan Banyuwangi Jawa Timur. Perusahaan berencana menggunakan air Sungai Kali Baru untuk proses ekstraksi emas hingga 2,38 juta liter per hari dan membuang limbah tailing sebesar 2.361 ton/hari. Jika ini diteruskan, saat perusahaan tutup akan ada 3,4 juta ton tailing di laut Pancer dan sekitarnya. Limbah itu beresiko membuat industri perikanan Banyuwangi gulung tikar. Di Muncar saja, ada 30-an pabrik pengalengan dan penepungan ikan, disusul ribuan nelayan mulai dari Pancer, Pondok dadap, Rajegwesi, Lampon, Muncar, bahkan hingga Bali, Sumenep, Prigi, dan Jember.
Daftar pencemaran laut oleh industri minyak tak kalah panjang. Pada 1994 tabrakan Kapal Tangker MV. Bandar Ayu dengan Kapal Ikan, Robeknya Tangker MT King Fisher (1999) Tenggelemnya HM HCC (2000) minyak mentah hasil eksplorasi Premiere Oil yang sudah beroperasi sejak tahun 1998 tumpah menghadirkan kerugian luar biasa bagi nelayan sekitar Tuban, Gresik, dan Lamongan (2002).
Tangkjer MT LL dan MT Lucky Lady menabrak karang (2004) dan sejumlah kerugian nelayan Madura saat operasi pertambangan Santos Oyong Australia di Sampang dan Gili Raje Sumenep menghancurkan 563 rumpon nelayan.
Tragisnya, menanggapi sederet tragedi di atas, pemerintah RI terkesan acuh. Mereka malah keluar dengan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP-PPK), yang justru akan membatasi akses nelayan tradisional. Padahal, 60 persen penduduk Indonesia tinggal dan sangat tergantung sumber daya laut dan perikanan nasional di 8.090 desa pesisir. Mereka pelaku utama ekonomi Indonesia, yang terus didorong memenuhi ambisi ekspor non migas 15-20% pada 2009. Bahkan mereka terbukti berkontribusi besar dalam mendongkrak produk perikanan nasional sebesar 10 juta ton pertahun.
Mestinya kita berterimaksih kepada enam juta nelayan dan petambak tradisional Indonesia. Merekalah Pahlawan protein, yang menyediakan pemenuhan protein utama bagi penduduk negeri kepulauan ini. [ ]
---------------------------------------------------------------------------------------------
WOC dan CTI Menenggelamkan Perkara Perubahan Iklim
on Friday, 03 April 2009
Views : 118
Siaran Pers KIARA - WALHI - JATAM - Institut Hijau Indonesia - COMMIT - KAU, 3 April 2009.
Inisiatif Pemerintah Indonesia menyelenggarakan WOC (World Ocean Conference) dan CTI (Coral Triangle Initiative) pada tanggal 11-15 Mei di Manado, Sulawesi Utara, amat terkesan melindungi kepentingan negara-negara dan lembaga donor. Persoalan pokok lautan yang menjadi muara sedimentasi dan limbah industri, ‘surga’ bagi pencurian ikan oleh kapal-kapal asing, meluasnya degradasi ekosistem pesisir akibat industrialisasi pertambakan udang dan reklamasi pantai, serta dampak perubahan iklim yang kian terasa, terpinggir oleh hasrat ekonomis sesaat. Inilah awal keraguan WOC dan CTI mampu menyelesaikan substansi persoalan kelautan dunia.
Dalam 15 tahun terakhir, setidaknya 10 negara menjadi aktor utama praktek kejahatan perikanan di perairan Indonesia. Maraknya kejahatan perikanan ini akan berdampak pada ketidakberlanjutan sumber daya ikan. Bahkan, bisa berujung pada krisis.
Di samping itu, perairan Indonesia juga menjadi ‘ladang subur’ bagi pembuangan limbah beracun industri tambang, minyak, dan gas. Dari Freeport dan Newmont, dua korporasi tambang emas raksasa Amerika Serikat, diketahui bahwa setiap harinya dibuang 340 ribu ton tailing. Demikian pula dengan limbah pengeboran dan pengangkutan minyak bumi ilegal. Di perairan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta, ditemukan hampir tiap tahun tumpahan minyak mentah (tarball).
Hal penting yang patut digarisbawahi, bahwa meluasnya degradasi ekosistem pesisir diakibatkan oleh industrialisasi pertambakan udang dan reklamasi pantai. Di balik itu, peran lembaga finansial global, seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB), inilah yang turut mendorong percepatan kerusakan ekosistem pesisir. Bentuk peran mereka adalah mendukung pelbagai upaya intensifikasi pertambakan pada era 1980-an. Secara bertahap, hutan mangrove di Pulau Sulawesi dan Jawa telah dikonversi untuk pertambakan dan mengalami kerusakan teramat parah. Dari sekitar 4,2 juta hektar tambak pada tahun 1982, kini tak kurang dari 1,9 juta hektar dalam 3 tahun terakhir. Apalagi, sekitar 50% produksi udang Indonesia justru dimonopoli oleh satu korporasi trans-nasional, yakni Charoen Phokpand.
Pun demikian dengan reklamasi pantai yang dilakukan untuk membangun kawasan perniagaan dan permukiman mewah. Dari 4 proyek reklamasi pantai yang dilakukan, lebih dari 5 ribu ha ekosistem pesisir baik hutan mangrove, lamun, maupun terumbu karang terancam keberadaannya. Kini, lebih dari 10 proyek reklamasi pantai dilakukan secara masif di seluruh Indonesia. Ekosistem pesisir pun kian terancam dan teridentifikasi mengalami risiko kebencanaan.
Pada perkembangannya, sekitar 147 juta masyarakat pesisir, termasuk di antaranya 20 juta nelayan Indonesia hidup akrab dengan bencana dalam keseharian. Jutaan nelayan harus tergusur dari tempat hidupnya akibat perluasan kegiatan reklamasi dan industri, pencemaran laut, hingga proyek-proyek konservasi yang terbukti anti rakyat. Dalam hal keselamatan di laut, sepanjang Desember 2008-Maret 2009 saja, sedikitnya 43 orang meninggal dunia dan 386 orang dinyatakan hilang akibat gelombang laut yang kian sulit diperhitungkan.
Penyelenggaraan WOC, yang agenda utamanya adalah CTI dan Manado Ocean Declaration (MOD), diragukan akan mampu menjawab permasalahan di atas. Agenda itu tak menagih tanggung jawab negara-negara dan lembaga-lembaga finansial yang terlibat dalam aktivitas memporak-porandakan laut Indonesia. Dapat dipastikan, upaya mengoptimalkan peran laut dalam menangani masalah perubahan iklim, yang menjadi tema utama WOC mustahil dapat terwujud.
Keterlibatan Amerika Serikat, Australia, Bank Pembangunan Asia (ADB), dan Bank Dunia, dalam inisiatif ini lebih cenderung bertujuan mengamankan kepentingan mereka untuk terus mencemari laut Indonesia, menguras sumber daya laut dan perikanannya, hingga meminggirkan masyarakat pesisir dan nelayan. Padahal, dana sebesar Rp44 miliar yang diambil dari APBN dan APBN Sulawesi Utara sudah digunakan untuk membiayai pelbagai persiapan jelang WOC. Di sela-sela itu, janji-janji palsu negara-negara dan lembaga donor belum terealisasi hingga kini.
Pemerintah harus menghentikan model diplomasi yang berisiko merugikan negara seperti ini. Olehnya, KIARA, WALHI, JATAM, Institut Hijau Indonesia, COMMIT, dan KAU menuntut:
Pertama, Pemerintah harus segera menyiapkan langkah-langkah diplomasi yang cerdas. Upaya ini diperlukan untuk menuntut dihentikannya praktek kejahatan perikanan di perairan Indonesia, khususnya Thailand, Filipina, Taiwan, Korea, Panama, Cina, Vietnam, Malaysia, Kamboja, dan Myanmar. Selain itu, Indonesia juga patut menyuarakan pentingnya penerapan kebijakan anti IUU Fishing secara regional.
Kedua, semestinya, bersama negara-negara anggota CTI, Indonesia segera memulai pembicaraan dan negosiasi guna mengurangi produksi bahan tambang, sekaligus bersama-sama mendesak negara-negara asal industri tambang maupun negara-negara tujuan ekspor tambang, seperti Amerika Serikat dan Australia, agar segera mempraktekkan iktikad pertanggungjawaban untuk memulihkan kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup di kawasan CT-6.
Ketiga, Pemerintah Indonesia dan negara-negara anggota CTI harus mendorong proses perundingan yang lebih adil berbasis penyelesaian akar masalah kelautan dan perubahan iklim, dengan segera keluar dari skema bisnis green washing Amerika Serikat dan Australia, dengan mendorong kedua negara tersebut untuk menurunkan emisi domestik secara signifikan sebesar 40% sebelum tahun 2020.
Keempat, Pemerintah Indonesia dan negara-negara anggota CTI harus menerapkan kebijakan domestik yang memperkuat perlindungan dan pemenuhan hak-hak nelayan tradisional dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Kelima, Pemerintah diminta untuk tidak menggunakan dana utang luar negeri untuk membiayai program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, termasuk dalam rangkaian proyek CTI.
Catatan Redaksi:
WOC adalah pertemuan kelautan dunia yang akan dihadiri oleh sekitar 120 negara. Dalam konferensi kelautan berskala dunia ini, akan dibicarakan mengenai bagaimana laut berperan dalam mengatasi persoalan perubahan iklim. WOC memiliki beberapa target momentum khusus yang ingin dicapai. Selain menuntaskan perencanaan CTI (Coral Triangle Initiatif), juga diharapkan mampu bersepakat terkait MOD (Manado Ocean Declaration).
CTI, atau Coral Triangle Initiative, Wilayah CT (Coral Triangle) merupakan kawasan berbentuk segitiga kaya sumber daya alam seluas 75.000 km2 melintasi enam negara atau disebut CT-6: Malaysia, Indonesia, Filipina, Kepulauan Solomon, Timor Leste, dan Papua Nugini. Kawasan ini diyakini mengandung lebih dari 600 spesies terumbu karang atau 53% dari terumbu karang dunia, 3.000 spesies ikan, yang dipagari hutan mangrove terluas di dunia; dan tempat pemijahan tuna terbesar di dunia. Diperkirakan, perputaran ekonomi kawasan ini menghasilkan keuntungan senilai US$ 2,3 miliar per tahun.
Kontak:
M. Riza Damanik (Sekjen KIARA): 0818773515
Chalid Muhammad (Institut Hijau Indonesia): 0811847163
Siti Maemunah (JATAM): 0811920462
M. Teguh Surya (WALHI): 081371894452
Dani Setiawan (KAU): 08129671744
Muhammad Karim (COMMIT): 08121888291
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
trims telah berbagi apapun, mungkin saya yang salah dan anda yang lebih mengerti, jangan sungkan untuk mengkritik saya...oke !