06 September 2009

Kebijakan Keruk Dari Presiden Ke Presiden

Gali-Gali JATAM Volume 3, Juli 2009

Presiden Suharto memulai kekuasannya dengan mengeluarkan kebijakan yang justru ‘mengobral SDA’ Indonesia. Melalui UU No. 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing dan UU Pokok No 11 Tahun 1967 Tentang Pertambangan Umum Pemerintah Orde Baru telah menghancurkan segala usaha proteksi dan pencadangan tadi. Bahkan dimasa itu, Suharto menerapkan “Tax Holiday” yaitu sebuah kebijakan untuk meniadakan pajak bagi investor asing yang bersedia menanamkan modalnya di Indonesia. Inilah awal dari kehancuran ekologi jutaan hektar hutan lindung yang sejatinya tidak boleh ditambang oleh jenis usaha apapun.

***

Upaya untuk melakukan pencadangan dan proteksi Sumber Daya Alam (SDA) yang sejak lama dilakukan Bung Karno (BK) melalui penerbitan Undang-undang (UU) No. 44 Prp Tahun 1960 Tentang Pertambangan Minyak dan UU No. 37 Prp Tahun 1960 Tentang Pertambangan menjadi karut marut, pasca kudeta sistemik yang dilakukan militer pada 1966.

Presiden Suharto memulai kekuasannya dengan mengeluarkan kebijakan yang justru ‘mengobral SDA’ Indonesia. Melalui UU No. 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing dan UU Pokok No 11 Tahun 1967 Tentang Pertambangan Umum Pemerintah Orde Baru telah menghancurkan segala usaha proteksi dan pencadangan tadi. Bahkan dimasa itu, Suharto menerapkan “Tax Holiday” yaitu sebuah kebijakan untuk meniadakan pajak bagi investor asing yang bersedia menanamkan modalnya di Indonesia. Inilah awal dari kehancuran ekologi jutaan hektar hutan lindung yang sejatinya tidak boleh ditambang oleh jenis usaha apapun.

Obral murah SDA yang disegerakan UU No 11 Tahun 1967 disempurnakan melalui penetapan UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan yang tidak mengatur larangan untuk melakukan pertambangan di kawasan hutan, khususnya hutan lindung.


UU ini hanya membagi hutan berdasarkan pemilikanya (Hutan Negara dan Hutan Milik) dan hutan berdasarkan fungsinya (Hutan Lindung, Hutan Produksi dan Hutan Suaka Alam). Pasal 3 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1967 menyebutkan: “Hutan Lindung ialah kawasan hutan yang karena keadaan sifat alamnya diperuntukan guna mengatur tata air, pencegahan bencana banjir dan erosi serta pemeliharaan kesuburan tanah.” Inilah kelemahan awal yang kemudian disempurnakan melalui perumusan kebijakan baru UU No. 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan.

Walaupun UU di atas berupaya melakukan perubahan-perubahan tetapi dengan tetap menyisakan bagian yang ‘rusak’ dari UU Kehutanan yang lama serta praktik pengelolaan hutan yang sudah kompleks. Beberapa upaya yang dilakukan melalui UU Kehutanan baru adalah pengakuan terhadap hutan adat tetapi dengan rumusan yang kabur dan lemah. Di samping itu, UU Kehutanan baru merumuskan defenisi hutan lindung lebih luas dan melarang kegiatan pertambangan terbuka di dalam kawasan hutan lindung. Sebagaimana klausul yang terdapat dalam Pasal 1 huruf f yang menyebutkan: Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Selanjutnya di dalam Pasal 38 ayat 4 disebutkan: Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka Larangan pertambangan terbuka di dalam kawasan hutan lindung yang diamanatkan oleh UU No. 41 Tahun 1999 menurut pemerintah menjadi masalah karena secara faktual sudah ada banyak sekali perusahaan yang melakukan kegiatan pertambangan di dalam kawasan lindung dengan pola pertambangan terbuka atau eksploitasi sebelum pemberlakukan UU ini. Aturan peralihan UU ini tidak memuat aturan transisi perusahaan-perusahaan pertambangan. Sehingga dianggap tidak ada kepastian status kegiatan pertambangan yang sedang mengeksploitasi sumberdaya hutan Indonesia. Ketika perusahaan pertambangan besar di dalam kawasan hutan mengancam akan membawa perkara larangan pertambangan di dalam kawasan hutan lindung ke Pengadilan Arbitrase Internasional, Pemerintahan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 (Perpu No. 1 Tahun 2004) yang menambahkan aturan peralihan dari UU No. 41/1999.

Isi dari Perpu itu adalah menambahkan Pasal 83 A untuk memberikan jaminan kepastian hukum pada perusahaan pertambangan yang sedang mengeksploitasi hutan Indonesia. Pasal 83A tersebut berbunyi: Semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian dimaksud. Beberapa perusahaan yang dimaksud tertuang secara formal di dalam Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Daftar Perizinan Atau Perjanjian Di Bidang Pertambangan Yang Berada Di Kawasan Hutan Yang Telah Ditandatangani Sebelum Berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Yang Dapat Melanjutkan Kegiatannya Sampai Berakhirnya Perizinan Atau Perjanjiannya masing-masing: anehnya Keputusan Presiden itu justru dikeluarkan sebelum Perpu No. 1 Tahun 2004 dibahas untuk dijadikan Undang-undang. Pada intinya Keppres di atas memberikan penetapan kepada 13 (tiga belas) izin atau perjanjian di bidang pertambangan yang telah ada sebelum berlakunya UU No.41 tahun 1999.

Masalah kebijakan pertambangan semakin kompleks ketika Pemerintahan kemudian menerbitkan dua UU Penting yang semakin memuluskan jalan peruskan hutan oleh perusahaan pertambangan. Kedua UU tersebut adalah UU No. 19 tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-undang dan UU No 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Asing yang memberikan ijin investor asing hingga 95 tahun atau ”lebih kejam” dari Agraris Wett yang di terapkan dijaman penjajahan Belanda yang hanya memberikan ijin hingga 75 tahun.

Melihat banyaknya kejanggalan dari kelahiran UU No. 19 Tahun 2004, kalangan masyarakat yang terdiri dari aktivis lingkungan, mahasiswa pencinta alam dan individu masyarakat yang berada di dalam kawasan pertambangan dalam kawasan hutan mengajukan permohonan pengujian UU No. 19 Tahun 2004 (judicial review) kepada Mahkamah Konstitusi agar UU tersebut dinyatakan tidak berlaku dan dibatalkan. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 003/PUU-III/2005 didapatkan hal-hal sebagai berikut.

Pertama, Pemohon perkara pengujian UU No. 19 Tahun 2004 terdiri dari 11 (sebelas) lembaga swadaya masyarakat yang berbentuk badan hukum yang bergerak atas dasar kepedulian terhadap lingkungan hidup dan penghormatan, pemajuan, perlindungan, serta penegakan hukum dan keadilan, demokrasi, serta hak asasi manusia serta 81 (delapan puluh satu) orang Warga Negara Indonesia (WNI) sebagai perseorangan yang meliputi para warga masyarakat yang tinggal di lokasi beroperasinya 13 (tiga belas) perusahaan pertambangan di hutan lindung. Berdasarkan kualifikasi pemohon menurut Pasal 51 UU MK, maka pemohon terdiri dari:
• Perorangan warga negara Indonesia; dan
• Badan hukum privat

Kedua, tuntutan (Petitum) yang diajukan pemohon adalah agar MK menyatakan bahwa UU No. 19 Tahun 2004 bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak berlaku lagi. Menanggapi permohonan tersebut MK justru mengemukakan pertimbangan mengenai pokok perkara dengan beberapa alasan:
• Pasal 83A dalam UU No. 19/2004 merupakan norma umum abstrak yang termasuk norma ketentuan peralihan, bukan norma individual konkrit berupa penetapan;
• Pasal 83A sifatnya sementara sebagaimana dirumuskan dalam frasa “sampai berakhirnya izin atau perjanjian dimaksud”;
• Pemerintah harus konsisten dan memiliki ukuran-ukuran yang obyektif dalam menentukan apakah suatu kawasan hutan merupakan kawasan hutan lindung atau bukan;
• Harus ada penyesuaian dari pelaku pertambangan terhadap UU No. 41/1999;
• 6 (enam) perusahaan yang masih dalam tahap studi kelayakan dan tahap eksplorasi, ketika nantinya memasuki tahap eksploitasi harus tunduk pada ketentuan Pasal 38 ayat (4) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sepanjang antara izin eksplorasi dan eksploitasi tidak merupakan satu kesatuan;
• Secara substansial UU No. 19/2004 tidaklah inkonstitusional sepanjang dalam pelaksanaannya izin-izin atau perjanjian-perjanjian yang telah ada sebelum berlakunya UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyesuaikan dengan undang-undang a quo;

Melalui pertimbangan di atas MK mengeluarkan Amar putusan terhadap pengujian UU No. 19 Tahun 2004 adalah Menolak Pemohonan pemohon. Sehingga UU No. 19 Tahun 2004 masih berlaku sampai saat ini. Kegagalan menyelamatkan hutan (lindung) dari kegiatan pertambangan yang destruktif melalui MK membuat semakin sempit upaya yang dapat dilakukan. Mengingat MK seharusnya menjadi tempat mengadu terakhir atas pelanggaran hak-hak masyarakat yang konstitusional.




Selang empat tahun kemudian tepatnya pada tanggal 22 Februari 2008 pemerintahan SBY-JK kembali mengeluarkan kebijakan yang sangat bertentangan dengan semangat UUD 1945. kebijakan tersebut adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 2 Tahun 2008 yang mengatur Tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan Yang Berlaku Pada Departemen Kehutanan. Melalui PP ini pemerintahan SBY-JK telah memberi keleluasaan kepada pemilik modal untuk membabat hutan lindung dan hutan produksi menjadi kawasan tambang dan atau usaha lain, hanya dengan membayar sewa Rp. 300 setiap meternya. PP ini menghapus fungsi lindung kawasan hutan menjadi fungsi ekonomi sesaat. Padahal, laju kerusakan hutan sepanjang 2005-2006 saja mencapai 2,76 juta hektar (ha). Belum lagi ratusan bencana banjir dan longsor sepanjang 2000 -2006 (Jurnal tanah Air: 2007). Tanpa memperdulikan laju deforestasi di atas, Presiden, Mentri Kehutanan MS Kaban, Mentri Sekretaris Negara Hattarajasa, dan Kepala Badan Planologi Kehutanan Yeti Rusli bahkan mengeluarkan beberapa stetemen yang seoalah menjadi alasan logis kemunculan PP tersebut.

Menanggapi pernyataan tersebut, kalangan NGO (Non Government Organitation) seperti Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Greennomic, dan lain-lain melakukan penolakan besar-besaran terhadap diberlakukannya PP tersebut. Bahkan lima pimpinan pendidikan tinggi kehutanan di Indonesia masing-masing; Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Gajah Mada (UGM), Universitas Mulawarman (Unmul), Universitas Hasanuddin (Unhas) dan Universitas Lampung (Unila) mengeluarkan sikap menolak. Penolakan terhadap PP ini merupakan kelanjutan dari penolakan sebelumnya atas pengusahaan di Hutan Lindung yang didasarkan pada beberapa aturan seperti; Undang-undang (UU) No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati & Ekosistemnya, UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, PP No. 28 tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan, PP No. 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, PP No. 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan & Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan & Penggunaan Kawasan Hutan. Melalui beberapa aturan di atas pada tanggal 3 Juli 2003 kelima pimpinan Perguruan Tinggi di atas yaitu; Muh. Yusram Massijaya, Ph.D, (Fakultas Kehutanan IPB), Sofyan P. Warsito, Ph.D. (Fakultas Kehutanan UGM), Wawan Kustiawan, Ph.D. (Fakultas Kehutanan Unmul), Syamsu Alam, M.Si. (Jurusan Kehutanan Unhas), Sugeng P. Harianto Ph.D. (Jurusan Manajemen Hutan Faperta Unila) mengeluarkan pernyataan sikap yang berbunyi:

1. Menolak segala upaya untuk melegalkan pertambangan terbuka di kawasan hutan lindung.
2. Dalam setiap pengambilan keputusan yang berkaitan dengan alih fungsi kawasan hutan lindung untuk pertambangan, hendaknya Pemerintah menetapkan instrumen pengambilan keputusan yang terbuka bagi publik mengingat resiko dampak negatifnya. Mekanisme pengambilan keputusan juga harus dilakukan bersama Tim Ahli (Scientific Authority) Independen.
3. Penetapan dan upaya mempertahankan kawasan hutan lindung harus dilihat sebagai wujud kesungguhan Pemerintah Indonesia dalam mengaktualisasikan pembangunan berkelanjutan dan menyelamatkan hutan sebagai penyangga kehidupan umat manusia. Oleh karena itu, negara-negara di dunia dan organisasi internasional harus memberikan dukungan terhadap upaya penolakan pertambangan di kawasan hutan lindung.
4. Mengajak kepada semua pihak, baik individu, kelompok maupun lembaga, untuk bekerjasama mempertahankan keberadaan Kawasan Hutan Lindung di Indonesia.

Pernyataan sikap di atas disatu sisi layak direnungkan, mengingat pentingnya fungsi kawasan lindung sebagai penyangga kehidupan, antara lain (1) mengatur tata air dan mencegah banjir; (2) mengendalikan erosi; (3) mencegah intrusi air laut; dan (4) memelihara kesuburan tanah, maka terhadap hutan lindung yang telah rusak seharusnya direhabilitasi untuk memperoleh nilai jasa lingkungan dari hutan (95%), bukan dialih-fungsikan bagi peruntukan lain.

Sementara disisi lain, sumbangan Pendapatan Negara Bukan Pajak dari pendapatan pertambangan umum tergolong kecil sekitar 2,8% dari total Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang diperoleh dari seluruh sumber daya tambang, ini belum memperhitungkan nilai kerusakan dan pencemaran lingkungan yang diakibatkan. Sumbangan pendapatan dari kehutanan hanya 2,4% dan nilai ini hanya merupakan 5% dari total manfaat hutan. Sehingga dari hutan masih terdapat peranan ekonomi (total economic value) sebesar 95% lagi yang belum diperhitungkan (Nota Keuangan RAPBN, 2003).

Tidak hanya itu, beberapa dampak negatif terhadap kelangsungan layanan alam, ekonomi, sosial, bahkan budaya justru diakibatkan dari inkonsistensi kebijakan pertambangan terhadap kebijakan lain sperti PP, UU, dan bahkan Undang-undang Dasar 1945 (UUD).

Karenanya tidak heran bila Walhi menghimbau seluruh lapisan masyarakat untuk mendonasikan minimal Rp. 1000 sebagai bentuk perlawanan terhadap peraturan yang mementingkan segelintir pihak. Donasi tersebut sebagai kompensasi terhadap 3,3 meter persegi hutan lindung dan akan diserahkan kepada Menteri Keuangan. Tujuannya adalah agar Pemerintah tidak kekurangan dana untuk melakukan penjagaan hutan sehingga tidak menyerahkan kepada perusahaan tambang. [ ]

----


Baca informasi selengkapnya di Newsletter Gali-Gali JATAM Volume 3, Juli 2009
Caranya, buka website JATAM di www.jatam.org dan melakukan login, kemudian masuk ke bagian publikasi, lanjut ke dokumen, maka anda bisa mendownload Newsletter Gali-Gali JATAM

Poto 1 : Situasi Penggalian Bukit Maneungteung/Azimut Ds.Waledasem Kecamatan Waled Kab.Cirebon,Sabtu 04 April 2009 oleh Deddy kermit Madjmoe

Poto 2 : Situasi Penggalian Bukit Ciuyah Ds.Ciuyyah Kecamatan Waled Kab.Cirebon, Sabtu 04 April 2009 oleh Deddy kermit Madjmoe






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

trims telah berbagi apapun, mungkin saya yang salah dan anda yang lebih mengerti, jangan sungkan untuk mengkritik saya...oke !

Greenpeace SEA-Indonesia
Racikan Obat Herbal
CAMPAKA KAROMAH Khusus Untuk Direbus/Godogan, Insyaallah Dapat Menyembuhkan Penyakit Yang Anda Derita.

Formulator : Deddy kermit madjmoe
Hotline: 081324300415
Jl. Buyut Roda Gg.Polos No.84 Ciledug Cirebon Jawa Barat 45188

Pasien TIDAK MAMPU dan KURANG MAMPU Jangan TAKUT Untuk Berobat Pada Kami....!!!! Kami Tetap akan melayaninya.