24 April 2009
KAPITALIS
on Thursday, 23 April 2009
Views : 37
Oleh P. Alex Jebadu SVD, Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere, Flores
Pada tgl 14 Februari 2009 Forum Cendekiawan Asal Manggarai (Forcam) di Maumere menyelenggarakan sebuah seminar tentang dampak negatif eksploitasi tambang di tiga kabupaten di Mangarai. Seminar ini membuat seluruh peserta seminar seakan bangun dari tidur. Mereka hampir tak percaya akan apa yang mereka dengar dan lihat. It’s shocking (Sungguh mengejutkan)! Melalui gambar-gambar yang ditayangkan power point (=sejenis program dalam komputer), rahim tanah Manggarai ternyata sudah lama terluka. Lubang-lubang raksasa menganga lebar dijumpai di banyak tempat. Gunung-gunung dan bukit terbongkar hancur diledakkan dinamit. Hutan lindung yang menjadi sumber mata air dilucuti. Lembah-lembah ditimbun. Sungai dan laut Flores tercemar. Pantai Robek di sebelah barat kota Reo, yang dulu biasa ditamasyai para turis manca negara, kini sudah ditinggal sepi karena kebisingan dinamit tambang. Laut Flores pantai utara sekitar Reo tercemar limbah toxic beracun. Para nelayan sulit melaut lagi karena ikan-ikan sudah hilang.
Yang lebih shocking lagi adalah bahwa perusahaan tambang membuat patok-patok di kebun-kebun dan sawah petani. Bahkan sampai patok-patok bisa dibuat di tengah kampung para penduduk. Mereka membuat peta eskploitasi tambang sekian, sehingga seakan-akan tidak ada manusia yang mendiami tempat bersangkutan. Bukankah ini sudah merupakan bentuk-bentuk pelanggaran dan perendahan martabat sesama manusia paling nyata? Tapi heran bin heran, mengapa mata para bupati seakan-akan tidak melihat semuanya ini? Apakah ada sesuatu yang telah membuat mata dan hati mereka silau? Di mana naluri kegembalaan mereka sebagai pemimpin kawanan rakyat? Mengapa para bupati Manggarai membiarkan masa depan kehidupan kawanannya (baca: rakyat) dimakan serigala berwajah tambang dengan merusakkan sumber daya alam mereka? Ada apa sebenarnya yang terjadi dengan para bupati hasil pemilihan rakyat ini?
Salah satu pertanyaan yang mencuat dalam seminar Forcam di Ledalero beberapa hari silam, maupun dalam percakapan harian banyak orang, sehubungan dengan eksploitasi tambang yang sudah semakin ekspansif (=luas) dan destruktif (=merusakkan) di Manggarai adalah mengapa kita begitu terlambat bereaksi untuk mencegahnya? Mengapa kita selama ini tidak tahu? Terhadap pertanyaan ini, kita mesti katakan bahwa jangan kan kita orang-orang Manggarai yang sedang berdiaspora (baca:merantau) di daerah-daerah lain, orang-orang Manggarai yang tinggal di Manggarai sendiri saja tak banyak yang tahu. Lihat saja orang-orang di kota Ruteng, di Borong dan di Labuan Bajo. Tidak banyak dari mereka yang prihatin dan peduli terhadap dampak negatif eksploitasi tambang di Manggarai. Kebanyakan mereka tidak tahu bahwa sedang ada perusakan alam mereka oleh eksploitasi mineral bumi. Kalaupun ada segelintir orang yang tahu akan hal ini, mereka cenderung melihat masalah eksploitasi tambang di Torong Besi dan Serise sebagai persoalan orang Reo dan orang Lambaleda. Ada banyak orang Ruteng, Borong, Labuan Bajo dan juga orang-orang desa lainnya di Manggarai yang memang tidak tahu dan tidak sadar bahwa ada serigala tambang yang sedang menghancurkan alam mereka. Sehubungan dengan ignoransia (=ketidaktahuan) ini, ada beberapa kemungkinan yang menjadi penyebabnya.
Pertama, rencana dan isinan exploitasi tambang di Manggarai umumnya tidak pernah transparant (=terbuka). Rencana eksploitasi tambang di Manggarai tidak pernah dikonsultasikan dengan rakyat. Rakyat tidak pernah diberitahukan dan dimintakan pendapatnya soal exploitasi tambang. Apakah karena rakyat dianggap tak tahu apa-apa dan bodoh? Padahal pembangunan di sebuah negara demokrasi tidak bisa dieksekusi (=dijalankan) dengan pendekatan seperti ini. Pembangunan di dalam sebuah negara modern dengan demokrasi sebagai formatnya mesti dibuat bersama rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Rakyat berhak untuk tahu bagaimana tatanan kehidupan mereka dibangun. Mereka berhak untuk menolak setiap bentuk pembangunan yang merugikan sosio-budaya, ekonomi dan lingkungan hidup mereka. Setiap pembangunan yang merusakkan alam sama dengan merusakkan hidup dan masa depan masyarakat setempat. Pertanyaan kita: Mengapa eksploitasi tambang tidak dibuat sosialisasi yang cukup? Terhadap pertanyaan ini ada yang menjawab bahwa ada sosialisasi tapi sosialisasi itu lebih banyak berupa janji pengaspalan jalan setapak menuju kampung mereka, perbaiki gedung sekolah SD yang reyot dan listrik masuk kampung. Sedangkan dampak negatif tambang seperti limbah toxic yang mengotori sungai dan laut, penggundulan hutan, pengeringan mata air, penghancuran gunung dan bukit, umumnya disembunyikan dari orang-orang desa.
Belum lama ini kita mendapat informasi via SMS dari seorang pegawai negara di Labuan Bajo. Sambil minta untuk merahasiakan namanya, ia memberitakan bahwa pemda Manggarai Barat sempat menghimbau semua pegawai untuk tidak boleh membocorkan rencananya untuk merestui eksploitasi tambang di sebuah lokasi yang tak seberapa jauh dari kota Labuan Bajo. Mendengar issue ini, secara naluriah orang spontan heran. Apa-apaan ini? Bagaimana mungkin seorang bupati merencanakan pembangunan dan membangun daerah secara sembunyi-sembunyi tanpa diketahui rakyatnya? Padahal pembangunan apapun, termasuk eksploitasi tambang di daerah, langsung atau tidak langsung menyangkut hidup orang banyak. Causa finalis (=tujuan akhir) dari setiap kegiatan pembangunan, termasuk pembangunan fisik/infra struktur, adalah manusia, dalam hal ini rakyat. Konsekuensinya, ia tidak pernah boleh dibuat secara sembunyi-sembunyi dari rakyat sebagai sebuah komplotan (=konspirasi) kejahatan. Ada cukup banyak contoh pembangunan yang diturunkan di desa-desa dengan pendekatan seperti ini. Misalnya menjelang pemilu, tiba-tiba sebuah tender dipajang di sebuah pinggir jalan. Sumber mata air mereka disegel. Melihat hal ini, rakyat terkejut tak mengerti. Keluhanpun dilayangkan karena proyek bersangkutan ada efek sampingan yang perlu dipertimbangan masak-masak. Tapi jarang didengar. Kita bertanya: pembangunan apa macam begini? Katanya, kita sudah hidup di alam demokrasi. Tapi berhadapan dengan rakyat, pemerintah hasil pilihan rakyat justru memilih menjalankan roda pembangunan layaknya seperti sebuah konspirasi atau secara diktator seperti pada zaman monarki (=kerajaan).
Kemungkinan kedua yang menyebabkan mengapa banyak orang Manggarai pada umumnya ignorant (=tidak tahu) atau terlambat tahu akan ekspansi tambang yang sangat destruktif (=merusakkan) ini adalah karena memang perusahaan tambang berusaha agar aktivitas mereka tidak diketahui banyak orang. Mereka gali perut bumi secara sembunyi-sembunyi, sambil memanfaatkan kebodohan (lebih tepat: ketaktahuan) masyarakat desa di Manggarai maupun di Flores pada umumnya. Kita ambil contoh. Bagaimana mungkin orang Ruteng, orang Borong dan orang Labuan Bajo tahu bahwa ada penghancuran bumi oleh aktivitas tambang di Torong Besi (Kec. Reok), di Serise (Kec. Lambaleda) dan Nggorang/Tebedo (Kec. Komodo)? Perusahaan tambang ini dan alat-alat penghancur alam yang mereka miliki masuk di daerah terpencil yang menjadi lokasi tambang melalui laut dan keluar juga melalui laut. Truk-truk raksasa beroda 18 dengan ukuran setinggi dan sebesar rumah kediaman tidak pernah lalu lalang di jalan umum di kota Ruteng, Borong dan Labuan Bajo. Alat-alat raksasa ini masuk dari laut dan keluar juga melalui laut. Selain itu, di kawasan menuju lokasi tambang biasanya dipajang papan pengumuman: “Berbahaya! Kawasan Ini Dilarang Masuk!˝ Sepintas lalu larangan masuk ini cukup beralasan karena memang aktivitas tambang itu berbahaya. Setiap saat ada kemungkinan ledakan dinamit untuk memecahkan gunung dan bukit. Tapi pada saat yang sama, alasan keamanan ini dijadikan sebagai instrumen untuk membiarkan masayarakat setempat tetap tidak tahu akan expansi tambang yang amat destruktif terhadap alam yang menopang kehidupan mereka. Pertanyaan kita sekarang, mengapa pemerintah dan perusahaan tambang berlaku demikian? Mengapa pemerintah daerah, dalam hal ini para bupati, bersekongkol dengan perusahaan tambang untuk tetap membiarkan rakyat desa di Manggarai dan di Flores pada umumnya tetap ignorant (=tak tahu) terhadap sisi negatif tambang yang destruktif? Brook Larmer, seorang penulis majalah National Geographic milik Amerika Serikat memberi kita jawabannya.
Melalui tulisan Brook Larmer yang berjudul Gold: The True Cost of Global Obsession (= Emas: Harga dari godaan/kegilaan Global Yang Sebenarnya), majalah National Geographic Washinton DC – USA edisi Januari 2009 mendedikasikan dirinya untuk mengekspose (= menyingkapkan) kegilaan dunia akan eksploitasi tambang di seluruh planet bumi termasuk di Indonesia. Menurut laporan Brook Larmer, beberapa tahun belakangan ini perusahan-perusahaan tambang emas Amerika Serikat dan Eropa mulai mengincar pengeksploitasian mineral bumi di negara-negara miskin di Afrika dan Asia karena beberapa alasan. Pertama-tama, karena kandungan mineral emas di bumi Eropa dan Amerika sudah mulai habis, selain memang dari dulu bagian bumi Eropa dan Amerika tak terlalu kaya dengan emas. Selain itu, orang-orang Eropa dan Amerika umumnya sudah pintar-pintar dan maju. Kesadaran dan cinta mereka akan lingkungan hidup sangat tinggi. Jangankan menggali bumi untuk mengeruk tambang, pemotongan pohon di halaman rumah pribadi saja tidak boleh dibuat sesuka hati kalau belum mendapat restu dari pemerintah setempat. Yang terakhir, kesadaran orang Barat terhadap lingkungan hidup yang sudah sangat tinggi mendorong orang-orang Barat dan pemerintahnya untuk mengenakan aturan dan undang-undang lingkungan hidup yang ketat. Sebagai akibatnya, perusahaan-perusaha an tambang Eropa dan Amerika merasa tidak aman dan harus angkat kaki menuju negara-negara miskin di seluruh pelosok bumi termasuk Indonesia. Di wilayah-wilayah pulau terpencil di Indonesia mereka menginvestasikan kapital (=modal) mereka melalui eksploitasi tambang secara relatif aman karena jauh dari perhatian watch dog (=anjing pengawal) lingkungan hidup dunia. Aturan dan undang-undang tentang lingkungan hidup di Indonesia masih longgar. Undang-undang PBB tentang lingkungan hidup belum diterapkan di Indonesia (bdk. makalah Don K. Marut dalam seminar Masalah Tambang di Manggarai, Ledalero 14 Februari 2009). Kesadaran akan lingkungan hidup dari orang-orang desa di wilayah-wilayah terpencil di Indonesia masih rendah. Resistensi (= penolakan) mereka terhadap kaum kapitalis (=pemilik modal besar) yang mengeksploitasi tambang dari tanah mereka juga belum ada. Sebabnya sangat sederhana. Mereka belum bisa resistant (= menentang) terhadap investasi capital dari kaum kapitalis di bidang pertambangan kerena mereka belum melihat dan mengalami sendiri apa artinya kerusakan alam oleh exploitasi tambang.
Sebab yang ketiga adalah orang-orang desa di Manggarai dan di Flores pada umumnya, khusus yang berada di dekat lokasi tambang, sengaja dibohongi. Tampaknya hal ini dilakukan baik oleh para kapitalis/investor asing maupun domestik dalam kerjasama (baca: konspirasi) dengan pemerintah daerah setempat. Ada beberapa gejala yang mengindikasikan (=menunjukkan) hal ini. Pertama, di beberapa tempat di Indonesia konspirasi para kapitalis dengan pemerintah daerah setempat dibuat dengan pengalihan tanah milik rakyat menjadi milik pemerintah, lalu sesudah itu diserahkan kepada kaum kapitalis/perusahaa n tambang. Kedua, selama ini orang-orang desa yang masih lugu dan sederhana sering dibodohi dengan istilah explorasi dan eksploitasi. Di setiap lokasi tambang, para kapitalis sering menyampaikan kepada orang desa setempat bahwa mereka baru sekedar mengadakan eksplorasi (=penjajakan) saja dan bukan eksploitasi (= penggalian). Kalaupun mereka mengambil mineral, maka hal itu hanya untuk sample (=contoh) saja. Tapi dalam kenyataan, mereka sudah menggali tambang selama satu tahun bahkan lebih, dan telah mengangkut mineral tambang dalam jumlah yang besar. Bukankah ini merupakan sebuah pembohongan besar? Kita tidak terlalu yakin kalau pemerintah daerah tidak tahu akan hal-hal teknis ini. Mereka pasti tahu. Sikap mereka yang cenderung diam terhadap eksploitasi tambang yang sangat destruktif mengindikasikan bahwa mereka ikut bermain di dalamnya.
Menurut seorang pemakalah dalam seminar Masalah Tambang yang diselenggarakan Forum Cendekiawan Asal Manggarai (Forcam) di Ledalero 14 Februari 2009, seburuk-buruknya para kapitalis asing, mereka umumnya tetap ingin agar segala sesuatu berjalan menurut hukum. Mereka, misalnya, ingin membuka investasi kapital (=modal) di Indonesia asalkan ada jaminan keamanan (security). Persoalannya adalah bahwa jaminan security yang dimaksudkan para kapitalis asing ini adalah soal legalitas investasi kapital mereka. Yaitu bahwa usaha investasi mereka mesti sah karena mendapat kepastian hukum seperti mendapat lampu hijau dari pemerintah setempat, disetujui masyarakat setempat dan mematuhi undang-undangan lingkungan hidup. Tapi dalam kenyataannya, permintaan kepastian hukum dari para kapitalis asing ditafsir oleh pemerintah Indonesia dengan mendeploikan (=menyebarkan) pasukan keamanan di seluruh wilayah terpencil di Indoneisa yang mempunyai potensi besar untuk exploitasi tambang maupun investasi kapital asing lainnya. Sehingga kalau nanti kaum capitalist asing membuka usaha besar di sebuah daerah dan masyarakat setempat melakukan protest karena, misalnya, investasi kapital itu mempunyai dampak negatifnya atau karena tanah masyarakat setempat tidak bisa diberikan kepada para kapitalis asing dalam jumlah besar karena tanah mereka pada umumnya dimiliki secara komunal (=bersama, kolektif misalnya tanah suku), maka militer kita tampil ke depan untuk membela perusahaan asing dan melawan rakyat. Padahal panggilan kodrati militer adalah untuk membela bangsanya dari segala macam bentuk gangguan dan penjajahan bangsa lain. Kalau militer kita makan (=lawan) lagi rakyat Indonesia , maka dengan melakukan hal ini eksistensi militer kita bertentangan dengan panggilan kodratinya.
Sehubungan dengan issue eksploitasi tambang di NTT yang semakin expansif, berlebihan kah kita untuk menafsirkan motivasi pemaksaan pendirian Korem di Flores dan Timor beberapa tahun belakangan ini ke arah ini? Belum lama ini seorang DPRD di sebuah kabupaten di Timor ditanyai oleh seorang cendekiawan Ledalero kelahiran tanah Timor : “Mengapa pemerintah dan DPR merestui pendirian UNIF (=semacam sub-korem) di Timor, padahal dari segi keamanan rakyat Timor tidak membutuhkannya?” Sang DPR menjawab: “Kalau kita tidak merestuinya, kita diancam pemerintah pusat untuk tidak dikucurkan dana pembangunan.” Ya ampun! Mengapa pembangunan bangsa kita harus dibeli dan dibayar dengan memaksakan kehadiran militer di setiap pelosok wilayah RI? Ada apa sebenarnya di balik semua permainan ini? Siapa sebetulnya musuh yang kita sedang mau perangi?
Terhadap pertanyaan ini, secara klasik kita selalu diberi jawaban: Kita siap diri untuk hadapi ancaman Australia dan Timor Leste. Tapi apakah jawaban ini bisa diterima akal sehat? Sudah 60 tahun lebih kita merdeka, kita belum pernah dapat gertakan militer dari Australia . Australia selama ini malah selalu berusaha membantu Indoneisa dalam banyak hal. Lalu kemungkinan ada ancaman dari Timor Leste? Kalau Timor Leste nakal terhadap Indonesia , Ia cukup diberi pelajaran dengan kayu kudung. Ini barangkali terlalu ekstrim. Tapi sarkasme ini hanya mau tunjukkan bahwa kemungkinan gangguan dari negara sekecil Timor Leste tidak perlu diladeni dengan mendirikan korem yang hebat-hebat. Korem kita yang sudah ada di Kupang sudah lebih dari cukup. Kalau begitu, siapa sebenarnya musuh yang kita mau lawan? Jangan-jangan rakyat desa di Flores, Timor dan Sumba yang di bawah kebun, sawah dan kampung kediaman mereka tersembunyi harta karun emas, mangan dan tembaga yang sedamg diincar para kapitalis Barat. Kalau hal ini yang menjadi motivasi pendirian korem kita, maka betapa kualatnya bangsa kita. Bayangkan! Our military stands against its own people in defending the western capitalists stealing the treasures hidden in the womb of their land =Militer kita bangkit berdiri melawan rakyat bangsanya sendiri untuk membela kaum kapitalis/orang kaya Eropa dan Amerika yang mau mencuri harta tersembunyi dalam rahim tanah mereka)!
Oleh karena dampak destruktifnya yang sangat besar, maka investasi tambang di daerah kecil Manggarai dan di pulau kecil Flores pada umumnya mesti ditolak tanpa syarat. Orang-orang desa di Manggarai dan Flores , Timor , Sumba pada umumnya mesti kompak menolak tambang. Tapi agar mereka mempunyai sikap tolak tambang, mereka mesti diberi penyadaran tentang hakekat tambang yang sangat destruktif seperti limbah kotor, racun toxic dan penghancuran terhadap sumber daya alam. Orang desa di Manggarai atau Flores pada umumnya mesti dibantu untuk melihat bahaya-bahaya ini dan hal ini bakal menjadi sebuah tugas yang berat. Karena orang-orang desa di Manggarai pada umumnya masih innocent (= tak tahu menahu) terhadap dampak negatif dari industri tambang. Mareka hanya terhipnotis (baca saja: tergiur) karena diberi hadiah uang dua tiga juta rupiah, dibuka jalan raya setapak dan diberi jenset listrik.
Selain itu, setiap suku/kampung di Manggarai memiliki hak otonom atas sebidang tanah garapan dengan gendang sebagai simbol autoritas kepemilikannya. Di banyak tempat, bahkan di dalam satu kampung ada dua atau tiga gendang. Itu berarti di dalam satu kampung kecil bisa ada 3 suku yang masing-masing independent (= tak saling bergantung) dan autonom (= berdiri sendiri) dalam memiliki dan mengatur sebidang tanah pertanian. Sebab itu, bisa saja terjadi bahwa berhadapan dengan issue tawaran tambang, sebuah kampung kecil bisa tidak memiliki kesatuan sikap. Satu gendang/suku setuju dan beri tanah untuk tambang, sedangkan yang lain menolak. Situasi ini bisa dimaanfaatkan oleh para kapitalis untuk mengadu domba. Mereka bisa tiba-tiba dibuat rusuh. Dengan alasan untuk mengamankan situasi, militer masuk dan singkirkan mereka dari lokasi. Setelah situasi pulih, rakyat tidak diisinkan? masuk kembali ke tempat mereka semula dengan alasan belum aman betul. Padahal dalam kenyataannya, tanah sengketaan mereka sudah dipatok para kapitalis. Kepada semua yang masih mempunyai hati nurani, mari kita bersatu menyelamatkan orang-orang desa yang masih lugu dari cengkraman para kapitalis dalam diri perusahaan tambang baik domestik maupun asing.
Penulis adala dosen tetap pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere, Flores. Note: Dimuat di Flores Pos tgl 24 dan 26 Februari 2009
22 April 2009
Hari Bumi
Hari Bumi 2009 : Cegah Memburuknya Perubahan Iklim, Selamatkan Nelayan Nusantara |
|
|
12 April 2009
hari minggu...
M. Yusuf...tim ketawa
Bagus Muhammad Nurfallah (Gusnur)
Bagus Muhammad Nurfallah anakku yang bungsu, pulang dari sekolah di SD.Center Jatiseeng 1 kelas 2b, dengan wajah sedih...(ada apakah dengan dia.., ) sambil membuka sepatu hitamnya, bagus bercerita bahwa : badannya panas-dingin, kepala pusing..... Memangnya kenapa kok jadi begitu, aku bertanya. Kemarin pak, gara-gara maen layangannya kelamaan...kan panas...kan layangan punya bagus talinya putus...terus bagus kejar tuh layangan...eeh...sama kaka siapa tuh...yang kemarin khataman bil-ghoib...ooohhh kaka Affandi namanya...he..he..bagus lupa, iya...layangan bagus yang terbang dikejar sama kaka itu...pikir bagus kala dah dapat buat dia.., eehhh ternyata terus dikasihkan lagi ke bagus...baik ya pak, kaka Affandi itu...Terus dia nyerocos sepertinya dia lupa bahwa dia sedang sakit kepala....
"....pak.....? dia bertanya
"...ada apa Gus Nur.... "(aku panggil dia Gus Nur= Nurfallah), jawabku.
"..bapak kemaren janji mau camping di Maneungteung sama teman-teman bapak yang di LSM dan Pecinta Alam, sepatu dan daypack-nya sudah bagus siapin...jadi tidak pak campingnya...??? bagus kan mau lihat tuh galian ilegal.... apa sih ilegal itu pak...? Terus kalo Maneungteung sudah digali kayak begitu, bagus nanti campingnya dimana dong...?
"Bapaaaakk.....ko diam sih, bukan ngejawab pertanyaan bagus itu..."
O...iya bapak lupa , kemaren dah janji ngajak bagus, ikut bermalam di Maneungteung sama teman-teman bapakk...tapi coba sini....( bagus mendekat sambil tangan kirinya menenteng sepatu, keningnya aku pegang)
Waahhhh...bagus pusing sekali yah...,masyaallah.... badan kamu panas begini....,nanti kalau mau ikut... malah tambah bahaya....tambah sakit...!!!! ( mendengar itu, bagus nampak berubah raut wajahnya penuh dengan kecewa...)
Ok...begini saja... kita tanya ibu dulu, .....( Farida istriku nampak keluar, dia dari tadi melihat dari jendela...dengan senyum yang mengembang)
Bu..tolong pegang kening bagus...
Iya gus kamu badannya panas begini, nanti bapak bikinkan obat herbal untuk bagus yah...kalo sore ini tambah baikan...bagus boleh ikut sama bapak pergi camping....(meskipun wajahnya masih kecewa...dia mengangguk setuju....yesssss....)
................................................................................................................................................................................. Aku tidak menjawab pertanyaan bagus tentang apa sih ada galian ilegal...(anganku melayang ke 20 tahun kedepan....ooh....kasihan anakku ini...pasti tidak bisa lagi camping, panjat tebing di Tebing Maneungteung lagi...karena sekarang sudah hancur...oleh ketamakan..dan keserakahan...atas nama pembangunan nasional...
.......................................................................................................................
11 April 2009
Hari Sabtu....
jam 04.00 wib..... hanya sebentar aku pejamkan mata, pulang dari warnet aku lahap beberapa guntingan media cetak hasil karya anakku yang kelas dua sekolah dasar. Aku tengok dia dikamarnya, terlelap tidur... ada dengkuran lembut...mungkin selepas pulang sekolah, siang harinya langsung main layangan, main gasing, mandi disungai sampe lupa tidur siang....
Suara pintu berderit lembut tanda istriku Farida Hanura bersiap sholat subuh dan terus ke dapur, melakukan tugas rutin seorang ibu bagi anak-anaku.....yang harus dikerjakan dengan cepat ,karena pagi jam 6.30 wib dia akan mengayuh sepeda mini sepanjang 2,5k untuk pergi mengajar,itulah rutinitas seorang guru honor dengan gaji Rp.125.000,- , jam 13.00 wib kembali dia mengayuh sepeda kembali kerumah, dengan senyum yang mengembang seolah tanpa letih...dia menyapaku : Assalamua'alaikum..., Wa'alaikum salam...jawabku.
Ibuku tercinta Hafysah...keluar dari kamarnya, tertatih-taih menuju kamar mandi untuk ambil air wudlu....dia tersenyum menatapku... Assalamu'alaikum. Dikeluargaku sudah menjadi kebiasaan setiap bangun pagi selalu menyapa dengan salam....
bersambung.......
Jaringan Tambang
on Friday, 10 April 2009
Views : 4
Oleh George Junus Aditjondro
Mana partai yang paling punya jejak rekam peduli lingkungan? Mana capres & cawapres yang punya jejak rekam peduli lingkungan? Dari mana para capres & cawapres membiayai kampanye mereka: dari hasil pembalakan liar, konsesi hutan, perkebunan kelapa sawit, perkebunan pulp dan kertas, pertambangan batubara, atau mana dan dari siapa?
REKAM JEJAK JUSUF KALLA, SALAH SATU CAPRES PARTAI GOLKAR:
Kepentingan JK tidak dapat dilepaskan dari kepentingan ekspansi bisnis keluarga besarnya, karena Indonesia tidak punya peraturan yang melarang konflik kepentingan jabatan publik dengan kepentingan bisnis pribadi dan keluarga serta sahabatnya.Ada empat kelompok perusahaan yang dikuasai oleh JK (kelompok Bukaka & Hadji Kalla), iparnya, Aksa Mahmud yang Wakil Ketua MPR-RI (kelompok Bosowa), dan adiknya, Halim Kalla (kelompok Intim). Dengan demikian, ekspansi keempat kelompok itu tidak terlepas dari peranan JK dan Aksa Mahmud di arena ekonomi dan politik.Salah satu spesialisasi kelompok Bukaka dan Hadji Kalla adalah dalam pembangunan PLTA, namun jejak rekam kelompok Bukaka dan kelompok Hadji Kalla di bidang itu tidak begitu bagus: PLTA Poso (rencana 780 MW) mulai dibangun sebelum ada AMDAL yang memenuhi syarat. Juga jaringan SUTET (Saluran Udara Tegangan Eksa Tinggi)nya ke Sulawesi Selatan & Tenggara dibangun tanpa AMDAL.Di DAS Peusangan di Tanah Gayo, Aceh, “pembebasan” tanah di masa DOM dirasa sangat tidak adil. Tapi ada kemungkinan oposisi rakyat akan dilawan oleh PETA (Pembela Tanah Air), milisi bentukan TNI, yang sekarang membantu TNI melakukan represi terhadap rakyat dan caleg-caleg partai-partai lokal, terutama PA (Partai Aceh) bentukan GAM.Pembangunan PLTA Peusangan I akan menghancurkan nafkah penduduk yang bertani ikan mas di karamba-karamba di hulu Sungai Peusangan. Mereka sudah dilarang oleh PLN bertani ikan mas di situ, tapi mereka masih bertahan. Belum lagi dampak PLTA Peusangan II nantinya.Setelah berkunjung ke RRT, JK sangat berambisi mendorong pembangunan 19 PLTU berkapasitas total 10.000 MW di berbagai tempat di Indonesia. Program ini bukan mendorong pengembangan enerji terbarukan yang bersih, tapi justru mendorong pembakaran batubara yang sangat menyumbang pemanasan global. Namun tetap juga program ini didukung oleh JK.Maklumlah, kelompok-kelompok Bukaka, Bosowa , dan Intim termasuk paket kontraktor pembangunan 19 PLTU itu. Kelompok Bosowa mendapat order pembangunan PLTU Jeneponto di Sulsel, tanpa tender (Rakyat Merdeka, 7 Juni 2006), sedangkan kelompok Intim milik Halim Kalla yang juga salah seorang Komisaris Lion Air akan membangun PLTU berkapasitas 3 x 300 MW di Cilacap, Jateng, dengan bahan baku batubara yang dipasok dari konsesi pertambangan batubara seluas 5.000 ha milik kelompok Intim di Kaltim (GlobeAsia, Sept. 2008, hal. 38).Setelah 22 DPD Golkar mendukung pencalonan JK sebagai Capres, kita perlu lihat kiprah para pendukung JK di pucuk pimpinan Golkar, seperti Surya Paloh, ketua Dewan Penasehat Golkar. Reputasi Surya Paloh di Aceh di bidang lingkungan sangat buruk, karena Kelompok Media yang dipimpinnya membuka tambang emas, tambang batubaru, dan PLTU di Kabupaten Nagan Raya, Aceh bagian Barat, tanpa AMDAL dan tanpa menghormati pemerintah Gampong dan Mukim, seperti digariskan dalam MoU Helsinki dan UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh.
REKAM JEJAK SBY, CAPRES PARTAI DEMOKRAT:
Jejak rekam SBY di bidang lingkungan sangat tersembunyi, sebab SBY ‘hanya’ berperan sebagai pelindung berbagai kelompok bisnis besar, terutama kelompok Artha Graha (AG). T.B. Silalahi, penasehat presiden di bidang pertahanan, juga eksekutif kelompok AG dbp Tomy Winata. Melalui mitra bisnisnya di Sumut, AG mengelola perkebunan kelapa sawit PT First Mujur Plantation di Tapanuli Selatan dan Labuhan Batu.Artha Graha juga milik Sugianto Kusuma (‘Aguan’), pemilik PT Agung Sedayu Permai, holding company Agung Sedayu Group.Artha Graha dan Agung Sedayu Permai banyak membangun gedung perkantoran & perumahan elit, yang tiap hari diiklankan di layar televisi.Kurang disadari dampak lingkungan properti-properti mewah itu, yaitu:(a) pembukaan lahannya menggusur rakyat kecil yang terpaksa bermukim di pinggir kali yang sangat tidak sehat;(b) sangat rakus air tanah (membuat rakyat kecil tergantung pada air kemasan); dan(c) ikut menyemburkan udara panas yang menaikkan suhu udara kota Jakarta.Berlindung di balik nama SBY ada dua yayasan, yakni (1) Yayasan Puri Cikeas & (2) Yayasan Majelis Dzikir SBY Nurussalam.Orang-orang dekat SBY menjadid pembina atau pengawas yayasan-yayasan itu. Ketua Dewan Pembina Yayasan Puri Cikeas = Jero Wacik, Menteri Pariwisata dalam Kabinet Indonesia Bersatu. Ketua Pengawas Yayasan Nurussalam = Brigjen Kurdi Mustofa, Sekpri SBY.Adik ipar (Hartanto Eddie Wibowo) dan anak bungsu SBY (Eddy Baskoro Yudhoyono) menjadi fungsionaris Yayasan Nurussalam. Hartanto, bendahara, Baskoro, sekretaris.Sejumlah pengusaha era Orde Baru menjadi fungsionaris kedua yayasan itu, seperti Sukamdhani dan putera mahkotanya, Hariadi Sukamdani (Sahid Group), serta Tanri Abeng dan anaknya, Emil Abeng, serta Aziz Mochdar (Bimantara). Sukamdhani dan Tanri Abeng di Yayasan Cikeas, sedangkan Aziz Mochdar (ipar Yayuk Habibie, adik bungsu BJ Habibie) di Yayasan Nurusalam.Ada juga pengusaha yang berlindung di balik fungsionaris Yayasan Nurussalam, seperti Gunawan Yusuf (Makindo), kompetitor Salim Group dalam perkebunan tebu di Lampung.Menteri Lingkungan era SBY-JK, Rachmat Witoelar, memberikan label hijau kepada beberapa konglomerat perusak lingkungan, yakni RGM, Sinar Mas, dan Freeport Indonesia, Inc.Ekspansi konglomerat- konglomerat yang dekat dengan JK (pernah sama-sama jadi penggalang dana Golkar, seperti Arifin Panigoro, Aburizal Bakrie, Hartati Murdaya) ikut berekspansi di era SBY-JK, walaupun di tahun-tahun pertama kejatuhan Soeharto mereka masih berhutang besar pada bank-bank negara.Kelompok Medco yang 60% milik keluarga Arifin Panigoro (40% milik Mitsui & Mitsubishi) berkembang dari migas (Sulteng, Aceh), PLT panas bumi di Sarulla (Sumut), kelapa sawit (Kalteng, Papua), paper dan pulp di Merauke (Papua), s/d rencana PLTN di Jepara (Jateng).Namun blunder terbesar kroni-kroni JK adalah ekspansi bisnis keluarga Bakrie di bidang energi (Mega Energi Persada, Bumi Resources, Kondur Petroleum) yang mengakibatkan tragedi Lapindo bagi rakyat Jawa Timur, malapetaka lingkungan paling kurang ajar selama rezim SBY-JK!!
REKAM JEJAK MEGAWATI SOEKARNOPUTRI, CAPRES PDI-P:
Sewaktu masih jadi oposisi di era Soeharto, PDI sekutu gerakan lingkungan dalam menentang pembangunan PLTN. Sesudah jadi Presiden, tidak terdengar suara PDI-P di bidang itu.Setelah Mega jadi Presiden, keluarga Soekarno-Kiemas, Kiemas bersaudara punya 13 SPBU di wilayah Jabodetabek, di antaranya ada yang menerobos jalur hijau.Sony Keraf, seorang kader PDI-P yang diangkat menjadi Menteri Lingkungan di era Presiden Gus Dur, bersuara keras terhadap perusahaan-perusaha an perusak lingkungan. Misalnya, terhadap PT TPL (Toba Pulp Lestari) dan PT Freeport Indonesia. Tapi akibat desakan rekan-rekan separtai, Keraf tidak bersuara keras lagi.Setelah diganti oleh Megawati Soekarnoutri dengan Nabiel Makarim, Sony Keraf yang masih dipilih menjadi anggota Fraksi PDI-P di DPR-RI, ia bahkan tidak bersuara menghadapi rencana tambang emas di P. Lembata, kampung halamannya, walaupun rencana itu ditentang oleh rakyat dan para rohaniwan OFM & SVD.
REKAM JEJAK PRABOWO SUBIANTO, CAPRES GERINDRA:
Dengan mengambilalih konsesi Kiani Group seluas 53 ribu ha dari Bob Hasan, Prabowo ikut melanggengkan penghancuran hutan Kaltim.Di Aceh, Prabowo & adiknya, Hasyim Djojohadikusumo menguasai hutan seluas 97 ribu ha di Aceh Tengah melalui PT Tusam Hutan Lestari, sumber bahan baku pabrik kertas PT Kertas Kraft Aceh (KKA). Padahal pinus sangat tidak ramah lingkungan.Di Kaltim, kakak beradik Prabowo & Hashim menguasai lebih dari satu juta hektar konsesi hutan dan tambang batubara, dan masih berencana membuka 700 ribu ha kebun aren (Warta Ekonomi, 9-22 Maret 2009, Laporan Khusus tentang Duet Bisnis & Politik, Hashim Djojohadikusumo & Prabowo Subianto).Di Papua, Hashim, mengeksplorasi gas dari Blok Rombebai seluas 11.5900 km2 di Kabupaten Yapen , yang diperkirakan memiliki kandungan gas lebih dari 15 trilyun kaki kubik (idem), dan dapat berdampak negatif bagi nelayan di Teluk Sairera.Masih di Papua, Hashim berencana membuka perkebunan padi (rice estate) seluas 585 ribu ha dan perkebunan aren seluas 800.000 ha di Kabupaten Merauke (idem).Berarti, bersama adiknya, Hashim Djojohadikusumo, Prabowo Subianto sudah menguasai lebih dari tiga juta hektar perkebunan, konsesi hutan, tambang batubara dan ladang migas dari Aceh sampai ke Papua, dan masih berencana membuka 1,5 juta hektar lagi di Kaltim dan Merauke.
REKAM JEJAK WIRANTO, CAPRES PARTAI HANURA:
Hampir seluruh bisnisnya dijalankan oleh proxies, tanpa menampilkan nama Wiranto. Kalau mau selidiki kekayaannya, sebaiknya selidiki kekayaan pengurus Partai Hanura.Sejak menjadi Pangdam V Jaya, Wiranto sering mendapat apartemen gratis di berbagai tower (menara pertokoan dan perumahan) mewah. Yang terbaru dan termahal adalah penthouse di Da Vinci Tower di Jl. Jendral Sudirman, milik Antonio (“Tony”) Munafo, Presiden Da Vinci Eropa yang sering datang dari Singapura.Wirantolah orang yang mendorong pemekaran kembali Kodam yang dulu diciutkan oleh Benny Murdani dari enambelas menjadi sepuluh Kodam. Lewat berbagai pertumpahan darah, Kodam Pattimura dan Kodam Iskandar Muda telah lahir kembali. Setelah konflik Poso, jumlah Batalyon di Sulteng telah dimekarkan dari satu menjadi tiga.Berbagai bisnis kelabu itu punya dampak lingkungan yang sangat buruk, seperti pembalakan liar di TN Leuser, eksploitasi kayu hitam di Sulteng dan kayu gaharu di Papua Barat, serta perdagangan liar fauna dan flora langka di seluruh Nusantara.
REKAM JEJAK SUTIYOSO:
Sewaktu masih menjadi Gubernur DKI, Sutyoso merintis program Busway (Transjakarta) , dengan alasan untuk mengurangi kemacetan dan kepadatan lalulintas di DKI. Kenyataannya, pengambilan satu jalur jalan di rute-rute yang ramai, justru memadatkan lalulintas lain di jalur yang tersisa. Masih diragukan apakah itu mengurangi kemacetan lalulintas dan mengurangi polusi udara.
REKAM JEJAK SULTAN HAMENGKU-BUWONO X, CAPRES PARTAI REPUBLIKAN:
Banyak orang tidak mengetahui bahwa berdasarkan warisan Belanda, Sultan Hamengku Buwono (HB) X menjadi penguasa tanah di seluruh wilayah DIY, bersama Paku Alam. Semua tanah yang bukan milik pribadi orang (eigendom), tergolong SG (Sultan’s Gronden) atau PAG (Paku Alam’s Gronden).Sultan HB X dan isterinya, Ratu Hemas, tidak punya putera mahkota yang dapat ditahbiskan menjadi Sultan HB XI, sepeninggal HB X, sehingga HB X berusaha mewariskan sesuatu yang lain kepada kelima orang puterinya.Tiga dari lima orang puteri HB X yang telah menikah, termasuk puteri tertua (Gusti Pembayun) dan puteri kedua, menikah dengan pelaku bisnis. Berbekal tanah kesultanan (SG), puteri-puteri HB X mengikuti jejak sebagian paman mereka, menjadi pebisnis, bermitra dengan orang luar DIY.Gusti Pembayun menjadi mitra Sampoerna Group, yang telah membangun pabrik rokok di Kabupaten Bantul, menjaring konsumen rakyat bawah, dengan merek Kraton Dalem. Kongsi itu mendapatkan alokasi tanah untuk menanam tembakau di Bantul.PT JMI (Jogja Magasa Iron), anak perusahaan PT JMM (Jogja Magasa Mining) milik Gusti Pembayun dan pamannya, GBPH Joyokusumo (adik HB X), menjadi mitra Indo Mines Ltd, suatu perusahaan pertambangan Australia yang terdaftar di bursa saham Perth, dalam rencana penambangan pasir besi, yang akan memotong areal sepuluh desa di Kabupaten Kulonprogo, DIY. Rencana itu ditentang rakyat setempat anggota Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) Kulonprogo (Koran Tempo, 12 Nov. 2008, 12 Febr. 2009; Direct Action, Agustus 2008).Ketika ribuan petani anggota PPLP melakukan unjuk rasa di depan Mendagri Mardiyanto dan Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi, Selasa, 17 Maret yang lalu, Freddy Numberi bukannya membela para petani pesisir tersebut. Ia menghimbau para calon korban gusuran proyek pertambangan pasir besi itu untuk “melihat ke depan”, karena kerjasama antara keluarga keratin dan kapitalis Australia itu “menguntungkan beberapa pihak”. “Penolakan warga itu hal biasa”, begitu ia tambahkan. Tampaknya kedua Menteri Kabinet Indonesia Bersatu itu tidak mau mempertimbangkan pertimbangan para petani pesisir, bahwa tanah mereka adalah tanah bersertifikat. Bukan tanah milik Sultan alias Sultan’s Gronden (Harian Yogya, 18 Maret 2009).
KESIMPULAN:Dari uraian di atas, tampaklah bahwa tujuh orang calon presiden – SBY, JK, Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto, Wiranto, Sutyoso, dan Sultan HB X -- , tidak dapat diharapkan mengatasi berbagai masalah lingkungan di Indonesia. Apa yang dapat diharapkan dari sudut pemeliharaan kelestarian lingkungan di Nusantara, apabila satu di antara mereka terpilih sebagai Presiden?Sebaiknya kita mulai perhatikan agenda kampanye para capres dan cawapres alternatif, yang masih aktif dalam gerakan pro-demokrasi di Indonesia, seperti pasangan Rizal Ramli dan Eros Djarot, atau capres yang berasal dari partai-partai mapan, seperti Golkar, tapi berani melawan arus, seperti Marwah Daud Ibrahim dan Judy Chrisnandy.
Namun yang paling penting dan paling baik adalah: pilihlah capres alternatif yang sejak dini berani mengungkapkan siapa calon Menteri Lingkungannya, kemudian pilihlah calon presiden dan calon menteri lingkungan yang punya jejak rekam yang tetap setia pada pelestarian lingkungan, penegakan HAM, dan pemberantasan korupsi di Nusantara.
Yogyakarta, 30 Maret 2009
Dapat dihubungi di email
georgejunusaditjondro@gmail.com
This e-mail address is being protected from spam bots, you need JavaScript enabled to view it
Catatan Belakang:(1) Mantan Wakil Ketua Presidium WALHI; mantan Direktur YPMD-Irja; anggota Dewan Penasihat People’s Empowerment Consortium (PEC).
07 April 2009
Buat Nelayan Pantura
on Tuesday, 07 April 2009
Views : 3
Siaran Pers KIARA - KPNNI - JATAM, 6 April 2009
Jakarta, 6 April 2009. TIGA pekan masa kampanye parpol peserta Pemilu 2009 usai sudah. Hiruk-pikuknya sebatas hiburan dan mobilisasi massa tanpa hendak mengarusutamakan nelayan tradisional sebagai bagian penting dalam program pembangunan kelautan yang ditawarkan selama masa kampanye. Kalaupun ada, hanya sebatas lipstik politik tanpa fakta.
“Bertepatan dengan Hari Nelayan Indonesia yang jatuh pada tanggal 6 April 2009, adalah saat yang tepat bagi seluruh komponen bangsa, termasuk partai politik peserta pemilu 2009 untuk mengejawantahkan tindakan politiknya yang mendukung nelayan tradisional sebagai pelaku utama yang berhak atas kehidupan yang lebih layak,” buka M. Riza Damanik, Sekjen KIARA di Sekretariat Nasional KIARA, Jakarta.
Pada tahun 2008, lebih dari 6 juta kepala keluarga (KK) nelayan dan petambak tradisional berkontribusi besar dalam mendongkrak produk perikanan nasional sebesar 10 juta ton. Ironisnya, kehidupan mereka justru makin sengsara dan terlilit hutang. Apalagi saat cuaca buruk berkepanjangan.
“Situasi nelayan tradisional yang terhimpit krisis ini akibat dari kebijakan pemerintah yang lebih berat kepada pengusaha dan pemilik modal. Terlampau banyak kebijakan kontroversial negara yang meminggirkan partisipasi aktif nelayan tradisional,” jelas Dedy Ramanta, Koordinator KPNNI.
Diskriminasi kebijakan ini, tambah Riza, menempatkan nelayan tradisional pada situasi yang tak setara. Mereka harus berhadapan dengan dominasi industri perikanan skala besar yang bertumpu pada investasi swasta dan penanaman modal asing (PMA). Akibatnya, kehidupan 90 persen dari total nelayan tradisional di Indonesia sulit lepas dari jerat kemiskinan.
Dalam UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP-PPK), misalnya, pemerintah dan DPR RI justru sengaja menjual pesisir nusantara dan membatasi akses nelayan tradisional melalui Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3). Padahal, 60 persen penduduk Indonesia tinggal dan sangat tergantung pada sumber daya laut dan perikanan nasional di 8.090 desa pesisir. Di sinilah letak penolakan KPNNI atas UU No. 27 Tahun 2007.
Persoalan lain yang tak kalah pentingnya adalah kian maraknya kejahatan perikanan dan pencemaran lingkungan di wilayah perairan Indonesia. Lembamnya upaya penegakan hukum di laut dan minimnya upaya pemerintah untuk memberantasnya, berdampak pada makin memburuknya kualitas perairan Indonesia tiap tahunnya. Persoalan lain yang tak kalah penting adalah kian maraknya kejahatan perikanan dan pencemaran lingkungan di wilayah perairan Indonesia. Lembamnya upaya penegakan hukum di laut dan minimnya upaya pemerintah untuk memberantasnya, berdampak pada memburuknya kualitas perairan Indonesia tiap tahunnya. “Pencemaran laut disebabkan pembuangan limbah tambang, minyak, dan gas. Di perairan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta, misalnya, ditemukan tumpahan minyak mentah (tarball) hampir tiap tahun. Laut tercemar tak hanya menggagalkan panen karamba apung, tapi juga berakibat makin sukarnya nelayan tradisional menangkap ikan di sekitar pesisir,” tegas Siti Maimunah, Koordinator JATAM.
Olehnya, “sudah saatnya segenap komponen bangsa, khususnya pemerintahan SBY yang tinggal beberapa bulan lagi, menggerakkan keadilan perikanan sebagai basis pembangunan kelautan nasional, bukan pembangunan berbasis daratan yang lebih bertumpu pada pengembangan industri tanpa mendorong penguatan dan kemandirian nelayan,” tutur Riza.
KIARA menyebutkan bahwa keadilan perikanan bisa diwujudkan melalui: pertama, negara mengakui dan melindungi wilayah perairan nelayan tradisional; kedua, negara memenuhi hak-hak nelayan tradisional sebagaimana diatur dalam konstitusi (hak untuk menangkap ikan di wilayah perairan tradisional, hak untuk mempraktekkan kearifan tradisional dalam mengelola sumber daya laut dan perikanan nasional, dan hak untuk memperoleh asuransi keselamatan laut); ketiga, melakukan pemulihan atas fasilitas utama nelayan tradisional dan mengakui keikutsertaan perempuan nelayan dalam kegiatan perikanan melalui undang-undang; dan keempat, negara harus menjamin keberlanjutan sumber daya laut dan perikanan nasional demi sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, khususnya nelayan tradisional dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, melalui praktek kegiatan produksi, distribusi, dan konsumsi produk perikanan nasional secara adil dan merata.
Kontak:
M. Riza Damanik, Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA): 0818.773.515
Dedy Ramanta, Koordinator Komite Persiapan Organisasi Nelayan Nasional Indonesia (KPNNI): 0813.1491.9254
Siti Maimunah, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)
: 0811.920.462
------------------------------------------------------------------------------------------
Nelayan, Pahlawan Protein yang Terlupa & Tergilas
on Monday, 06 April 2009
Views : 42
Editorial JATAM
Hari Nelayan Indonesia - Enam April, kali ini sepi. Seluruh komponen bangsa ‘tersibukkan’ perayaan Pemilihan Umum, yang sebenarnya tidak lebih istimewa, semacam rutinitas lima tahunan, tanpa perubahan. Bagai potret nasib nelayan, tak berubah. Terlupa dan tergilas. Industri tambang berkontribusi terhadap perusakan perairan dan perikanan, sebuah fakta yang layak direnungkan di hari Nelayan.
Sejumlah Koran yang saban hari memenuhi dengan pemberitaan seputar kampanye dan Situ Gintung—lebih tepatnya kampanye di Situ Gintung, juga melupakan hari nelayan. Tak ada berita tentang perayaan hari nelayan, tak ada profil nelayan luar biasa, yang saban hari mempertaruhkan nyawa, demi ikan segar yang terhidang di piring-piring penduduk perkotaan miskin hingga kaum the have. Bahkan jika anda berkunjung ke www.dkp.go.id, situs Departemen Kelautan dan Perikanan RI (DKP) tak ada satu kalimat pun menyinggung hari Nelayan. Ucapan selamat pun tak tampak.
Ada juga ajang internasional terkait kelautan bulan depan. Tapi, pagelaran WOC (World Ocean Conference) dan CTI (Coral Triangle Initiative) pada 11-15 Mei di Manado, Sulawesi Utara ini, belum menempatkan kepentingan Nelayan di atas segalanya. Dilihat dari agenda yang dibahas, pertemuan itu terkesan melindungi kepentingan negara-negara dan lembaga donor. Persoalan pokok lautan yang menjadi muara sedimentasi dan limbah industri, ‘surga’ bagi pencurian ikan oleh kapal-kapal asing, meluasnya degradasi ekosistem pesisir akibat industrialisasi pertambakan udang dan reklamasi pantai, serta dampak perubahan iklim yang kian terasa, terpinggir hasrat ekonomis sesaat. Inilah awal keraguan ajang internasional ini mampu menyelesaikan substansi persoalan kelautan dunia.
Fakta ini, isyarat betapa nelayan Indonesia akan terus tergilas dan terlupa. Sejumlah nelayan kita juga tertangkap di perairan Australia bernasib mengenaskan. Kapal mereka dibakar di lautan, mereka diproses pengadilan, sebelum akhirnya dicampakkan di bandara Kupang. Tak satupun aparat pemerintah menyambut kedatangan nelayan di bandara. Sepanjang 2007 sebanyak 980 nelayan yang merupakan awak 119 kapal ikan Indonesia ditangkap. Bahkan tahun sebelumnya, sekitar 2.500 nelayan dan 365 kapal ditangkap otoritas Australia.
Sungguh berbeda dengan mudahnya hilir mudik kapal asing di perairan Indonesia. Bahkan, sejumlah perusahaan perikanan asing mengkapling lautan sedemikian bebasnya di sejumlah perairan, seperti perairan Bali Utara, perairan Sapeken dan Kangaian Madura. Dan sejumlah perairan pesisir Sumatra dan Kalimantan. Mereka bahkan menggunakan bahan peledak, pukat harimau, dan sejenis alat tangkap yang kerap mengalahkan nelayan kita.
Perairan Indonesia bagai surga bagi nelayan asing dan medan perang bagi nelayan tradisional, mereka terkepung dari berbagai penjuru. Di samudera lepas kalah oleh kecepatan nelayan asing dengan peralatan canggihnya. Di pesisir pantai hingga 12 mil, mereka disibukkan gangguan-gangguan operasi perusahaan tambang baik skala kecil dan besar.
Pembuangan limbah PT Newmont Nusa Tenggara di teluk Senunu Sumbawa Nusa Tenggara Barat, membuat nelayan pesisir Sumbawa hingga Lombok Timur mengeluh pendapatannya menurun drastis. Ikan makin sulit ditangkap, sejak 120 ribu ton limbah tailing dibuang ke laut. Di Pulau Sumbawa, mulai pantai Sagena, Labuhan Lalar, Benete, Rantung, Snutuk hingga Tolanang, para nelayan mengeluhkan menurunnya hasil tangkap Cumi dan Tongkol, sejak tailing Newmont dibuang. Sementara di pulau Lombok – berdekatan dengan lokasi pembuangan tailing, nelayan Tanjung luar dan pulau Maringik melaporkan hal yang sama.
Pada Juni 2005, di sekitar tambang Newmont lainnya, Teluk Buyat Minahasa Sulawesi Utara, ada sekitar 266 warga yang pindah dari kampungnya ke Duminanga. Mereka berulang-ulang melaporkan menurunnya penghasilan hingga gangguan kesehatan sejak PT Newmont Minahasa Raya membuang tailingnya di Teluk Buyat. Kini, sekitar 5 juta ton lebih limbah tailing di sana.
Sementara PT Freeport Indonesia (FI), pada 2005 saja membuang tailingnya lebih dari 220 ribu ton perhari, telah merusak wilayah produktif berupa hutan, sungai, dan lahan basah. Tailing telah merusak hutan bakau seluas 21 – 63 km2. Bahkan sebagain pesisir kawasan Taman nasional Lorenz, situs warisan dunia ini terkena dampak penimbunan tailing PT FI. Hasil kajian ERA tahun 2002 menunjukkan sekitar 250 juta ton tailing dialirkan ke muara Ajkwa masuk ke laut Arafura.
Di Bengkulu lain lagi. Nelayan yang tinggal disekitar Desa Penago Baru dan Rawa Indah, Kecamatan Ilir Talo, Kabupaten Seluma, kini terancam pengerukan pasir besi Wealthy Ltd. asal Hongkong yang mendapatkan Kuasa Pertambangan (KP) dari Bupati Seluma No 35 Tahun 2005 seluas 3.645 ha, meliputi kawasan pemukiman hingga laut.
Akibatnya kawasan pantai yang dulu rimbun hijau hutan bakau, seluas 10 ha, juga berstatus kawasan Cagar Alam Pasar Talo, kini nyaris ludes. Sepanjang garis pantai, dalam tiga tahun terakhir terancam abrasi akut. Angin besar kerap menerpa pemukiman yang hanya berjarak 50 m dari bibir pantai. Mayoritas masyarakat yang semula menggantungkan hidupnya dari hasil laut kini gigit jari akibat perusahaan langsung menggelontorkan limbahnya ke laut lepas.
Perusahaan baru juga mengancam. Salah satunya, tambang emas PT Indo Multi Niaga di pesisir selatan Banyuwangi Jawa Timur. Perusahaan berencana menggunakan air Sungai Kali Baru untuk proses ekstraksi emas hingga 2,38 juta liter per hari dan membuang limbah tailing sebesar 2.361 ton/hari. Jika ini diteruskan, saat perusahaan tutup akan ada 3,4 juta ton tailing di laut Pancer dan sekitarnya. Limbah itu beresiko membuat industri perikanan Banyuwangi gulung tikar. Di Muncar saja, ada 30-an pabrik pengalengan dan penepungan ikan, disusul ribuan nelayan mulai dari Pancer, Pondok dadap, Rajegwesi, Lampon, Muncar, bahkan hingga Bali, Sumenep, Prigi, dan Jember.
Daftar pencemaran laut oleh industri minyak tak kalah panjang. Pada 1994 tabrakan Kapal Tangker MV. Bandar Ayu dengan Kapal Ikan, Robeknya Tangker MT King Fisher (1999) Tenggelemnya HM HCC (2000) minyak mentah hasil eksplorasi Premiere Oil yang sudah beroperasi sejak tahun 1998 tumpah menghadirkan kerugian luar biasa bagi nelayan sekitar Tuban, Gresik, dan Lamongan (2002).
Tangkjer MT LL dan MT Lucky Lady menabrak karang (2004) dan sejumlah kerugian nelayan Madura saat operasi pertambangan Santos Oyong Australia di Sampang dan Gili Raje Sumenep menghancurkan 563 rumpon nelayan.
Tragisnya, menanggapi sederet tragedi di atas, pemerintah RI terkesan acuh. Mereka malah keluar dengan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP-PPK), yang justru akan membatasi akses nelayan tradisional. Padahal, 60 persen penduduk Indonesia tinggal dan sangat tergantung sumber daya laut dan perikanan nasional di 8.090 desa pesisir. Mereka pelaku utama ekonomi Indonesia, yang terus didorong memenuhi ambisi ekspor non migas 15-20% pada 2009. Bahkan mereka terbukti berkontribusi besar dalam mendongkrak produk perikanan nasional sebesar 10 juta ton pertahun.
Mestinya kita berterimaksih kepada enam juta nelayan dan petambak tradisional Indonesia. Merekalah Pahlawan protein, yang menyediakan pemenuhan protein utama bagi penduduk negeri kepulauan ini. [ ]
---------------------------------------------------------------------------------------------
WOC dan CTI Menenggelamkan Perkara Perubahan Iklim
on Friday, 03 April 2009
Views : 118
Siaran Pers KIARA - WALHI - JATAM - Institut Hijau Indonesia - COMMIT - KAU, 3 April 2009.
Inisiatif Pemerintah Indonesia menyelenggarakan WOC (World Ocean Conference) dan CTI (Coral Triangle Initiative) pada tanggal 11-15 Mei di Manado, Sulawesi Utara, amat terkesan melindungi kepentingan negara-negara dan lembaga donor. Persoalan pokok lautan yang menjadi muara sedimentasi dan limbah industri, ‘surga’ bagi pencurian ikan oleh kapal-kapal asing, meluasnya degradasi ekosistem pesisir akibat industrialisasi pertambakan udang dan reklamasi pantai, serta dampak perubahan iklim yang kian terasa, terpinggir oleh hasrat ekonomis sesaat. Inilah awal keraguan WOC dan CTI mampu menyelesaikan substansi persoalan kelautan dunia.
Dalam 15 tahun terakhir, setidaknya 10 negara menjadi aktor utama praktek kejahatan perikanan di perairan Indonesia. Maraknya kejahatan perikanan ini akan berdampak pada ketidakberlanjutan sumber daya ikan. Bahkan, bisa berujung pada krisis.
Di samping itu, perairan Indonesia juga menjadi ‘ladang subur’ bagi pembuangan limbah beracun industri tambang, minyak, dan gas. Dari Freeport dan Newmont, dua korporasi tambang emas raksasa Amerika Serikat, diketahui bahwa setiap harinya dibuang 340 ribu ton tailing. Demikian pula dengan limbah pengeboran dan pengangkutan minyak bumi ilegal. Di perairan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta, ditemukan hampir tiap tahun tumpahan minyak mentah (tarball).
Hal penting yang patut digarisbawahi, bahwa meluasnya degradasi ekosistem pesisir diakibatkan oleh industrialisasi pertambakan udang dan reklamasi pantai. Di balik itu, peran lembaga finansial global, seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB), inilah yang turut mendorong percepatan kerusakan ekosistem pesisir. Bentuk peran mereka adalah mendukung pelbagai upaya intensifikasi pertambakan pada era 1980-an. Secara bertahap, hutan mangrove di Pulau Sulawesi dan Jawa telah dikonversi untuk pertambakan dan mengalami kerusakan teramat parah. Dari sekitar 4,2 juta hektar tambak pada tahun 1982, kini tak kurang dari 1,9 juta hektar dalam 3 tahun terakhir. Apalagi, sekitar 50% produksi udang Indonesia justru dimonopoli oleh satu korporasi trans-nasional, yakni Charoen Phokpand.
Pun demikian dengan reklamasi pantai yang dilakukan untuk membangun kawasan perniagaan dan permukiman mewah. Dari 4 proyek reklamasi pantai yang dilakukan, lebih dari 5 ribu ha ekosistem pesisir baik hutan mangrove, lamun, maupun terumbu karang terancam keberadaannya. Kini, lebih dari 10 proyek reklamasi pantai dilakukan secara masif di seluruh Indonesia. Ekosistem pesisir pun kian terancam dan teridentifikasi mengalami risiko kebencanaan.
Pada perkembangannya, sekitar 147 juta masyarakat pesisir, termasuk di antaranya 20 juta nelayan Indonesia hidup akrab dengan bencana dalam keseharian. Jutaan nelayan harus tergusur dari tempat hidupnya akibat perluasan kegiatan reklamasi dan industri, pencemaran laut, hingga proyek-proyek konservasi yang terbukti anti rakyat. Dalam hal keselamatan di laut, sepanjang Desember 2008-Maret 2009 saja, sedikitnya 43 orang meninggal dunia dan 386 orang dinyatakan hilang akibat gelombang laut yang kian sulit diperhitungkan.
Penyelenggaraan WOC, yang agenda utamanya adalah CTI dan Manado Ocean Declaration (MOD), diragukan akan mampu menjawab permasalahan di atas. Agenda itu tak menagih tanggung jawab negara-negara dan lembaga-lembaga finansial yang terlibat dalam aktivitas memporak-porandakan laut Indonesia. Dapat dipastikan, upaya mengoptimalkan peran laut dalam menangani masalah perubahan iklim, yang menjadi tema utama WOC mustahil dapat terwujud.
Keterlibatan Amerika Serikat, Australia, Bank Pembangunan Asia (ADB), dan Bank Dunia, dalam inisiatif ini lebih cenderung bertujuan mengamankan kepentingan mereka untuk terus mencemari laut Indonesia, menguras sumber daya laut dan perikanannya, hingga meminggirkan masyarakat pesisir dan nelayan. Padahal, dana sebesar Rp44 miliar yang diambil dari APBN dan APBN Sulawesi Utara sudah digunakan untuk membiayai pelbagai persiapan jelang WOC. Di sela-sela itu, janji-janji palsu negara-negara dan lembaga donor belum terealisasi hingga kini.
Pemerintah harus menghentikan model diplomasi yang berisiko merugikan negara seperti ini. Olehnya, KIARA, WALHI, JATAM, Institut Hijau Indonesia, COMMIT, dan KAU menuntut:
Pertama, Pemerintah harus segera menyiapkan langkah-langkah diplomasi yang cerdas. Upaya ini diperlukan untuk menuntut dihentikannya praktek kejahatan perikanan di perairan Indonesia, khususnya Thailand, Filipina, Taiwan, Korea, Panama, Cina, Vietnam, Malaysia, Kamboja, dan Myanmar. Selain itu, Indonesia juga patut menyuarakan pentingnya penerapan kebijakan anti IUU Fishing secara regional.
Kedua, semestinya, bersama negara-negara anggota CTI, Indonesia segera memulai pembicaraan dan negosiasi guna mengurangi produksi bahan tambang, sekaligus bersama-sama mendesak negara-negara asal industri tambang maupun negara-negara tujuan ekspor tambang, seperti Amerika Serikat dan Australia, agar segera mempraktekkan iktikad pertanggungjawaban untuk memulihkan kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup di kawasan CT-6.
Ketiga, Pemerintah Indonesia dan negara-negara anggota CTI harus mendorong proses perundingan yang lebih adil berbasis penyelesaian akar masalah kelautan dan perubahan iklim, dengan segera keluar dari skema bisnis green washing Amerika Serikat dan Australia, dengan mendorong kedua negara tersebut untuk menurunkan emisi domestik secara signifikan sebesar 40% sebelum tahun 2020.
Keempat, Pemerintah Indonesia dan negara-negara anggota CTI harus menerapkan kebijakan domestik yang memperkuat perlindungan dan pemenuhan hak-hak nelayan tradisional dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Kelima, Pemerintah diminta untuk tidak menggunakan dana utang luar negeri untuk membiayai program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, termasuk dalam rangkaian proyek CTI.
Catatan Redaksi:
WOC adalah pertemuan kelautan dunia yang akan dihadiri oleh sekitar 120 negara. Dalam konferensi kelautan berskala dunia ini, akan dibicarakan mengenai bagaimana laut berperan dalam mengatasi persoalan perubahan iklim. WOC memiliki beberapa target momentum khusus yang ingin dicapai. Selain menuntaskan perencanaan CTI (Coral Triangle Initiatif), juga diharapkan mampu bersepakat terkait MOD (Manado Ocean Declaration).
CTI, atau Coral Triangle Initiative, Wilayah CT (Coral Triangle) merupakan kawasan berbentuk segitiga kaya sumber daya alam seluas 75.000 km2 melintasi enam negara atau disebut CT-6: Malaysia, Indonesia, Filipina, Kepulauan Solomon, Timor Leste, dan Papua Nugini. Kawasan ini diyakini mengandung lebih dari 600 spesies terumbu karang atau 53% dari terumbu karang dunia, 3.000 spesies ikan, yang dipagari hutan mangrove terluas di dunia; dan tempat pemijahan tuna terbesar di dunia. Diperkirakan, perputaran ekonomi kawasan ini menghasilkan keuntungan senilai US$ 2,3 miliar per tahun.
Kontak:
M. Riza Damanik (Sekjen KIARA): 0818773515
Chalid Muhammad (Institut Hijau Indonesia): 0811847163
Siti Maemunah (JATAM): 0811920462
M. Teguh Surya (WALHI): 081371894452
Dani Setiawan (KAU): 08129671744
Muhammad Karim (COMMIT): 08121888291
02 April 2009
JARINGAN TAMBANG
Rabu, 01 April 2009
Masyarakat Timor Tengah Selatan menyadari bahwa di kawasannya telah terjadi sejumlah permasalahan yang terus berulang, tanpa ada solusi yang adil. Sebut saja masalah tambang batu marmer Naetapan di Tunua, Fautlik di Kuanoel dan Nausus di Fatukoto, juga tambang batu warna dan pasir warna sepanjang pantai selatan Tupakas hingga Lopon, wilayah masyarakat Amanuban dan Amanatun. Dan sayang, pemerintah Daerah tak pernah menghiraukan dan sengaja terus menggiring masyarakat untuk kembali berhadapan dengan program-program yang tidak perpihak dan menghilangkan hak-hak mereka sebagai masyarakat adat.
RESOLUSI MASYARAKAT ADAT TIMOR TENGAH SELATAN
Konggres Masyarakat Adat, Nausus, 22 Maret 2009
Kami Masyarakat Adat Tiga Batu Tungku yakni Mollo, Amanatun dan Amanuban kabupatan Timor Tengah Selatan. Sejak tanggal 20 – 22 Maret 2009, telah berkumpul di fatu Nausus Fatukoto, Mollo Utara, melakukan Kongres Masyarakat Adat, mendiskusikan peran perempuan adat, masalah perubahan dan tantangan perempuan adat dan upaya bersama menuju keselamatan hidup masyarakat.
Kami masyarakat adat Tiga Batu Tungku menyadari hidup kami tidak terlepas dari Faut kanaf, Oekanaf , Hau kanaf, dan Auf suf sebagai identitas kami. Buat kami, bumi adalah seorang ibu bagi manusia yang artinya Faut kanaf atau batu sebagai tulangnya, Oe kanaf atau air sebagai darahnya, Hau kanaf atau hutan sebagai rambut dan pori-porinya, serta tanah sebagai dagingnya. Jika sebagai manusia tidak menjaga, melestarikan tanah, batu, air dan hutan, secara tidak langsung kita perlahan-lahan membunuh seorang ibu.
Kami menyadari persoalan persoalan yang kami alami adalah masalah masalah yang terus berulang tanpa solusi yang adil, seperti masalah tambang batu marmer Naetapan di Tunua, Fautlik di Kuanoel dan Nausus di Fatukoto, juga tambang batu warna dan pasir warna sepanjang pantai selatan Tupakas hingga Lopon, wilayah masyarakat Amanuban dan Amanatun. Sayang, pemerintah Daerah sepertinya tak menghiraukan dan sengaja terus menggiring kami kembali berhadapan dengan program-program yang tidak perpihak dan menghilangkan hak-hak kami sebagai masyarakat adat.
Salah satu yang kami rasakan di Mollo adalah datangnya terus menerus proyek-proyek yang membodohi dan menipu dengan janji-janji kesejahteraan seperti proyek-proyek dari Dinas Kehutanan di atas tanah adat kami, yang setiap tahunnya terus berganti baju, mulai bernama Reboisasi sejak tahun 1980-an hingga yang terbaru proyek Gerhan. Proyek-proyek ini berujung berpindahnya tanah adat kami menjadi tanah negara dan merusak sumber-sumber kehidupan di tanah adat kami. Dinas Kehutanan juga membabat sekitar 500 ha hutan adat di Besi Pae Amanuban Selatan. Air kami dari Oel koki di Bonleu juga dicuri PDAM dan dijual secara komersil, sementara warga desa Bonleu hanya mendapat janji fasilitas listrik dan jalan yang tak pernah terwujud, sebaliknya mengalami krisis air dan longsor. Juga masih ada 9 desa lainnya yang menjadi lintasan pipa PDAM kesulitan mendapatkan air minum.
Permasalahn-permasalahan diatas sangat menggangu dan meresahkan kami, khususnya perempuan adat Mollo dan masyarakat adat Tiga Batu Tungku, Mollo, Amanuban dan Amantun, umumnya. Oleh karenanya, dalam kongres masyarakat Adat Tiga Batu Tugku menyampaikan tuntutan kepada Pemerintah Daerah Timor Tengah Selatan untuk segera :
1. Mencabut semua ijin pertambangan yang diberikan di kawasan Masyarakat adat Tiga Batu Tunggu, baik yang aktif seperti tambang Marmer dan batu warna dan pasir warna. Dan melarang dikeluarkannya ijin untuk semua jenis pertambangan baru di atas tanah-tanah adat Tiga Batu Tungku.
2. Menuntaskan kasus-kasus pegambil alihan lahan melalui proyek-proyek Kehutanan yang menipu dan memiskinkan, dengan mengakui hak-hak atas tanah adat kami, mengembalikan tanah adat kami yang sudah di beri PAL-PAL batas oleh Dinas Kehutanan
3. Menghentikan proyek-proyek kehutanan yang berujung kepada pengambilalihan lahan adat dan penghancuran hutan
4. Menuntaskan pencurian air oleh PDAM dengan desa Bonle’u dan memenuhi kebutuhan air 9 desa lainnya yang dilalui pipa PDAM.
5. Melakukan upaya bersama masyarakat adat Tia batu Tungku untuk memulihkan lahan-lahan adat kami yang rusak karena proyek pertambangan dan Kehutanan.
Tuntutan diatas tak lain merupakan upaya untuk menjaga kelestarian sumbe daya air, kesuburan lahan-lahan kami dan keselamatan kami sebagai masyarakat adat yang terus menerus terpinggirkan.
Kami masyarakat adat Tiga Batu Tungku berjanji akan selalu menjaga tanah, air, batu dan hutan kami untuk kehidupan berkesinambungan yang adil dan sejahtera. Oleh karenanya, kami membutuhkan dukungan pemerintah daerah untuk menyediakan sarana dan prasarana transportasi, pendidikan dan pemasaran produk-produk hasil pertanian kami.
_______________________________________________________
- Berita diatas semoga menjadi sumber inpirasi dan referensi rekan-rekan untuk menghadapi kasus galian-galian di Kabupaten Cirebon.
Situ Gintung terus...Situ Patok terus.... Situ Sedong terus...Situ Ciuyah....
CAMPAKA KAROMAH Khusus Untuk Direbus/Godogan, Insyaallah Dapat Menyembuhkan Penyakit Yang Anda Derita.
Formulator : Deddy kermit madjmoe
Hotline: 081324300415
Jl. Buyut Roda Gg.Polos No.84 Ciledug Cirebon Jawa Barat 45188
Pasien TIDAK MAMPU dan KURANG MAMPU Jangan TAKUT Untuk Berobat Pada Kami....!!!! Kami Tetap akan melayaninya.